SEORANG lelaki bertelanjang dada sedang bersembunyi di semak-semak sebuah taman. Ia seakan mulai mengetahui sesuatu hal yang baik dan buruk. Di tangan kiri, ia memegang sebuah apel merah. Di sampingnya, seorang perempuan berambut panjang pun mulai ikut bersembunyi.
Gambaran itu begitu jelas terlihat pada karya Adam dan Hawa karya pelukis bocah Benediktus Anfield Bagus Wibowo, 8, dalam pameran tunggalnya di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini.
Pada pameran bertajuk Imajinasi tanpa Batas itu, ada puluhan karya yang dipajang pada 1-3 Agustus ini. Corak dan warna karya begitu kuat menghadirkan unsur dunia imajinasi anak-anak. Sebagai pelukis yang masih berusia relatif muda, Anfield terbilang cukup piawai memainkan kuas di atas kanvas.
Bila memperhatikan secara jeli setiap karya yang dipajang itu, ada berbagai gaya yang ia hadirkan. Mulai dari realis, abstrak, hingga ekspresif. Namun, beberapa anatomi objek dalam karya masih terlihat berantakan dan belum begitu kuat.
Meski demikian, usia yang relatif muda itu patut kita apresiasi. Apalagi, sangat jarang sekali seorang pelukis bocah menggelar pameran tunggal dengan puluhan karya yang ia buat dalam dua tahun terakhir ini.
Sejarah masa lalu seperti yang tertulis dalam kitab-kitab suci begitu kuat. Itu terlihat pada karya-karya seperti Noah Ark 01 (60x70 cm) dan Noah Ark 02. Kedua lukisan itu menggambarkan sebuah kejadian mahadahsyat berupa air bah pada zaman Nabi Nuh.
Objek pada Noah Ark 01, misalnya, menghadirkan sebuah kapal besar sedang berlabuh di sebuah bukit. Berbagai macam hewan naik ke atas perahu.
Namun, Anfield menggambarkan beberapa ekor paus tak bisa diangkut ke atas kapal. Mungkin karena tubuh ikan yang besar sehingga dibiarkan berenang di sekitar kapal.
Imajinasi liar
Melalui karya lukisnya, Anfield lebih suka melakukan kontak fisik dengan alam. Objek gajah yang ia lihat di kebun binatang pun telah menjadi sebuah pengalaman. Membekas dalam ingatan sehingga ia tuangkan secara liar ke atas kanvas.
Melalui karya-karya, ia mampu menghadirkan penanda untuk dibaca, dipahami, dan dimengerti penikmat seni. Ia mampu menghilangkan cara berpikir superior ataupun inferior. Itu yang membuat ia bebas dan berkarya tanpa batas di usia yang masih sangat produktif.
“Menjadi seniman di dalam seni rupa tak mudah. Saya lihat anak seperti Anfield ini bisa menjadi seniman besar. Komposisi dan tekstur sudah sangat kelihatan dalam teknik melukisnya,” nilai Yos Soesilo, pemerhati seni rupa dan pengajar lukis.
Tak hanya persoalan dunia kekanak-kanakan, Anfield sudah mampu menangkap fenomena alam. Letusan gunung berapi yang sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia mampu ia tuangkan ke dalam karya.
Karya Bleduk (60x70 cm) dan Disaster (60x70 cm) menjadi bukti. Ada unsur realis yang ia tuangkan secara murni. Komposisi warna pun sangat pas dan menarik untuk dilihat secara mendalam.
Lewat pameran itu, siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Pangudi Luhur Jakarta itu mampu membangun sebuah kerajaan mungil dalam lukisan. Tarikan garisnya sudah sangat kuat dan jelas memiliki makna. “Setiap hari, ia selalu melukis. Hobi ini sudah terlihat sejak umur tiga tahun,” tutur Donny Wibowo, ayah Anfield.
Rangsangan untuk mencapai fungsi kognitif efektif maupun sosial secara maksimal dalam mengabadikan peristiwa telah Anfield buktikan. Anak emas dalam seni rupa Indonesia sudah terlahirkan. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 4 Agustus 2013
Gambaran itu begitu jelas terlihat pada karya Adam dan Hawa karya pelukis bocah Benediktus Anfield Bagus Wibowo, 8, dalam pameran tunggalnya di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini.
Pada pameran bertajuk Imajinasi tanpa Batas itu, ada puluhan karya yang dipajang pada 1-3 Agustus ini. Corak dan warna karya begitu kuat menghadirkan unsur dunia imajinasi anak-anak. Sebagai pelukis yang masih berusia relatif muda, Anfield terbilang cukup piawai memainkan kuas di atas kanvas.
Bila memperhatikan secara jeli setiap karya yang dipajang itu, ada berbagai gaya yang ia hadirkan. Mulai dari realis, abstrak, hingga ekspresif. Namun, beberapa anatomi objek dalam karya masih terlihat berantakan dan belum begitu kuat.
Meski demikian, usia yang relatif muda itu patut kita apresiasi. Apalagi, sangat jarang sekali seorang pelukis bocah menggelar pameran tunggal dengan puluhan karya yang ia buat dalam dua tahun terakhir ini.
Sejarah masa lalu seperti yang tertulis dalam kitab-kitab suci begitu kuat. Itu terlihat pada karya-karya seperti Noah Ark 01 (60x70 cm) dan Noah Ark 02. Kedua lukisan itu menggambarkan sebuah kejadian mahadahsyat berupa air bah pada zaman Nabi Nuh.
Objek pada Noah Ark 01, misalnya, menghadirkan sebuah kapal besar sedang berlabuh di sebuah bukit. Berbagai macam hewan naik ke atas perahu.
Namun, Anfield menggambarkan beberapa ekor paus tak bisa diangkut ke atas kapal. Mungkin karena tubuh ikan yang besar sehingga dibiarkan berenang di sekitar kapal.
Imajinasi liar
Melalui karya lukisnya, Anfield lebih suka melakukan kontak fisik dengan alam. Objek gajah yang ia lihat di kebun binatang pun telah menjadi sebuah pengalaman. Membekas dalam ingatan sehingga ia tuangkan secara liar ke atas kanvas.
Melalui karya-karya, ia mampu menghadirkan penanda untuk dibaca, dipahami, dan dimengerti penikmat seni. Ia mampu menghilangkan cara berpikir superior ataupun inferior. Itu yang membuat ia bebas dan berkarya tanpa batas di usia yang masih sangat produktif.
“Menjadi seniman di dalam seni rupa tak mudah. Saya lihat anak seperti Anfield ini bisa menjadi seniman besar. Komposisi dan tekstur sudah sangat kelihatan dalam teknik melukisnya,” nilai Yos Soesilo, pemerhati seni rupa dan pengajar lukis.
Tak hanya persoalan dunia kekanak-kanakan, Anfield sudah mampu menangkap fenomena alam. Letusan gunung berapi yang sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia mampu ia tuangkan ke dalam karya.
Karya Bleduk (60x70 cm) dan Disaster (60x70 cm) menjadi bukti. Ada unsur realis yang ia tuangkan secara murni. Komposisi warna pun sangat pas dan menarik untuk dilihat secara mendalam.
Lewat pameran itu, siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Pangudi Luhur Jakarta itu mampu membangun sebuah kerajaan mungil dalam lukisan. Tarikan garisnya sudah sangat kuat dan jelas memiliki makna. “Setiap hari, ia selalu melukis. Hobi ini sudah terlihat sejak umur tiga tahun,” tutur Donny Wibowo, ayah Anfield.
Rangsangan untuk mencapai fungsi kognitif efektif maupun sosial secara maksimal dalam mengabadikan peristiwa telah Anfield buktikan. Anak emas dalam seni rupa Indonesia sudah terlahirkan. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 4 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment