-- Iwan Kurniawan
Sertifikasi lukisan dapat memberikan rasa nyaman bagi kolektor, pelukis, dan galeri. Namun, masih banyak pihak memandang sebelah mata arti sebuah keabsahan.
MARAKNYA pameran karya seni di berbagai galeri hingga pusat kebudayaan menunjukkan seniman Indonesia tak mati dalam berkarya. Mereka memperlihatkan eksistensi dalam meramaikan kancah dunia seni lukis di Tanah Air.
Namun, di balik maraknya pameran, terutama dalam satu dasawarsa terakhir ini, masih banyak seniman hingga galeri menjual karya lukis tanpa sertifikasi lukisan. Hal itu tentu saja bisa merugikan seniman karena karya bisa dipalsukan atau disalahgunakan.
Penelusuran Media Indonesia di beberapa galeri di Kota Jakarta yang menyelenggarakan pameran lukisan menemukan sertifikasi lukisan masih kurang diperhatikan. Para seniman pun terkadang berada di dua sisi mata uang, ingin karya mereka laku dan takut lukisan mereka dipalsukan.
Namun, memang, ada juga galeri dan balai lelang yang sudah menyediakan layanan sertifikasi lukisan. Itu sedikit menguntungkan kedua pihak, baik seniman maupun galeri. Sebuah cara pun ditempuh dengan membagi keuntungan.
Di negara berkembang, sertifikasi lukisan masih menjadi sebuah momok. Pelukis yang memiliki karya-karya cukup banyak di studio atau rumah pribadi sering mengeluarkan sertifikasi lukisan secara sendiri untuk keperluan penjualan. Faktor utama penyebabnya yaitu Indonesia belum memiliki lembaga atau badan sertifikasi lukisan yang dikelola negara.
"Yang terjadi sekarang ini yaitu pelukis mengeluarkan sertifikasi secara pribadi untuk kepentingan bisnis. Ini lebih baik karena bisa memberikan keabsahan karya," ujar pelukis senior Syahnagra Ismail di Jakarta, pertengahan pekan ini.
Untuk menjaga keaslian karya, Syahnagra mengaku mengeluarkan sertifikasi sendiri. Ia membubuhkan cap jempol dan tanda tangan di atas materi. Cara itu dinilai lebih autentik sehingga karya-karya yang dilepas kepada publik tidak bisa dipalsukan. "Cara sertifikasi lukisan seperti ini yang sah sehingga saya lakukan. Kecuali, pelukis yang sudah mati, sertifikasi lukisan dikeluarkan balai lelang atau galeri tertentu," paparnya.
Bila ditelusuri, adanya sertifikasi lukisan juga tak lepas dari permainan bisnis jual-beli lukisan. Hal itu lumrah karena pihak galeri pun ingin meraup keuntungan dari karya-karya pelukis yang sudah memiliki nama dalam jagat seni lukis.
Syahnagra mengaku kesadaran negara untuk melakukan sertifikasi lukisan bagi para seniman masih minim. Berbeda dengan keterlibatan negara-negara di Amerika Serikat atau Prancis. “Karya seni belum dihargai. Hanya orang-orang tertentu saja. Ini yang terjadi dalam dunia lukis kita,” cetusnya.
Hindari pemalsuan
Pendiri Javadesindo Art Gallery Heno Airlangga telah melakukan sertifikasi lukisan untuk menjaga keaslian karya. Sejauh ini lewat galerinya, ia sudah melakukan sertifikasi lukisan untuk karya-karya maestro ternama, di antaranya Basoeki Abdullah, S Sudjojono, Affandi Koesoema, dan Hendra Gunawan. “Untuk karya pelukis sekarang yang masih hidup belum kami sertifikasi. Masih dalam tahap penjajakan dengan beberapa seniman,” akunya.
Lewat sertifikasi lukisan, ada sederet keuntungan yang bisa didapatkan, meliputi eksistensi pelukis lebih profesional, pengabdian sebagai pelukis dalam karier akan lebih dihargai, otoritas pelukis atas karya lukisannya lebih terjaga, bisa mengangkat nilai lukisan, dan kolektor atau pembeli lukisan lebih menghargai lukisan yang besertifikat. “Bisa juga mencegah terjadinya kasus pemalsuan di kemudian hari,” jelas Airlangga.
Proses sertifikasi lukisan di galeri yang ia rintis sejak 1999 itu berkisar Rp500 ribu-Rp1 juta. “Proses ini legal. Ini profesional sehingga kami mengerjakan sesuai dengan standar internasional,” gumamnya.
Pengamat seni lukisan Leonowens Stevan Pratama menemukan sertifikasi lukisan belum begitu berjalan bagus di negara berkembang. Di Indonesia, sertifikasi lukisan pun tak begitu diperhatikan sehingga bisnis lukisan hanya diraup galeri tertentu saja.
“Saya heran, saat mengunjungi beberapa pembukaan pameran, ternyata banyak karya belum disertifikasi tapi dijual secara bebas ke publik. Padahal, sertifikasi lukisan itu berguna untuk menghindari lukisan palsu,” jelasnya.
Tak dapat dimungkiri, Indonesia belum memiliki lembaga khusus sertifikasi yang dikelola negara. Sertifikasi pun bahkan dilakukan pelukis sendiri atau galeri sebagai sebuah tanda sah sebuah lukisan telah dijual dan dialihtangankan kepada penikmat seni atau kolektor.
Leonowens mencontohkan, di Belanda dan Prancis, sertifikasi lukisan menjadi penting, terutama pada karya-karya seniman besar. Semua karya yang dijual dan dilelang memiliki nomor sertifikasi yang jelas karena diurus sebuah lembaga sertifikasi lukisan secara khusus. "Indonesia perlu memiliki lembaga itu yang dikelola negara," jelasnya.
Sertifikat lukisan dapat memberikan rasa nyaman bagi kolektor, pelukis, dan galeri. Dunia seni memang penuh dengan permainan. Karya lukisan itu abadi, tetapi hidup singkat. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 18 Agustus 2013
Sertifikasi lukisan dapat memberikan rasa nyaman bagi kolektor, pelukis, dan galeri. Namun, masih banyak pihak memandang sebelah mata arti sebuah keabsahan.
MARAKNYA pameran karya seni di berbagai galeri hingga pusat kebudayaan menunjukkan seniman Indonesia tak mati dalam berkarya. Mereka memperlihatkan eksistensi dalam meramaikan kancah dunia seni lukis di Tanah Air.
Namun, di balik maraknya pameran, terutama dalam satu dasawarsa terakhir ini, masih banyak seniman hingga galeri menjual karya lukis tanpa sertifikasi lukisan. Hal itu tentu saja bisa merugikan seniman karena karya bisa dipalsukan atau disalahgunakan.
Penelusuran Media Indonesia di beberapa galeri di Kota Jakarta yang menyelenggarakan pameran lukisan menemukan sertifikasi lukisan masih kurang diperhatikan. Para seniman pun terkadang berada di dua sisi mata uang, ingin karya mereka laku dan takut lukisan mereka dipalsukan.
Namun, memang, ada juga galeri dan balai lelang yang sudah menyediakan layanan sertifikasi lukisan. Itu sedikit menguntungkan kedua pihak, baik seniman maupun galeri. Sebuah cara pun ditempuh dengan membagi keuntungan.
Di negara berkembang, sertifikasi lukisan masih menjadi sebuah momok. Pelukis yang memiliki karya-karya cukup banyak di studio atau rumah pribadi sering mengeluarkan sertifikasi lukisan secara sendiri untuk keperluan penjualan. Faktor utama penyebabnya yaitu Indonesia belum memiliki lembaga atau badan sertifikasi lukisan yang dikelola negara.
"Yang terjadi sekarang ini yaitu pelukis mengeluarkan sertifikasi secara pribadi untuk kepentingan bisnis. Ini lebih baik karena bisa memberikan keabsahan karya," ujar pelukis senior Syahnagra Ismail di Jakarta, pertengahan pekan ini.
Untuk menjaga keaslian karya, Syahnagra mengaku mengeluarkan sertifikasi sendiri. Ia membubuhkan cap jempol dan tanda tangan di atas materi. Cara itu dinilai lebih autentik sehingga karya-karya yang dilepas kepada publik tidak bisa dipalsukan. "Cara sertifikasi lukisan seperti ini yang sah sehingga saya lakukan. Kecuali, pelukis yang sudah mati, sertifikasi lukisan dikeluarkan balai lelang atau galeri tertentu," paparnya.
Bila ditelusuri, adanya sertifikasi lukisan juga tak lepas dari permainan bisnis jual-beli lukisan. Hal itu lumrah karena pihak galeri pun ingin meraup keuntungan dari karya-karya pelukis yang sudah memiliki nama dalam jagat seni lukis.
Syahnagra mengaku kesadaran negara untuk melakukan sertifikasi lukisan bagi para seniman masih minim. Berbeda dengan keterlibatan negara-negara di Amerika Serikat atau Prancis. “Karya seni belum dihargai. Hanya orang-orang tertentu saja. Ini yang terjadi dalam dunia lukis kita,” cetusnya.
Hindari pemalsuan
Pendiri Javadesindo Art Gallery Heno Airlangga telah melakukan sertifikasi lukisan untuk menjaga keaslian karya. Sejauh ini lewat galerinya, ia sudah melakukan sertifikasi lukisan untuk karya-karya maestro ternama, di antaranya Basoeki Abdullah, S Sudjojono, Affandi Koesoema, dan Hendra Gunawan. “Untuk karya pelukis sekarang yang masih hidup belum kami sertifikasi. Masih dalam tahap penjajakan dengan beberapa seniman,” akunya.
Lewat sertifikasi lukisan, ada sederet keuntungan yang bisa didapatkan, meliputi eksistensi pelukis lebih profesional, pengabdian sebagai pelukis dalam karier akan lebih dihargai, otoritas pelukis atas karya lukisannya lebih terjaga, bisa mengangkat nilai lukisan, dan kolektor atau pembeli lukisan lebih menghargai lukisan yang besertifikat. “Bisa juga mencegah terjadinya kasus pemalsuan di kemudian hari,” jelas Airlangga.
Proses sertifikasi lukisan di galeri yang ia rintis sejak 1999 itu berkisar Rp500 ribu-Rp1 juta. “Proses ini legal. Ini profesional sehingga kami mengerjakan sesuai dengan standar internasional,” gumamnya.
Pengamat seni lukisan Leonowens Stevan Pratama menemukan sertifikasi lukisan belum begitu berjalan bagus di negara berkembang. Di Indonesia, sertifikasi lukisan pun tak begitu diperhatikan sehingga bisnis lukisan hanya diraup galeri tertentu saja.
“Saya heran, saat mengunjungi beberapa pembukaan pameran, ternyata banyak karya belum disertifikasi tapi dijual secara bebas ke publik. Padahal, sertifikasi lukisan itu berguna untuk menghindari lukisan palsu,” jelasnya.
Tak dapat dimungkiri, Indonesia belum memiliki lembaga khusus sertifikasi yang dikelola negara. Sertifikasi pun bahkan dilakukan pelukis sendiri atau galeri sebagai sebuah tanda sah sebuah lukisan telah dijual dan dialihtangankan kepada penikmat seni atau kolektor.
Leonowens mencontohkan, di Belanda dan Prancis, sertifikasi lukisan menjadi penting, terutama pada karya-karya seniman besar. Semua karya yang dijual dan dilelang memiliki nomor sertifikasi yang jelas karena diurus sebuah lembaga sertifikasi lukisan secara khusus. "Indonesia perlu memiliki lembaga itu yang dikelola negara," jelasnya.
Sertifikat lukisan dapat memberikan rasa nyaman bagi kolektor, pelukis, dan galeri. Dunia seni memang penuh dengan permainan. Karya lukisan itu abadi, tetapi hidup singkat. (M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 18 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment