-- F. Moses
PROGRAM Penulisan Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera): Cerpen Tahun 2013 sudah diberlangsungkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, pada 24?30 Juni di Bandung.
Program itu diikuti oleh 20 peserta, mereka adalah Elida Nurhabibah (Sumatera Selatan), Mardiana K. (Jambi), Sartika Sari (Sumatera Utara), Yulizar Fadli (Lampung), Nana Sastrawan (Banten), Encep Abdullah (Banten), Suantoko (Jawa Timur), M. Thobroni (Kalimantan Timur), dan Fadriah Syuaib (Maluku Utara) mewakili Indonesia, bersama peserta dari Singapura; Cik Nur Shahirah Binte Mohamad Sha Hir, Cik Erdiah Binte Samad, dan Encik Noorhaqmal Bin Mohammed Noor, serta peserta asal Malaysia; Encik Wahyu Budiwa Rendra A. Wahid, Puan Hazwani Rameli, Puan Hasni Jamali, dan Nurhaizah, dan juga peserta dari Brunei Darussalam; Abu Zar bin Abdullah, Awang Haji Ali Asnan bin Haji Pungut, Ainah bte Muhammad, dan Zawiyatun Ni'mah binti Mohamad Akir--penulisan cerpen itu juga turut dibimbing oleh enam cerpenis, antara lain Yanusa Nugroho (Indonesia), Nenden Lilis Aisyah (Indonesia), Gus tf Sakai (Indonesia), Awang Chong Ah Fok (Brunei Darussalam), Tuan Syed Mohd. Zakir Syed Othman (Malaysia), dan Encik Ishak bin Abdul Latif (Singapura).
Penguatan Cerpen
Dalam pelaksanaan kegiatan itu, Yanusa Nugroho bersaran bahwa hal paling mendasar adalah penguatan teknik-teknik dasar pembuatan cerpen, seperti tema, penokohan, konflik, plot serta latar. Cerpen-cerpen realis diharapkan lebih dahulu ditulis oleh penulis (jika boleh dikatakan pemula) agar mereka memahami hal-hal mendasar tersebut. Sedangkan unsur-unsur bahasa, seperti stilistika juga penting, hanya ia menyarankan, bahasa yang indah akan menjadi hal yang sia-sia jika tidak disertai dengan kekuatan struktur dasar suatu cerpen.
Dalam sesi itu, SGA juga banyak memberi peluang kepada peserta untuk tanya-jawab menyoal cerpen dan hal lain yang menyangkut cerpen. Dalam sesi itu, di antaranya ada peserta bertanya tentang bagaimana teknik yang digunakan bilamana bercerita tentang perihal tema yang tidak pernah terjadi di dunia sebenarnya (nyata), tapi di dunia fiksi itu ada, katakanlah cerita surealis. Atas pertanyaan tersebut, SGA singkat menjawab bahwa cerita yang baik, meski tidak atau belum terjadi di dunia sebenarnya, mestilah terdapat ?konsensus?. Maksudnya, aturan instrinsik (alur, tokoh, latar, tema, serta pesan yang hendak disampaikan) cerpen tetaplah mesti ada.
Satu contoh adalah cerita Tentang Hanoman Menelan Matahari. Juga sebagaimana SGA pernah membikin judul Sepotong Senja Buat Pacarku, Rembulan dalam Capuccino, dan bentuk lain yang bisa dibilang surealis. Anggaplah bak hal yang tak akan pernah terjadi di muka bumi ini.
Menyoal bagaimana membuat cerpen yang berkualitas. SGA lantang mengatakan ?Pokoknya selalu ditembak beres.? Maksudnya, tugas penulis tetaplah menulis.
Menulis dengan cara langsung mengalir dari ide yang sudah terpendam (terperam). ?Cerpen harus bertindak seperti serangan,? katanya. Maksud dari perkataan SGA itu tak lain bahwa menulislah langsung dari maksud yang sudah terpikirkan. Perkara edit adalah hasil akhir. Edit dimaksud, di antaranya adalah bentuk dan pilihan kata, penalaran jalannya penceritaan, serta mengoreksi rasa kata bilamana ada yang dirasa keliru dan tidak keliru.
Selain menulis cerpen, SGA yang juga menulis novel, di antaranya Biola Tak Berdawai dan Negeri Senja. Menyoal novel, ia punya pandangan tersendiri; anggapnya novel itu tak selalu dan mesti dianggap cerita yang panjang. Baginya, novel adalah sebuah komposisi?yang tentunya cerpen berbeda dengan novel. Cerpen ditulis pendek, sementara novel ditulis panjang. Maksud panjang-pendek bukanlah semata secara fisik, melainkan ?muatan pemadatan?.
Bila cerpen bergerak lurus, sementara novel ?boleh berkelok-kelok?. Terpenting, menulis cerpen mesti dibikin ?mana yang lebih dianggap penting?. Maksudnya, ide maupun pilihan kata untuk mendukung jalannya penceritaan mestilah selektif dengan benar.
Kemudian cerpen juga mestilah sesuatu yang kontradiktif atau bisa dikatakan ironi. Lalu, sastra, dalam hal ini cerpen harus menjadi sesuatu yang ?ajaib? dan ?aneh?. Jadi, bikinlah cerpen yang sungguh-sungguh berbeda. Baik menawarkan keperbedaan dari cerpen lainnya maupun realitas fiksi yang ditawarkan.
Dalam motif menulis pun, SGA juga membeberkan titik pentingnya sebagai penulis; bahwa sejauh ia merasa ?tersentuh? dan membuatnya ?marah?-lah pemantiknya. Sebagaimana kejengkelannya pada tragedi Mei ?98. Banyak pengomporan terjadi di masyarakat untuk memerkosa, membakar, dan menjarah. Dari situlah SGA berang, hingga di antaranya melahirkan cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa. Tak hanya Clara, tapi juga cerpen-cerpen beraroma peristiwa Mei ?98. Cerpen yang baginya adalah usaha untuk memasukkan unsur fakta dalam fiksi.
Bagi SGA, menulis cerpen seperti memaparkan fenomena kenyataan yang dapat diendus, juga dibenturkan oleh pertanyaan menyoal sejauh mana tanggung jawabnya sebagai penulis. Intinya paling merasa aneh dan bersalah kalau tak menulis. Sekali lagi, seorang penulis itu setingkat nyawa; dan itulah keseriusan menulis. Jawabnya singkat.
Paling penting lagi, ia selalu bilang bahwa setiap orang yang punya obsesi menulis mestilah membaca dan membaca; tinggal memilih dari ?bursa artistik? mana yang hendak diserap penulis itu. Sebab, jika hendak mendapatkan format estetik itu mestilah ada pergulatan hidup yang total. Karena pergulatan kita, ya, hanya dengan hidup, kata SGA.
Syahdan, bebaskanlah seorang penulis itu untuk menjadi dirinya sendiri. Intinya, tiap kata atau kalimat pertama yang melintas atau tertulis itu harus ?diancam?.
Terakhir, seorang penanya mempertanyakan lagi, soal bagaimana mempertahankan mood. SGA menjawab, kalau menulis itu juga mesti banyak waktu yang dikorbankan. Orang besar mestilah berjiwa besar. Yang penting jangan lapar, itu satu hal penting, katanya sambil terkekeh.
F. Moses, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Agustus 2013
PROGRAM Penulisan Majelis Sastera Asia Tenggara (Mastera): Cerpen Tahun 2013 sudah diberlangsungkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, pada 24?30 Juni di Bandung.
Program itu diikuti oleh 20 peserta, mereka adalah Elida Nurhabibah (Sumatera Selatan), Mardiana K. (Jambi), Sartika Sari (Sumatera Utara), Yulizar Fadli (Lampung), Nana Sastrawan (Banten), Encep Abdullah (Banten), Suantoko (Jawa Timur), M. Thobroni (Kalimantan Timur), dan Fadriah Syuaib (Maluku Utara) mewakili Indonesia, bersama peserta dari Singapura; Cik Nur Shahirah Binte Mohamad Sha Hir, Cik Erdiah Binte Samad, dan Encik Noorhaqmal Bin Mohammed Noor, serta peserta asal Malaysia; Encik Wahyu Budiwa Rendra A. Wahid, Puan Hazwani Rameli, Puan Hasni Jamali, dan Nurhaizah, dan juga peserta dari Brunei Darussalam; Abu Zar bin Abdullah, Awang Haji Ali Asnan bin Haji Pungut, Ainah bte Muhammad, dan Zawiyatun Ni'mah binti Mohamad Akir--penulisan cerpen itu juga turut dibimbing oleh enam cerpenis, antara lain Yanusa Nugroho (Indonesia), Nenden Lilis Aisyah (Indonesia), Gus tf Sakai (Indonesia), Awang Chong Ah Fok (Brunei Darussalam), Tuan Syed Mohd. Zakir Syed Othman (Malaysia), dan Encik Ishak bin Abdul Latif (Singapura).
Penguatan Cerpen
Dalam pelaksanaan kegiatan itu, Yanusa Nugroho bersaran bahwa hal paling mendasar adalah penguatan teknik-teknik dasar pembuatan cerpen, seperti tema, penokohan, konflik, plot serta latar. Cerpen-cerpen realis diharapkan lebih dahulu ditulis oleh penulis (jika boleh dikatakan pemula) agar mereka memahami hal-hal mendasar tersebut. Sedangkan unsur-unsur bahasa, seperti stilistika juga penting, hanya ia menyarankan, bahasa yang indah akan menjadi hal yang sia-sia jika tidak disertai dengan kekuatan struktur dasar suatu cerpen.
Dalam sesi itu, SGA juga banyak memberi peluang kepada peserta untuk tanya-jawab menyoal cerpen dan hal lain yang menyangkut cerpen. Dalam sesi itu, di antaranya ada peserta bertanya tentang bagaimana teknik yang digunakan bilamana bercerita tentang perihal tema yang tidak pernah terjadi di dunia sebenarnya (nyata), tapi di dunia fiksi itu ada, katakanlah cerita surealis. Atas pertanyaan tersebut, SGA singkat menjawab bahwa cerita yang baik, meski tidak atau belum terjadi di dunia sebenarnya, mestilah terdapat ?konsensus?. Maksudnya, aturan instrinsik (alur, tokoh, latar, tema, serta pesan yang hendak disampaikan) cerpen tetaplah mesti ada.
Satu contoh adalah cerita Tentang Hanoman Menelan Matahari. Juga sebagaimana SGA pernah membikin judul Sepotong Senja Buat Pacarku, Rembulan dalam Capuccino, dan bentuk lain yang bisa dibilang surealis. Anggaplah bak hal yang tak akan pernah terjadi di muka bumi ini.
Menyoal bagaimana membuat cerpen yang berkualitas. SGA lantang mengatakan ?Pokoknya selalu ditembak beres.? Maksudnya, tugas penulis tetaplah menulis.
Menulis dengan cara langsung mengalir dari ide yang sudah terpendam (terperam). ?Cerpen harus bertindak seperti serangan,? katanya. Maksud dari perkataan SGA itu tak lain bahwa menulislah langsung dari maksud yang sudah terpikirkan. Perkara edit adalah hasil akhir. Edit dimaksud, di antaranya adalah bentuk dan pilihan kata, penalaran jalannya penceritaan, serta mengoreksi rasa kata bilamana ada yang dirasa keliru dan tidak keliru.
Selain menulis cerpen, SGA yang juga menulis novel, di antaranya Biola Tak Berdawai dan Negeri Senja. Menyoal novel, ia punya pandangan tersendiri; anggapnya novel itu tak selalu dan mesti dianggap cerita yang panjang. Baginya, novel adalah sebuah komposisi?yang tentunya cerpen berbeda dengan novel. Cerpen ditulis pendek, sementara novel ditulis panjang. Maksud panjang-pendek bukanlah semata secara fisik, melainkan ?muatan pemadatan?.
Bila cerpen bergerak lurus, sementara novel ?boleh berkelok-kelok?. Terpenting, menulis cerpen mesti dibikin ?mana yang lebih dianggap penting?. Maksudnya, ide maupun pilihan kata untuk mendukung jalannya penceritaan mestilah selektif dengan benar.
Kemudian cerpen juga mestilah sesuatu yang kontradiktif atau bisa dikatakan ironi. Lalu, sastra, dalam hal ini cerpen harus menjadi sesuatu yang ?ajaib? dan ?aneh?. Jadi, bikinlah cerpen yang sungguh-sungguh berbeda. Baik menawarkan keperbedaan dari cerpen lainnya maupun realitas fiksi yang ditawarkan.
Dalam motif menulis pun, SGA juga membeberkan titik pentingnya sebagai penulis; bahwa sejauh ia merasa ?tersentuh? dan membuatnya ?marah?-lah pemantiknya. Sebagaimana kejengkelannya pada tragedi Mei ?98. Banyak pengomporan terjadi di masyarakat untuk memerkosa, membakar, dan menjarah. Dari situlah SGA berang, hingga di antaranya melahirkan cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa. Tak hanya Clara, tapi juga cerpen-cerpen beraroma peristiwa Mei ?98. Cerpen yang baginya adalah usaha untuk memasukkan unsur fakta dalam fiksi.
Bagi SGA, menulis cerpen seperti memaparkan fenomena kenyataan yang dapat diendus, juga dibenturkan oleh pertanyaan menyoal sejauh mana tanggung jawabnya sebagai penulis. Intinya paling merasa aneh dan bersalah kalau tak menulis. Sekali lagi, seorang penulis itu setingkat nyawa; dan itulah keseriusan menulis. Jawabnya singkat.
Paling penting lagi, ia selalu bilang bahwa setiap orang yang punya obsesi menulis mestilah membaca dan membaca; tinggal memilih dari ?bursa artistik? mana yang hendak diserap penulis itu. Sebab, jika hendak mendapatkan format estetik itu mestilah ada pergulatan hidup yang total. Karena pergulatan kita, ya, hanya dengan hidup, kata SGA.
Syahdan, bebaskanlah seorang penulis itu untuk menjadi dirinya sendiri. Intinya, tiap kata atau kalimat pertama yang melintas atau tertulis itu harus ?diancam?.
Terakhir, seorang penanya mempertanyakan lagi, soal bagaimana mempertahankan mood. SGA menjawab, kalau menulis itu juga mesti banyak waktu yang dikorbankan. Orang besar mestilah berjiwa besar. Yang penting jangan lapar, itu satu hal penting, katanya sambil terkekeh.
F. Moses, cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment