-- Rudy Polycarpus
Banyak kisah drama dan intrik seputar perkawinannya pada novel terakhir Marah Rusli yang menentang poligami. Marah Rusli yang terkenal melalui karya Siti Nurbaya ternyata meninggalkan naskah Memang Jodoh yang dia simpan selama 50 tahun lamanya.
LAMA disimpan ahli warisnya, novel karya sastrawan Balai Pustaka Marah Roesli berjudul Memang Jodoh akhirnya dipublikasikan. Naskah Memang Jodoh, karya terakhir Marah yang belum pernah dicetak, sebenarnya sudah rampung ditulis pada 1961. Buku itu merupakan kado Marah Roesli untuk istrinya, Raden Ratna Kancana binti Kartadjumena, pada hari ulang tahun ke-50 pernikahan mereka, 2 November 1961.
Peluncuran dan diskusi novel di Teater Kecil Galeri Salihara, Pasar Minggu, Minggu (21/7), mengundang Remy Sylado (sastrawan), Fira Basuki (novelis), Rully Roesli (cucu Marah Rusli), dan Anton Kurnia (moderator).
Sebelum meninggal, 17 Januari 1968 pada usia 78 tahun, Marah berwasiat kepada anak-cucunya agar penerbitan novel Memang Jodoh dilakukan 50 tahun kemudian setelah bukunya rampung. Karya terakhirnya ini merupakan babak kehidupan nyata Marah Roesli.
"Setelah keluarga berembuk, kami sepakat menjadikan warisan keluarga ini untuk kesusasteraan Indonesia. Buku ini semiotobiografi kakek, bukan biografi penuh," ujar seorang cucunya, Rully Roesli.
Apa isi buku tersebut sehingga Marah melarang orang membacanya sebelum dia dan keluarganya yang disebutkan dalam naskah ini meninggal? Kata Rully, tak lebih karena enggan menyakiti kerabat di Padang, Sumatra Barat. Sekilas buku ini mirip dengan roman Siti Nurbaya (Kasih tak Sampai). Novel setebal 525 halaman itu berkisah tentang perjalanan cinta seorang pemuda bangsawan Padang bernama Marah Hambali yang berlatar masa penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan.
Tidak direstui
Di Bogor, tempat perantauannya sembari menuntut ilmu di sebuah sekolah kedokteran hewan, Marah bertemu seorang perempuan keturunan bangsawan Sunda, Nyai Radin Asmarawati. Hubungan mereka tak direstui keluarga kedua pihak. Kisah dalam buku ini mirip dengan kehidupan percintaan sang pengarang. Marah Roesli yang keturunan bangsawan Pagaruyung menikah dengan gadis bangsawan Sunda, Raden Ratna Kancana binti Kartadjumena.
Marah dan Ratna akhirnya menikah pada 2 November 1911. Pernikahan ini kemudian ditentang keluarga kedua mempelai. Akibatnya, Marah pun dikucilkan secara adat dan terusir dari tanah kelahirannya.
Setelah menikah, persoalan tetap menguntit mereka. Beragam cara ditempuh keluarga Marah Roesli untuk memisahkan dia dengan Ratna. Mulai dari memakai ilmu hitam, menganjurkan perceraian, hingga berpoligami dengan gadis Padang pilihan keluarganya.
Kala itu, pernikahan keluarga bangsawan Padang dengan perempuan dari daerah lain dipandang sebagai aib dan penghinaan. Namun, Marah Roesli berani melawan adat dan praktik poligami yang kental dalam budaya masyarakat.
Memang Jodoh ini awalnya ditulis tangan dengan aksara arab melayu gundul. Rully menyatakan naskah kakeknya ini banyak memakai kata dari bahasa Minangkabau yang belum dibakukan ke bahasa Indonesia.
Remy Sylado mengakui kekurangan sisi bahasa dalam buku ini. "Banyak idiom dan frase atau susastra yang khas zaman dulu. Bahasa lama, ada jarak komunikativitas dengan pembaca zaman sekarang," katanya.
Ia pun menganggap buku ini bukan karya terbaik Marah Roesli. "Meski begitu, buku ini layak dibaca untuk memperkaya dunia sastra Indonesia," katanya. (M-2)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
Banyak kisah drama dan intrik seputar perkawinannya pada novel terakhir Marah Rusli yang menentang poligami. Marah Rusli yang terkenal melalui karya Siti Nurbaya ternyata meninggalkan naskah Memang Jodoh yang dia simpan selama 50 tahun lamanya.
LAMA disimpan ahli warisnya, novel karya sastrawan Balai Pustaka Marah Roesli berjudul Memang Jodoh akhirnya dipublikasikan. Naskah Memang Jodoh, karya terakhir Marah yang belum pernah dicetak, sebenarnya sudah rampung ditulis pada 1961. Buku itu merupakan kado Marah Roesli untuk istrinya, Raden Ratna Kancana binti Kartadjumena, pada hari ulang tahun ke-50 pernikahan mereka, 2 November 1961.
Peluncuran dan diskusi novel di Teater Kecil Galeri Salihara, Pasar Minggu, Minggu (21/7), mengundang Remy Sylado (sastrawan), Fira Basuki (novelis), Rully Roesli (cucu Marah Rusli), dan Anton Kurnia (moderator).
Sebelum meninggal, 17 Januari 1968 pada usia 78 tahun, Marah berwasiat kepada anak-cucunya agar penerbitan novel Memang Jodoh dilakukan 50 tahun kemudian setelah bukunya rampung. Karya terakhirnya ini merupakan babak kehidupan nyata Marah Roesli.
"Setelah keluarga berembuk, kami sepakat menjadikan warisan keluarga ini untuk kesusasteraan Indonesia. Buku ini semiotobiografi kakek, bukan biografi penuh," ujar seorang cucunya, Rully Roesli.
Apa isi buku tersebut sehingga Marah melarang orang membacanya sebelum dia dan keluarganya yang disebutkan dalam naskah ini meninggal? Kata Rully, tak lebih karena enggan menyakiti kerabat di Padang, Sumatra Barat. Sekilas buku ini mirip dengan roman Siti Nurbaya (Kasih tak Sampai). Novel setebal 525 halaman itu berkisah tentang perjalanan cinta seorang pemuda bangsawan Padang bernama Marah Hambali yang berlatar masa penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan.
Tidak direstui
Di Bogor, tempat perantauannya sembari menuntut ilmu di sebuah sekolah kedokteran hewan, Marah bertemu seorang perempuan keturunan bangsawan Sunda, Nyai Radin Asmarawati. Hubungan mereka tak direstui keluarga kedua pihak. Kisah dalam buku ini mirip dengan kehidupan percintaan sang pengarang. Marah Roesli yang keturunan bangsawan Pagaruyung menikah dengan gadis bangsawan Sunda, Raden Ratna Kancana binti Kartadjumena.
Marah dan Ratna akhirnya menikah pada 2 November 1911. Pernikahan ini kemudian ditentang keluarga kedua mempelai. Akibatnya, Marah pun dikucilkan secara adat dan terusir dari tanah kelahirannya.
Setelah menikah, persoalan tetap menguntit mereka. Beragam cara ditempuh keluarga Marah Roesli untuk memisahkan dia dengan Ratna. Mulai dari memakai ilmu hitam, menganjurkan perceraian, hingga berpoligami dengan gadis Padang pilihan keluarganya.
Kala itu, pernikahan keluarga bangsawan Padang dengan perempuan dari daerah lain dipandang sebagai aib dan penghinaan. Namun, Marah Roesli berani melawan adat dan praktik poligami yang kental dalam budaya masyarakat.
Memang Jodoh ini awalnya ditulis tangan dengan aksara arab melayu gundul. Rully menyatakan naskah kakeknya ini banyak memakai kata dari bahasa Minangkabau yang belum dibakukan ke bahasa Indonesia.
Remy Sylado mengakui kekurangan sisi bahasa dalam buku ini. "Banyak idiom dan frase atau susastra yang khas zaman dulu. Bahasa lama, ada jarak komunikativitas dengan pembaca zaman sekarang," katanya.
Ia pun menganggap buku ini bukan karya terbaik Marah Roesli. "Meski begitu, buku ini layak dibaca untuk memperkaya dunia sastra Indonesia," katanya. (M-2)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment