Sunday, August 18, 2013

Hipokrisme Sekitar Idulfitri

-- Cucuk Espe

SIMAKLAH perilaku mudik dan balik yang menyita perhatian kita, bahkan gencarnya pemberitaan media massa tentang banyak kasus yang membelit negeri ini, terkalahkan oleh euforia berita migrasi besar-besaran tersebut.

Sebuah tradisi yang hanya ada di Indonesia. Menarik untuk dicermati mengapa mudik begitu fenomenal di negeri ini? Dan apa implikasinya bagi tata kehidupan sosial masyarakat kita?

Mudik merupakan fenomena yang selalu terjadi–dan menjadi persoalan serius—di negeri ini. Sebuah migrasi besar-besaran masyarakat urban menuju tempat asal mereka membiaskan banyak makna, baik makna sosial, kultural, dan religius.

Karena itu, terlepas dari pentingnya membuat regulasi mudik agar aman dan lancar, tidak kalah penting adalah mencermati dimensi sosial-kultural perilau mudik. Sebab, akhir-akhir ini muncul bias fenomena lain tradisi mudik, yakni mudik menjadi ajang unjuk keberhasilan komunitas urban dengan segala implikasi hipokritnya.

Ketika mudik dimaknai sebagai unjuk hipokrisme, persoalan baru pun muncul. Sebelumnya, tradisi mudik memiliki makna sederhana, yakni momentum silaturahmi setelah sekian lama mencari penghidupan di perantauan. Idulfitri menjadi penanda bahwa pulang kampung (baca; mudik) harus dilakukan. Selain memiliki makna religius, meminta maaf kepada kerabat dan orang tua setelah sebulan puasa Ramadan, mudik Idulfitri juga bermakna bahwa sejauh seseorang pergi tetap mengingat kampung halamannya. Cukup sederhana!

Namun, seiring perkembangan zaman dan pergeseran tata nilai global, tradisi mudik tidak sekadar memiliki makna religius saja. Aspek materialisme dan kapitalisasi melingkupi perilaku mudik. Celakanya, mudik pun mengerucut kepada makna hipokrisme sosial. Istilah tersebut saya gunakan untuk mewakili perilaku unjuk “kesombongan” komunitas urban ketika pulang kampung. Nah! Bukankah hal tersebut menjadi realitas yang tak tertolak? Mengapa kaum urban mendadak menjadi komunitas hipokrit di tengah kerabatnya sendiri?

Pesta Materialisme

Ketika tradisi mudik dimaknai sebagai kesombongan-sosial, persoalan pun muncul. Banyak implikasi sosial yang akan muncul, dan besar kemungkinan mengganggu keharmonisan relasi sosial. Sikap hipokrit atau sombong akan mempertegas pemisah antara kaya-miskin, berhasil-gagal, desa-kota. Sebutan dikotomis yang membahayakan keselarasan sosial.

Tak dipungkiri, kaum pemudik–yang berhasil di perantauan—akan mengumbar cerita keberhasilannya. Celakanya, tindak mengumbar ini akan melukai dan mengundang resistensi kerabat di kampungnya.

Beberapa bukti munculnya hipokrisme sosial kaum urban ini semakin nyata terlihat. Misalnya, aksi bagi-bagi uang yang tidak diniatkan sebagai tindak amal menurut aturan agama, semakin sering muncul.

Cermati saja, menjelang Idulfitri ini, semakin banyak “orang kaya baru” yang menggelar pesta materialisme (baca; bagi-bagi uang) di kampung. Tidak sepenuhnya salah! Tetapi akan menghadirkan persepsi kurang sedap pada publik di kampungnya. Selain itu, cermatilah beberapa hari terakhir kita semakin mudah menemukan “gaya kota” di desa. Mulai dari cara berpakaian, bertutur, dan berpikir. Seolah mereka ingin menunjukkan cara perilakunya adalah cara orang yang sudah berhasil.

Saya tidak menyalahkan seseorang merantau ke kota atau memburu kesuksesan di kota-kota besar. Namun, patut disadari bahwa keseluruhan kesuksesan adalah keberhasilan semu. Artinya, kesuksesan dalam makna sebenarnya adalah ketika kita mampu duduk-sejajar dengan kerabat dan berbagi keberhasilan tanpa melupakan akar kultur asal.

Namun, yang terjadi justru kita duduk lebih tinggi dengan sikap jumawa. Bahwa saya dari kota pulang ke desa dan sukses sehingga tidak sama dengan saudara-saudara di kampung. Watak hipokrit muncul karena pergeseran pemahaman kultur besar-besaran.

Mudik telah menjadi bagian kultur Indonesia. Budaya mudik adalah perilaku yang tak tertolak dalam keseluruhan kultur kita. Sayangnya, seiring dengan pendangkalan pemahaman tata nilai kebudayaan, mudik pun mengalami distorsi “pengamalan” (istilah saya untuk aplikasi perilaku sosial).

Jika sebelumnya ukuran keberhasilan terletak pada kebermanfaatan seseorang untuk lingkungan sosialnya, saat ini dianggap berhasil jika telah mampu memenuhi hasrat ego-primifnya, yakni segala kebutuhan pribadi yang diukur dari keter-ada-an materi. Keberhasilan materialistik menjadi anasir utama hipokrisme sosial.

Dan mudik, diakui atau tidak, telah menjadi agen hipokrisme sosial yang mempertinggi kesenjangan sosial. Meskipun dimensi religius masih ada, tetapi menipis dan terkalahkan oleh laku hipokrit kaum urban “pulang kampung”.

Kondisi ini tentu memprihatinkan tetapi seandainya kita atau pembaca esai ini menjadi pemudik, patut disadari bahwa keberhasilan kita di perantauan tak lepas dari peran kerabat di kampung melalui doa dan dukungan moral. Jika demikian, pantaskah kita hipokrit? Mari merenung. n

Cucuk Espe, Penulis dan Peneliti pada Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Agustus 2013

No comments: