-- Djadjat Sudradjat
"Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/ Aku sudah cukup lama dengar bicaramu/ dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu/ Dari mulai tgl 17 Agustus 1945/ Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu/ Aku sekarang api, aku sekarang laut/ Bung Karno ! Kau dan aku satu zat, satu urat/ Di zatmu, di zatku, kapal-kapal kita berlayar/ Di uratmu, di uratku, kapal-kapal kita bertolak & berlabuh" (Chairil Anwar, "Persetujuan dengan Bung Karno").
***
SEJARAH juga sebuah nostalgia. Sebuah penanda, bahwa di suatu masa, yang jauh, ada peristiwa yang kini jadi renjana. Sejarah sudah pasti tak melulu peristiwa hebat. Bahkan, pada 17 Agustus 1945 yang menyejarah itu, yang jadi mimpi puluhan tahun para pendiri bangsa, hanyalah peristiwa sepi. Bendera Merah Putih yang dijahit tangan Fatmawati diikat pada tali kusut, dan dililitkan pada sebatang bambu kasar. Teks proklamasi ditulis di atas selembar kertas bersahaja yang disobek dari buku tulis bergaris biru, dan dibacakan lewat pengeras suara curian dari stasiun radio Jepang.
"Dan, peristiwa itu tak menimbulkan apa-apa. Aku tidak merasakan kegembiraan.... Tidak ada kata-kata berarti dari kami berdua (Soekarno dan Hatta) yang dapat dicatat dalam sejarah. Juga tak seorang pun dari kami yang memiliki gairah. Kami berdua letih. Dan, ya, mungkin juga sedikit ketakutan, kukira," aku Bung Karno dalam buku Sukarno an Autobiography as Told to Cindy Adams (1965).
Wajarlah Soekarno (juga Hatta) letih. Dua tokoh itu beberapa hari sebelumnya berada di luar Kota Saigon menemui Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi. Sebuah perjalanan penuh drama: dengan pesawat rongsokan yang kapan saja bisa jatuh dan harus menghindari tentara Sekutu yang terus memburu. Sesampai di Jakarta mereka diculik ke Rengas Dengklok oleh para pemuda revolusioner dipimpin Sukarni.Hari itu Soekarno demam tinggi, malaria menyerangnya.
Tapi, revolusi meninggalkan legacy, selain Republik Indonesia tentu. "Ada masa-masa kesulitanmu berguna dan diperlukan," Bung Karno kerap mengutip Alquran sebagai penguat. Revolusi yang pahit itu pun menjadi vitamin pagi kaum terpelajar dan seniman. Kita memang beruntung punya Bung Karno, sosok yang sejak muda terus menampa diri dengan bacaan, diskusi, organisasi, perdebatan, perlawanan, kontemplasi, dan terus mengasah kepekaan. Alhasil, ia mampu menjadi poros yang menggerakkan dan pembimbing jalannya perubahan.
Ia tak saja menggali falsafah negara, Pancasila, hasil renungan di bawah alam sunyi yang penuh bintang-gemintang, tapi juga mampu menggelorakan rakyat dalam keramaian dengan gelegar orasi yang menghipnosis. Ia kaya referensi dan kuat dalam pertahanan diri. Ia keras jikalau harus menekan, ia "berkolaborasi" ketika melihat kekuatan diri tak memungkinkan. Ia pemimpin dengan seribu akal. Ia cinta simbol-simbol.
Ia menggerakkan ide untuk menggelorakan patriotisme dengan poster-poster yang menggugah. Semboyan "Merdeka atau Mati" yang amat terkenal, menghiasi ruang-ruang publik masa itu, diambil dari bagian akhir pidato Menggali Pancasila. Juga poster "Bung, Ayo Bung" yang kondang itu. Bung Karno mengumpulkan para seniman. Affandi membuat gambar. Pelukis Dullah jadi model, Soedjojono meminta penyair Chairil Anwar membuat teksnya. Penyair genius itu, menggoreskan kata-kata sederhana tapi penuh daya pukau: "Bung, Ayo Bung!" Revolusi pun tak melulu cerita perang para serdadu, tapi juga cerita dan gairah berkesenian.
Dengan pemimpin yang menggerakkan, para seniman pun tak berdiri di luar gelanggang revolusi. Mereka ikut bergelora di dalam. Revolusi punya jejak yang jelas dalam lukisan, sastra, dan lagu-lagu. Revolusi menjadi latar sekaligus spirit para seniman dan menggetarkan jiwa penikmatnya, hingga hari ini.
Lukisan tema perjuangan karya Affandi, Dullah, Soedjojono, Sudarso, Hendra Gunawan, masih tak lekang oleh zaman. Sajak-sajak Chairil Anwar, terus dibaca dan digemakan dari generasi ke generasi. Ia menjadi penyair wajib dalam setiap perhelatan bertema perjuangan kemerdekaan. Lagu-lagu karya Wage Rudolf Supratman, Kusbini, Cornel Simanjuntak, Ismail Marzuki, Bintang Sudibyo, Libery Manik, Husein Mutahar, masih tak tergeser dari keagungan lagu-lagu perjuangan.
Sajak Chairil Anwar yang dikutip di atas bolehlah menjadi "representasi" kedekatan seniman dan dengan pemimpinnya. "Bung Karno! Kau dan aku satu zat, satu urat." Karena itu, revolusi dan nasionalisme jadi punya sisi yang tak semata penuh darah, tapi juga indah dan penuh getar. Sekarang para elite bangsa seperti hidup dalam dunianya sendiri yang kian menjauh. Ia kering! n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Agustus 2013
"Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/ Aku sudah cukup lama dengar bicaramu/ dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu/ Dari mulai tgl 17 Agustus 1945/ Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu/ Aku sekarang api, aku sekarang laut/ Bung Karno ! Kau dan aku satu zat, satu urat/ Di zatmu, di zatku, kapal-kapal kita berlayar/ Di uratmu, di uratku, kapal-kapal kita bertolak & berlabuh" (Chairil Anwar, "Persetujuan dengan Bung Karno").
***
SEJARAH juga sebuah nostalgia. Sebuah penanda, bahwa di suatu masa, yang jauh, ada peristiwa yang kini jadi renjana. Sejarah sudah pasti tak melulu peristiwa hebat. Bahkan, pada 17 Agustus 1945 yang menyejarah itu, yang jadi mimpi puluhan tahun para pendiri bangsa, hanyalah peristiwa sepi. Bendera Merah Putih yang dijahit tangan Fatmawati diikat pada tali kusut, dan dililitkan pada sebatang bambu kasar. Teks proklamasi ditulis di atas selembar kertas bersahaja yang disobek dari buku tulis bergaris biru, dan dibacakan lewat pengeras suara curian dari stasiun radio Jepang.
"Dan, peristiwa itu tak menimbulkan apa-apa. Aku tidak merasakan kegembiraan.... Tidak ada kata-kata berarti dari kami berdua (Soekarno dan Hatta) yang dapat dicatat dalam sejarah. Juga tak seorang pun dari kami yang memiliki gairah. Kami berdua letih. Dan, ya, mungkin juga sedikit ketakutan, kukira," aku Bung Karno dalam buku Sukarno an Autobiography as Told to Cindy Adams (1965).
Wajarlah Soekarno (juga Hatta) letih. Dua tokoh itu beberapa hari sebelumnya berada di luar Kota Saigon menemui Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi. Sebuah perjalanan penuh drama: dengan pesawat rongsokan yang kapan saja bisa jatuh dan harus menghindari tentara Sekutu yang terus memburu. Sesampai di Jakarta mereka diculik ke Rengas Dengklok oleh para pemuda revolusioner dipimpin Sukarni.Hari itu Soekarno demam tinggi, malaria menyerangnya.
Tapi, revolusi meninggalkan legacy, selain Republik Indonesia tentu. "Ada masa-masa kesulitanmu berguna dan diperlukan," Bung Karno kerap mengutip Alquran sebagai penguat. Revolusi yang pahit itu pun menjadi vitamin pagi kaum terpelajar dan seniman. Kita memang beruntung punya Bung Karno, sosok yang sejak muda terus menampa diri dengan bacaan, diskusi, organisasi, perdebatan, perlawanan, kontemplasi, dan terus mengasah kepekaan. Alhasil, ia mampu menjadi poros yang menggerakkan dan pembimbing jalannya perubahan.
Ia tak saja menggali falsafah negara, Pancasila, hasil renungan di bawah alam sunyi yang penuh bintang-gemintang, tapi juga mampu menggelorakan rakyat dalam keramaian dengan gelegar orasi yang menghipnosis. Ia kaya referensi dan kuat dalam pertahanan diri. Ia keras jikalau harus menekan, ia "berkolaborasi" ketika melihat kekuatan diri tak memungkinkan. Ia pemimpin dengan seribu akal. Ia cinta simbol-simbol.
Ia menggerakkan ide untuk menggelorakan patriotisme dengan poster-poster yang menggugah. Semboyan "Merdeka atau Mati" yang amat terkenal, menghiasi ruang-ruang publik masa itu, diambil dari bagian akhir pidato Menggali Pancasila. Juga poster "Bung, Ayo Bung" yang kondang itu. Bung Karno mengumpulkan para seniman. Affandi membuat gambar. Pelukis Dullah jadi model, Soedjojono meminta penyair Chairil Anwar membuat teksnya. Penyair genius itu, menggoreskan kata-kata sederhana tapi penuh daya pukau: "Bung, Ayo Bung!" Revolusi pun tak melulu cerita perang para serdadu, tapi juga cerita dan gairah berkesenian.
Dengan pemimpin yang menggerakkan, para seniman pun tak berdiri di luar gelanggang revolusi. Mereka ikut bergelora di dalam. Revolusi punya jejak yang jelas dalam lukisan, sastra, dan lagu-lagu. Revolusi menjadi latar sekaligus spirit para seniman dan menggetarkan jiwa penikmatnya, hingga hari ini.
Lukisan tema perjuangan karya Affandi, Dullah, Soedjojono, Sudarso, Hendra Gunawan, masih tak lekang oleh zaman. Sajak-sajak Chairil Anwar, terus dibaca dan digemakan dari generasi ke generasi. Ia menjadi penyair wajib dalam setiap perhelatan bertema perjuangan kemerdekaan. Lagu-lagu karya Wage Rudolf Supratman, Kusbini, Cornel Simanjuntak, Ismail Marzuki, Bintang Sudibyo, Libery Manik, Husein Mutahar, masih tak tergeser dari keagungan lagu-lagu perjuangan.
Sajak Chairil Anwar yang dikutip di atas bolehlah menjadi "representasi" kedekatan seniman dan dengan pemimpinnya. "Bung Karno! Kau dan aku satu zat, satu urat." Karena itu, revolusi dan nasionalisme jadi punya sisi yang tak semata penuh darah, tapi juga indah dan penuh getar. Sekarang para elite bangsa seperti hidup dalam dunianya sendiri yang kian menjauh. Ia kering! n
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment