-- Bayu Agustari Adha
TELAH seabad lebih perlawanan perempuan terhadap diskriminasi gender dilakukan. Namun belum sepenuhnya sistem patriarki yang menjadi inti penyakit ini terhilangkan seutuhnya. Gerakan yang dimulai dari Eropa apabila mengacu pada dunia akademik Barat bagaikan balita merangkak dalam perjuangannya. Pada mulanya hanya memberikan pandangan melalui tulisan ataupun karya seni yang dikenal dalam gelombang pertama. Kemudian berlanjut pada sesuatu hal bersifat nyata pada dekade 1960-an yang dikenal dalam gelombang kedua sehingga melahirkan para feminis intelektual. Sejauh ini gerakan ini telah mengakomodir posisi tawar perempuan dalam berbagai hal terutama adalah pengakuan persamaan dan ruang akses publik. Namun karena yang ada hanyalah representasi Barat, maka terlupakanlah nasib perempuan di dunia lain yang diskriminasinya tak bisa disamakan.
Diskriminasi yang terjadi di dunia ini bukan melulu hanya diskriminasi gender. Terdapat juga diskriminasi dunia ketiga apabila melihat oposisi biner Barat-Timur. Diskriminasi rasial antara kulit hitam dan kulit putih. Diskriminasi fisik oleh yang normal terhadap abnormal. Diskriminasi kelas sosial apakah itu soal kekayaan, jabatan, dan pekerjaan. Mungkin juga ada diskriminasi umur antara tua dan muda. Bagaimana jadinya dengan perempuan yang mengalami diskriminasi-diskriminasi di atas? Tentu saja mereka mengalami dua diskriminasi sekaligus. Perempuan timur mengalami diskrimanasi sebagai orang timur dan juga sebagai wanita. Kaum perempuan kulit hitam mengalami diskriminasi rasial dan tentunya diskriminasi gender. Barangkali disinilah letak belum sempurnanya perjuangan feminisme karena mereka-mereka hanya menggunakan satu kacamata sehingga melupakan hal-hal yang nyata terjadi pada banyak perempuan. Malahan beberapa dekade ini feminisme malah sibuk memperjuangkan transgender yang notabenya bukanlah perempuan. Hal ini juga seakan-akan sekaligus meninggalkan cita-cita semula gerakan persamaan bagi semua jenis perempuan.
Tak dapat dipungkiri bahwa peran karya sastra dalam dunia perjuangan feminisme sangat menonjol. Sastra sebagai wadah penuangan pemikiran sangat ampuh untuk mengungkap kebobrokan sistem patriaki yang terpatri secara sistemis. Di luar dunia Barat sendiri ada Toni Morison yang secara gamblang menampilkan subordinasi wanita kulit hitam sampai dengan Arundhati Roy yang menelanjangi patriarki adat dan masyarakat India. Di Indonesia sendiri juga ada penulis perempuan yang menonjolkan keberanian dan keterbukaan macam Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Akan tetapi tak banyak penulis wanita Indonesia yang mengungkap masalah diskriminasi ganda yang sebenarnya banyak terjadi di Indonesia. Salah satu penulis wanita yang mencoba mengekplorasi diskriminasi ganda adalah Mona Sylviana dalam kumpulan cerpennya ‘’Wajah Terakhir’’.
Pada beberapa cerpen terdapat problematika diskriminasi ganda pada perempuan. Contohnya pada cerpen berjudul ‘’Pernikahan (Kisah Perempuan Nadin)’’. Dalam cerpen ini mengungkap mengenai masalah yang terjadi pada perempuan berkebutuhan khusus atau keterbelakangan mental. Tentu saja perlakuan yang ada padanya adalah diskriminasi. Hal yang terjadi adalah diskriminasi terhadapnya sebagai manusia berkebutuhan khusus dan sebagai wanita itu sendiri. Diskriminasi dilakukan oleh lingkungan eksternal dan internal lingkungannya. Dalam diskriminasi eksternal tentunya dia mengalami perlakuan dengan dianggap berbeda dari yang lain atau abnormal. Tokoh bernama Nadin mendapat perlakuan berbeda seperti basa-basi palsu orang lain terhadapnya. Nadin hanya memiliki satu teman yakni Sasha, namun Nadin merasa kehilangan ketika temannya ini akan menikah. Seakan-akan dia takkan memiliki teman sekaligus juga menyadari bahwa pernikahan takkan mungkin dialaminya karena mungkin tak ada yang mau dengannya. Di lingkungan internal sendiri perlakuan diskriminatif diberikan oleh Ibunya sendiri yang sering membentaknya seakan-akan tak puas dengan anak yang dimilikinya. Aksespun tidak diberikan padanya karena apabila keluar rumah akan selalu dimarahi.
Pada cerpen ‘’Ningsih’’, Mona mencoba memperlihatkan diskriminasi yang terjadi pada buruh perempuan. Buruh merupakan salah satu kelas sosial yang juga sering mengalami diskriminasi karena dianggap merupakan kelas rendah. Buruh mendapatkan diskriminasi dari internal pabrik atau perusahaan yang juga berimbas pada pandangan masyarakat. Penilaian ini menimbulkan penyepelean dan diskriminasi, apalagi bila buruh itu perempuan. Ningsih yang merupakan tokoh ini mendapatkan dua diskriminasi sekaligus sebagai buruh dan perempuan dalam pandangan masyarakat. Cerpen ini memberikan selingan pandangan mengenai perkosaan yang terjadi pada buruh perempuan. Masyarakat yang patriarki masih menyalahkan buruh perempuan yang diperkosa. Hal ini dikarenakan aktifitas buruh yang pulang malam sehingga mencoba memindahkan kesalahan pada buruh yang diperkosa. Jelas saja pandangan ini masih memuat unsur patriarki yang masih melihat perempuan sebagai barang ‘domestik’. Selain itu unsur persamaan juga tidak ada karena tentunya baik laki-laki ataupun perempuan berhak melakukan aktivitasnya pada waktu apapun.
Selanjutnya, perkara diskriminasi ganda juga bisa terlihat pada perempuan miskin kota. Dalam cerpen berjudul ‘’Kereta Api Malam’’ hal tersebut bisa dilihat. Masyarakat miskin kota juga merupakan suatu fenomena kelas sosial. Kehidupan kota yang keras mengharuskan segala daya apapun demi untuk bertahan hidup. Dalam cerpen ini terdapat seorang perempuan paruh baya yang bersuamikan laki-laki yang tinggi tingkat kerusakannya, penjudi, pemabuk, dan pezina. Sebagai perempuan yang memiliki suami seperti itu sungguhlah suatu penderitaan yang sangat. Sebagai wanita dan orang miskin tentunya wanita ini rentan terhadap segala diskriminasi. Mulai dari rumah tangganya sendiri sebagai perempuan dia mengalami perlakuan yang sangat patriarki dan sebagai orang miskin dia tak memiliki daya apapun melawan suaminya. Dalam pandangan masyarakatpun dia dianggap rendah seperti pada setting dalam perjalanan kereta. Wanita ini memakai baju yang lusuh dan kumal sehingga membuat orang lain jijik dan bagi yang ingin menuangkan nafsu gratis, diapun menjadi sasaran.
Diskriminasi ganda juga bisa menghinggapi perempuan yang tua secara usia menikah. Tentu saja bayang-bayang sebagai perawan ting-ting akan selalu mendera. Perasaan ini membuat rasa minder pada yang mengalaminya. Hal ini bisa terlihat pada cerpen ‘’Suara Tua’’. Cerita mengenai seorang perempuan yang ingin mengutarakan isi hatinya pada pria yang berada 20 tahun dibawahnya. Dengan status sebagai gadis tua ini, si tokoh mengalami diskriminasi dari masyarakat baik sebagai perempuan maupun sebagai orang berumur. Perempuan seperti ini sering sekali dilecehkan dan digunjingi, sedikit lebih menderita daripada laki-laki yang berumur belum menikah. Bagi perempeuan, terlambat menikah akan dicap takkan laku lagi dan malajanglah sampai tua. Akibat diskriminasi ini tokoh yang ada dalam cerita ini makin mengkerdilkan diri dari lingkungan. Ini terlihat dalam perbincangan yang banyak tidak bisa dimasukinya karena tak mengalami dan merasakan sehingga sering menjadi pendengar.
Cerpen lainnya yang memperlihatkan penderitaan perempuan yang mengalami diskriminasi ganda adalah ‘’Mata yang Menyala’’. Kali ini diskriminasi terjadi pada seorang perempuan dengan bentuk tubuh yang tidak seperti kebanyakan yakni gendut. Apa yang dialaminya adalah beban dan diskriminasi ganda sebagai seorang perempuan dan seorang yang gemuk. Meskipun telah ada emansipasi wanita, ternyata wanita masih menjadi objek definisi bagi dominasi laki-laki. Dalam hal ini definisi kecantikan masih didefinisikan oleh pria. Ini terlihat dari lingkungan yang dihadapinya dimana sebagai perempuan gendut dia tak mendapat perhatian seperti perempuan lainnya. Malahan di cerita ini dia mendapat perlakuan asusila dari seorang tukang ojek. Perlakuan yang tentu saja hanyalah pelampiasan nafsu bagi lelaki dan ditambah lagi yang melakukannya adalah lelaki tua dan kumal.
Strata sosial seringkali menjadi acuan tinggi rendahnya martabat seseorang. Apabila stratanya tinggi baik oleh kekayaan ataupun jabatan, pihak tersebut akan dihargai tinggi pula. Namun apabila strata sosialnya rendah, pihak tersebut akan menjad objek ekploitasi dan diskriminasi. Apa jadinya strata seseorang dengan label pelacur? Tentu saja ini akan jadi hal yang memalukan tapi harus ditanggung oleh si empunya. Dalam cerpen ‘’Mata Marza’’, Mona Sylviana Cuma mengulas hal ini. Cerpen ini menceritakan Marza yang dalam perjalanannya menuju WC dengan spilis yang menyakitinya dalam sebuah pameran lukisan bertema ‘pelacur’. Sebagai perempuan dan pelacur tentunya tak ada yang menginginkan hal ini. Pelacur mestinya mesti jadi perhatian gerakan penguatan perempuan. Hal ini dikarenakan pelacur mengalami penderitaan secara organ tubuh dan juga stigma sosial. Dalam cerita ini Marza merupakan representasi pelacur yang sering menjadi objek tapi seakan-akan dibiarkan untuk menderita. Satu lagi diskriminasi ganda terhadap perempuan dan strata sosialnya.
Kemudian diskriminasi ganda juga dilakukan dengan berbasis perbedaan etnis. Dalam cerpen ‘’Wajah Terakhir’’ ditampilkan fenomena pemerkosaan yang diderita oleh perempuan beretnis Cina. Etnis Cina adalah sebuah etnis minoritas di Indonesia yang sebagian besar bahkan telah hidup lama di Indonesia. Namun sebagai minoritas seringkali etnis ini menjadi sasaran kemarahan dalam konteks tertentu. Dalam cerpen ini diperlihatkan memorial seorang perempuan Cina pada masa kerusuhan 1998 di Jakarta. Sebagai seorang Cina dan perempuan, perlakuan yang dialaminya menjadi berlapis. Dalam alurnya diperlihatkan bagaimana kelompok Cina perempuan tak hanya menjadi sasaran amuk masa, namun juga perkosaan. Hal ini dikarenakan tentunya karena dia adalah perempuan. Berbeda dengan laki-laki yang hanya menjadi sasaran kekerasan. Sedangkan perempuan mengalami perkosaan dan berujung dengan kematian. Akan tetapi apabila perempuan itu tidak matipun, beban perkosaan ini tentu akan selalu membekas selama masa hidupnya.
Itulah beberapa diskriminasi ganda yang terekam dalam kumpulan cerpen Mona Sylviana. Sesungguhnya masih banyak lagi diskriminasi ganda pada perempuan yang bisa diekplorasi di Indonesia yang penuh keragaman masalah ini. n
Bayu Agustari Adha, alumnus Sastra Inggris UNP.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 18 Agustus 2013
TELAH seabad lebih perlawanan perempuan terhadap diskriminasi gender dilakukan. Namun belum sepenuhnya sistem patriarki yang menjadi inti penyakit ini terhilangkan seutuhnya. Gerakan yang dimulai dari Eropa apabila mengacu pada dunia akademik Barat bagaikan balita merangkak dalam perjuangannya. Pada mulanya hanya memberikan pandangan melalui tulisan ataupun karya seni yang dikenal dalam gelombang pertama. Kemudian berlanjut pada sesuatu hal bersifat nyata pada dekade 1960-an yang dikenal dalam gelombang kedua sehingga melahirkan para feminis intelektual. Sejauh ini gerakan ini telah mengakomodir posisi tawar perempuan dalam berbagai hal terutama adalah pengakuan persamaan dan ruang akses publik. Namun karena yang ada hanyalah representasi Barat, maka terlupakanlah nasib perempuan di dunia lain yang diskriminasinya tak bisa disamakan.
Diskriminasi yang terjadi di dunia ini bukan melulu hanya diskriminasi gender. Terdapat juga diskriminasi dunia ketiga apabila melihat oposisi biner Barat-Timur. Diskriminasi rasial antara kulit hitam dan kulit putih. Diskriminasi fisik oleh yang normal terhadap abnormal. Diskriminasi kelas sosial apakah itu soal kekayaan, jabatan, dan pekerjaan. Mungkin juga ada diskriminasi umur antara tua dan muda. Bagaimana jadinya dengan perempuan yang mengalami diskriminasi-diskriminasi di atas? Tentu saja mereka mengalami dua diskriminasi sekaligus. Perempuan timur mengalami diskrimanasi sebagai orang timur dan juga sebagai wanita. Kaum perempuan kulit hitam mengalami diskriminasi rasial dan tentunya diskriminasi gender. Barangkali disinilah letak belum sempurnanya perjuangan feminisme karena mereka-mereka hanya menggunakan satu kacamata sehingga melupakan hal-hal yang nyata terjadi pada banyak perempuan. Malahan beberapa dekade ini feminisme malah sibuk memperjuangkan transgender yang notabenya bukanlah perempuan. Hal ini juga seakan-akan sekaligus meninggalkan cita-cita semula gerakan persamaan bagi semua jenis perempuan.
Tak dapat dipungkiri bahwa peran karya sastra dalam dunia perjuangan feminisme sangat menonjol. Sastra sebagai wadah penuangan pemikiran sangat ampuh untuk mengungkap kebobrokan sistem patriaki yang terpatri secara sistemis. Di luar dunia Barat sendiri ada Toni Morison yang secara gamblang menampilkan subordinasi wanita kulit hitam sampai dengan Arundhati Roy yang menelanjangi patriarki adat dan masyarakat India. Di Indonesia sendiri juga ada penulis perempuan yang menonjolkan keberanian dan keterbukaan macam Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Akan tetapi tak banyak penulis wanita Indonesia yang mengungkap masalah diskriminasi ganda yang sebenarnya banyak terjadi di Indonesia. Salah satu penulis wanita yang mencoba mengekplorasi diskriminasi ganda adalah Mona Sylviana dalam kumpulan cerpennya ‘’Wajah Terakhir’’.
Pada beberapa cerpen terdapat problematika diskriminasi ganda pada perempuan. Contohnya pada cerpen berjudul ‘’Pernikahan (Kisah Perempuan Nadin)’’. Dalam cerpen ini mengungkap mengenai masalah yang terjadi pada perempuan berkebutuhan khusus atau keterbelakangan mental. Tentu saja perlakuan yang ada padanya adalah diskriminasi. Hal yang terjadi adalah diskriminasi terhadapnya sebagai manusia berkebutuhan khusus dan sebagai wanita itu sendiri. Diskriminasi dilakukan oleh lingkungan eksternal dan internal lingkungannya. Dalam diskriminasi eksternal tentunya dia mengalami perlakuan dengan dianggap berbeda dari yang lain atau abnormal. Tokoh bernama Nadin mendapat perlakuan berbeda seperti basa-basi palsu orang lain terhadapnya. Nadin hanya memiliki satu teman yakni Sasha, namun Nadin merasa kehilangan ketika temannya ini akan menikah. Seakan-akan dia takkan memiliki teman sekaligus juga menyadari bahwa pernikahan takkan mungkin dialaminya karena mungkin tak ada yang mau dengannya. Di lingkungan internal sendiri perlakuan diskriminatif diberikan oleh Ibunya sendiri yang sering membentaknya seakan-akan tak puas dengan anak yang dimilikinya. Aksespun tidak diberikan padanya karena apabila keluar rumah akan selalu dimarahi.
Pada cerpen ‘’Ningsih’’, Mona mencoba memperlihatkan diskriminasi yang terjadi pada buruh perempuan. Buruh merupakan salah satu kelas sosial yang juga sering mengalami diskriminasi karena dianggap merupakan kelas rendah. Buruh mendapatkan diskriminasi dari internal pabrik atau perusahaan yang juga berimbas pada pandangan masyarakat. Penilaian ini menimbulkan penyepelean dan diskriminasi, apalagi bila buruh itu perempuan. Ningsih yang merupakan tokoh ini mendapatkan dua diskriminasi sekaligus sebagai buruh dan perempuan dalam pandangan masyarakat. Cerpen ini memberikan selingan pandangan mengenai perkosaan yang terjadi pada buruh perempuan. Masyarakat yang patriarki masih menyalahkan buruh perempuan yang diperkosa. Hal ini dikarenakan aktifitas buruh yang pulang malam sehingga mencoba memindahkan kesalahan pada buruh yang diperkosa. Jelas saja pandangan ini masih memuat unsur patriarki yang masih melihat perempuan sebagai barang ‘domestik’. Selain itu unsur persamaan juga tidak ada karena tentunya baik laki-laki ataupun perempuan berhak melakukan aktivitasnya pada waktu apapun.
Selanjutnya, perkara diskriminasi ganda juga bisa terlihat pada perempuan miskin kota. Dalam cerpen berjudul ‘’Kereta Api Malam’’ hal tersebut bisa dilihat. Masyarakat miskin kota juga merupakan suatu fenomena kelas sosial. Kehidupan kota yang keras mengharuskan segala daya apapun demi untuk bertahan hidup. Dalam cerpen ini terdapat seorang perempuan paruh baya yang bersuamikan laki-laki yang tinggi tingkat kerusakannya, penjudi, pemabuk, dan pezina. Sebagai perempuan yang memiliki suami seperti itu sungguhlah suatu penderitaan yang sangat. Sebagai wanita dan orang miskin tentunya wanita ini rentan terhadap segala diskriminasi. Mulai dari rumah tangganya sendiri sebagai perempuan dia mengalami perlakuan yang sangat patriarki dan sebagai orang miskin dia tak memiliki daya apapun melawan suaminya. Dalam pandangan masyarakatpun dia dianggap rendah seperti pada setting dalam perjalanan kereta. Wanita ini memakai baju yang lusuh dan kumal sehingga membuat orang lain jijik dan bagi yang ingin menuangkan nafsu gratis, diapun menjadi sasaran.
Diskriminasi ganda juga bisa menghinggapi perempuan yang tua secara usia menikah. Tentu saja bayang-bayang sebagai perawan ting-ting akan selalu mendera. Perasaan ini membuat rasa minder pada yang mengalaminya. Hal ini bisa terlihat pada cerpen ‘’Suara Tua’’. Cerita mengenai seorang perempuan yang ingin mengutarakan isi hatinya pada pria yang berada 20 tahun dibawahnya. Dengan status sebagai gadis tua ini, si tokoh mengalami diskriminasi dari masyarakat baik sebagai perempuan maupun sebagai orang berumur. Perempuan seperti ini sering sekali dilecehkan dan digunjingi, sedikit lebih menderita daripada laki-laki yang berumur belum menikah. Bagi perempeuan, terlambat menikah akan dicap takkan laku lagi dan malajanglah sampai tua. Akibat diskriminasi ini tokoh yang ada dalam cerita ini makin mengkerdilkan diri dari lingkungan. Ini terlihat dalam perbincangan yang banyak tidak bisa dimasukinya karena tak mengalami dan merasakan sehingga sering menjadi pendengar.
Cerpen lainnya yang memperlihatkan penderitaan perempuan yang mengalami diskriminasi ganda adalah ‘’Mata yang Menyala’’. Kali ini diskriminasi terjadi pada seorang perempuan dengan bentuk tubuh yang tidak seperti kebanyakan yakni gendut. Apa yang dialaminya adalah beban dan diskriminasi ganda sebagai seorang perempuan dan seorang yang gemuk. Meskipun telah ada emansipasi wanita, ternyata wanita masih menjadi objek definisi bagi dominasi laki-laki. Dalam hal ini definisi kecantikan masih didefinisikan oleh pria. Ini terlihat dari lingkungan yang dihadapinya dimana sebagai perempuan gendut dia tak mendapat perhatian seperti perempuan lainnya. Malahan di cerita ini dia mendapat perlakuan asusila dari seorang tukang ojek. Perlakuan yang tentu saja hanyalah pelampiasan nafsu bagi lelaki dan ditambah lagi yang melakukannya adalah lelaki tua dan kumal.
Strata sosial seringkali menjadi acuan tinggi rendahnya martabat seseorang. Apabila stratanya tinggi baik oleh kekayaan ataupun jabatan, pihak tersebut akan dihargai tinggi pula. Namun apabila strata sosialnya rendah, pihak tersebut akan menjad objek ekploitasi dan diskriminasi. Apa jadinya strata seseorang dengan label pelacur? Tentu saja ini akan jadi hal yang memalukan tapi harus ditanggung oleh si empunya. Dalam cerpen ‘’Mata Marza’’, Mona Sylviana Cuma mengulas hal ini. Cerpen ini menceritakan Marza yang dalam perjalanannya menuju WC dengan spilis yang menyakitinya dalam sebuah pameran lukisan bertema ‘pelacur’. Sebagai perempuan dan pelacur tentunya tak ada yang menginginkan hal ini. Pelacur mestinya mesti jadi perhatian gerakan penguatan perempuan. Hal ini dikarenakan pelacur mengalami penderitaan secara organ tubuh dan juga stigma sosial. Dalam cerita ini Marza merupakan representasi pelacur yang sering menjadi objek tapi seakan-akan dibiarkan untuk menderita. Satu lagi diskriminasi ganda terhadap perempuan dan strata sosialnya.
Kemudian diskriminasi ganda juga dilakukan dengan berbasis perbedaan etnis. Dalam cerpen ‘’Wajah Terakhir’’ ditampilkan fenomena pemerkosaan yang diderita oleh perempuan beretnis Cina. Etnis Cina adalah sebuah etnis minoritas di Indonesia yang sebagian besar bahkan telah hidup lama di Indonesia. Namun sebagai minoritas seringkali etnis ini menjadi sasaran kemarahan dalam konteks tertentu. Dalam cerpen ini diperlihatkan memorial seorang perempuan Cina pada masa kerusuhan 1998 di Jakarta. Sebagai seorang Cina dan perempuan, perlakuan yang dialaminya menjadi berlapis. Dalam alurnya diperlihatkan bagaimana kelompok Cina perempuan tak hanya menjadi sasaran amuk masa, namun juga perkosaan. Hal ini dikarenakan tentunya karena dia adalah perempuan. Berbeda dengan laki-laki yang hanya menjadi sasaran kekerasan. Sedangkan perempuan mengalami perkosaan dan berujung dengan kematian. Akan tetapi apabila perempuan itu tidak matipun, beban perkosaan ini tentu akan selalu membekas selama masa hidupnya.
Itulah beberapa diskriminasi ganda yang terekam dalam kumpulan cerpen Mona Sylviana. Sesungguhnya masih banyak lagi diskriminasi ganda pada perempuan yang bisa diekplorasi di Indonesia yang penuh keragaman masalah ini. n
Bayu Agustari Adha, alumnus Sastra Inggris UNP.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 18 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment