PERHELATAN teater menjadi sebuah cermin bangsa ini memiliki kepedulian terhadap seni pertunjukan panggung. Namun, masih banyak kantong budaya seakan hidup tak hidup dan mati pun enggan karena dana yang minim.
Bulan lalu, sebuah ajang terbesar baru saja dilangsungkan, yaitu Festival Teater Remaja Nasional (FTRN) 2013 di Gedung Kesenian Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, 3-6 Juli lalu.
Namun, gaung kegiatan itu masih minim karena dilakukan secara diam-diam. Padahal, ajang itu bertaraf nasional karena diselenggarakan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada festival itu, sebanyak 32 kelompok teater dari 32 provinsi tampil, dengan biaya penyelenggaraan sekitar Rp3 miliar yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dengan 32 kelompok dan waktu penyelenggaraan yang hanya empat hari, setiap harinya digelar delapan pertunjukan. Semuanya berlangsung di satu tempat/panggung, yaitu di Gedung Kesenian Sunan Ambu.
"Pertunjukan ini bertaraf nasional, tetapi sangat disayangkan karena fasilitas yang disediakan belum memenuhi sebuah hajatan teater. Padahal, dana yang disediakan Rp3 miliar," ujar pegiat teater Arie F Batubara dalam sebuah diskusi di Jakarta, pekan ini.
Ia melihat sistem penyelenggaraan semacam itu hanya melahirkan suatu situasi yang 'memaksa' peserta untuk sedemikian rupa mampu bersiasat terhadap konsiderans waktu dan tempat yang terbatas.
"Ini bukan pertunjukan tari atau konser musik yang secara relatif cukup memungkinkan menyajikan tata panggung generik, melainkan pementasan teater. Dibutuhkan waktu yang lumayan memadai untuk melakukan persiapan sebelum sebuah pertunjukan dilangsungkan," cetusnya.
Kompromi dan pemakluman
Arie melihat, secara umum, 32 pertunjukan pada FTRN tak satu pun yang secara utuh dapat dikatakan memenuhi standar minimal sebuah pertunjukan teater sesungguhnya.
Sebaliknya, karena tuntutan untuk ‘bersiasat’ sedemikian rupa itu, tak sedikit peserta menampilkan pertunjukan ala kadarnya. Setiap pertunjukan dibungkus dengan sederet apologi bernada kompromi dan pemakluman.
Misalnya, festival itu hanya festival remaja. Seakan-akan setiap hajatan yang berlabel remaja, wajar jika selalu serbakurang. Padahal, lanjutnya, jika mau menengok sejarah, ketika Jim Adi Limas untuk pertama kalinya mengadaptasi dan kemudian menyutradarai Badak-Badak karya Ionesco atau saat Rendra dan Arifin C Noer masing-masing menulis lakon Orang-Orang di Tikungan Jalan dan Sumur tanpa Dasar, secara usia mereka masih remaja.
Tak mengherankan, FTRN 2013 sangat wajib dicermati dari aspek tujuan penyelenggaraannya. Jangan sampai itu hanya menjadi ajang proyek pihak-pihak tertentu. FTRN bisa dilihat sebagai cermin sikap negara dalam memandang dan memperlakukan kesenian, utamanya seni teater. “Saya melihat ajang ini masih belum serius sehingga membuang anggaran,” tegas Arie.
Ketua Panitia Pelaksana FTRN Edi Irawan mengaku festival teater remaja itu merupakan agenda acara berskala nasional tahun ini. Ia menilai helatan itu sebagai upaya untuk memberikan wadah kepada teater junior di Tanah Air.
Sayang, kurasi dan pemilihan kelompok teater masih kurang berjalan baik. Salah satu juri FTRN Jose Rizal Manua mengaku penampilan 32 kelompok masih jauh dari harapan. Keseluruhan aktor beraksi rata-rata tak berdasarkan kemampuan.
Persoalan utama yaitu para kelompok teater belum menguasai dasar teater secara maksimal. “Rata-rata pementasan masih kurang. Ini yang membuat ajang ini perlu dibenahi di tahun-tahun mendatang,” nilainya. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 18 Agustus 2013
Bulan lalu, sebuah ajang terbesar baru saja dilangsungkan, yaitu Festival Teater Remaja Nasional (FTRN) 2013 di Gedung Kesenian Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, 3-6 Juli lalu.
Namun, gaung kegiatan itu masih minim karena dilakukan secara diam-diam. Padahal, ajang itu bertaraf nasional karena diselenggarakan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada festival itu, sebanyak 32 kelompok teater dari 32 provinsi tampil, dengan biaya penyelenggaraan sekitar Rp3 miliar yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Dengan 32 kelompok dan waktu penyelenggaraan yang hanya empat hari, setiap harinya digelar delapan pertunjukan. Semuanya berlangsung di satu tempat/panggung, yaitu di Gedung Kesenian Sunan Ambu.
"Pertunjukan ini bertaraf nasional, tetapi sangat disayangkan karena fasilitas yang disediakan belum memenuhi sebuah hajatan teater. Padahal, dana yang disediakan Rp3 miliar," ujar pegiat teater Arie F Batubara dalam sebuah diskusi di Jakarta, pekan ini.
Ia melihat sistem penyelenggaraan semacam itu hanya melahirkan suatu situasi yang 'memaksa' peserta untuk sedemikian rupa mampu bersiasat terhadap konsiderans waktu dan tempat yang terbatas.
"Ini bukan pertunjukan tari atau konser musik yang secara relatif cukup memungkinkan menyajikan tata panggung generik, melainkan pementasan teater. Dibutuhkan waktu yang lumayan memadai untuk melakukan persiapan sebelum sebuah pertunjukan dilangsungkan," cetusnya.
Kompromi dan pemakluman
Arie melihat, secara umum, 32 pertunjukan pada FTRN tak satu pun yang secara utuh dapat dikatakan memenuhi standar minimal sebuah pertunjukan teater sesungguhnya.
Sebaliknya, karena tuntutan untuk ‘bersiasat’ sedemikian rupa itu, tak sedikit peserta menampilkan pertunjukan ala kadarnya. Setiap pertunjukan dibungkus dengan sederet apologi bernada kompromi dan pemakluman.
Misalnya, festival itu hanya festival remaja. Seakan-akan setiap hajatan yang berlabel remaja, wajar jika selalu serbakurang. Padahal, lanjutnya, jika mau menengok sejarah, ketika Jim Adi Limas untuk pertama kalinya mengadaptasi dan kemudian menyutradarai Badak-Badak karya Ionesco atau saat Rendra dan Arifin C Noer masing-masing menulis lakon Orang-Orang di Tikungan Jalan dan Sumur tanpa Dasar, secara usia mereka masih remaja.
Tak mengherankan, FTRN 2013 sangat wajib dicermati dari aspek tujuan penyelenggaraannya. Jangan sampai itu hanya menjadi ajang proyek pihak-pihak tertentu. FTRN bisa dilihat sebagai cermin sikap negara dalam memandang dan memperlakukan kesenian, utamanya seni teater. “Saya melihat ajang ini masih belum serius sehingga membuang anggaran,” tegas Arie.
Ketua Panitia Pelaksana FTRN Edi Irawan mengaku festival teater remaja itu merupakan agenda acara berskala nasional tahun ini. Ia menilai helatan itu sebagai upaya untuk memberikan wadah kepada teater junior di Tanah Air.
Sayang, kurasi dan pemilihan kelompok teater masih kurang berjalan baik. Salah satu juri FTRN Jose Rizal Manua mengaku penampilan 32 kelompok masih jauh dari harapan. Keseluruhan aktor beraksi rata-rata tak berdasarkan kemampuan.
Persoalan utama yaitu para kelompok teater belum menguasai dasar teater secara maksimal. “Rata-rata pementasan masih kurang. Ini yang membuat ajang ini perlu dibenahi di tahun-tahun mendatang,” nilainya. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 18 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment