-- SPN Zuarman Ahmad
IFEN Piul, kawan saya yang juga kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil, mengeluh pening tujuh keliling dalam menghadapi hari raya. Ia menceracau sepanjang hari, betapa tidak, sebagai seorang seniman, mana ada job pada bulan puasa ini; kawan saya yang pemusik tradisional Melayu ini biasa dapat job main musik pada kenduri orang nikah-kawin, jadi mustahil ada orang nikah-kawin dalam bulan puasa, ‘’Kalau oghang ‘kawin’ banyak,’’ seluroh kawan saya yang seniman ini, ‘’Tengoklah oghang ‘kawin’ yang tetangkap di televisi, oghang ‘kawin’ yang tetangkap Satpol PP, oghang beduo jantan betino bergerak-gerak dalam gelap di sudut-sudut kawasan Bandar Serai tu, apa tidak oghang ‘kawin’ namonyo tu?’’ kata Ifen Piul kawan saya ini yang mulutnya tidak juga berhenti menceracau.
‘’Carilah job lain!’’ kata Dantje kawan saya yang juga kawan Efen Piul, yang juga berarti kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil.
‘’Job apo lagi, Pak?’’ kata Ifen Piul kawan saya ini. ‘’Nak diharap kawan kito yang pejabat, banyak pulo yang bermasalah di KPK, nanti kito pulo tebawak endong dan masuk penjaro pulo, siapo yang nak memberi makan anak bini?’’
‘’Iye tak iye pulak,’’ kata Wahab kawan Taufik Ikram Jamil yang tiba-tiba muncul macam hantu.
‘’Die begini tu Fen,’’ kata Dantje kawan saya yang juga kawan Ifen Piul.
Seni, yang menyangkuti persoalan estetika, berkait-kelindan dengan ‘kemanusiaan’, yakni ‘’keberdayaan dalam bertahan hidup’’, pergulatan menghadapi kehidupan, lebih tepatnya ‘asap dapur’ menurut orang Melayu. Jadi, seni adalah berbicara tentang kehidupan.
Meskipun, sering ada ucapan bahwa: pemerintah semestinya memperhatikan kehidupan seniman; bangsa yang beradab adalah bangsa yang menghargai kebudayaan (tentu termasuk senimannya); dan ucapan-ucapan lainnya yang mungkin hanya untuk menyenang-nyenangkan seniman. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa seniman sesungguhnya termasuk dalam golongan fakir atau miskin. Dalam dialog tentang ‘kemanusiaan’ seniman, ditanyakan ‘’mengapa seorang pelukis miskin?’’ misalnya, ‘’karena lukisan yang terjual hanya sesekali tidak menutupi modal kreativitas apalagi untuk keberdayaan hidup.’’ Padahal, seorang seniman harus berjuang antara beban manifestasi estetika di pundaknya, dengan perjuangan ‘asap dapur’ keperluan rumah-tangganya yang tidak dapat diukur menurut ilmu pasti.
Kalau kita tengok dari sudut pandang ilmu fiqih, nampaknya sesuailah pandangan bahwa seniman termasuk paling kurang golongan ‘fakir’. Menurut imam Malik, ‘fakir’ adalah seseorang yang memiliki harta namun tidak mencukupi untuk kebutuhan makan selama setahun, sementara pengertian ‘miskin’ adalah seseorang yang tidak memiliki harta apapun. Sementara menurut Imam Abu Hanifah mengartikan ‘fakir’ dengan seseorang yang memiliki harta dibawah nishab atau batas pemenuhan kebutuhan hidup dari harta yang berkembang, atau sebatas nishab dari harta yang tidak berkembang; dan pengertian ‘miskin’ menurut Abu Hanifah sependapat dengan imam Malik, yaitu seseorang yang tidak memiliki harta apapun. Sedangkan menurut imam Syafi’i dan imam Ahmad ‘fakir’ adalah seseorang yang sama sekali tidak memiliki harta, atau memiliki sedikit harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup; sedangkan ‘miskin’, menurut imam Syafii adalah seseorang yang memiliki harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak mencukupinya. Sementara menurut imam Ahmad, ‘miskin’ adalah seseorang yang memperoleh harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan yang dapat memenuhi sebagian besar atau setengah kebutuhan hidupnya. Jadi, seniman termasuk orang yang fakir, yakni paling kurang menurut Imam Malik penghasilannya tidak menentu, penghasilannya tidak dapat memenuhi keperluan makan selama setahun.
‘’Iyo tu, Pak,’’ kata Ifen Piul tak sabar.
Seniman, dalam strata ekonomi menurut saya setidaknya terbagi tiga: yaitu Seniman Job, Seniman Proposal, dan Seniman Elit. Seniman Job, yaitu seorang seniman yang hanya mengharapkan keperluan keuangan rumah-tangganya hanya dari job seni yang digelutinya, misalnya bermain musik mengiringi buda-budak besunat pun dilakukan, cuma yang tak tebuat mengiringi ratap kematian seperti ‘Oppari’ di India, ‘Basing’ dari suku Kajang Sulawesi, ‘Andung Ni Namabalu’ nyanyian ratap kematian masyarakat Batak Toba di Balige Toba Samosir Sumatera Utara. Strata ekonomi seniaman yang kedua, Seniman Proposal, yakni seniman yang mengharapkan keperluan rumah-tangganya dari berhasil tidaknya proposal yang diajukan, berkualitas atau tidaknya event kesenian yang diajukannya dalam proposal itu tak pentinglah, yang penting hasil materi yang didapatkan dari proyek proposal yang diajukan, dan yang terbayang dalam pikirannya: nak mengganti sepeda dengan sepeda-motor, nak mengganti sepeda-motor dengan mobil, bagi yang punya mobil tak tahulah apa yang ada dalam benak mereka; dan yang ketiga strata ekonomi Seniman Elit, yakni seniman yang berada di ruang lingkup yang juga elit, misalnya SPN -- seniman pegawai negeri, SP yaitu seniman pejabat yang mengaku seniman, tokoh-tokoh yang pura-pura merangkul seniman dan menjadi pembina kesenian.
Saya yang dengan khusuk mendengar semua celoteh dan ceracau Ifen Piul dan kawan-kawan saya itu, dan dengan hikmat menangkap dan merekam esensi semua pembicaraan, yang saya pikir muaranya kepada kesulitan financial atau ekonomi seniman dalam menghadapi keperluan hari raya, tentu untuk anak dan bini. Moment ini menjadi inspirasi bagi saya untuk membuat proposal kepada calon gubernur Riau untuk menangkap satu sisi persoalan seni dan seniman menjadi salah-satu bagian kampanye mereka berupa solusi pemecahan masalah yang dibicarakan panjang-lebar oleh kawan saya Ifen Piul, yang juga kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil, biarpun saya akan disebut sebagai Seniman Proposal menurut pendapat Ifen Piul di atas. Lantaklah! n
SPN Zuarman Ahmad, komposer, konduktor, budayawan Riau penerima Anugerah Sagang tahun 2009, Anugerah Seniman Pemangku Negeri Dewan Kesenian Riau (DKR), anugerah seniman tradisional Provinsi Riau. n
Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
IFEN Piul, kawan saya yang juga kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil, mengeluh pening tujuh keliling dalam menghadapi hari raya. Ia menceracau sepanjang hari, betapa tidak, sebagai seorang seniman, mana ada job pada bulan puasa ini; kawan saya yang pemusik tradisional Melayu ini biasa dapat job main musik pada kenduri orang nikah-kawin, jadi mustahil ada orang nikah-kawin dalam bulan puasa, ‘’Kalau oghang ‘kawin’ banyak,’’ seluroh kawan saya yang seniman ini, ‘’Tengoklah oghang ‘kawin’ yang tetangkap di televisi, oghang ‘kawin’ yang tetangkap Satpol PP, oghang beduo jantan betino bergerak-gerak dalam gelap di sudut-sudut kawasan Bandar Serai tu, apa tidak oghang ‘kawin’ namonyo tu?’’ kata Ifen Piul kawan saya ini yang mulutnya tidak juga berhenti menceracau.
‘’Carilah job lain!’’ kata Dantje kawan saya yang juga kawan Efen Piul, yang juga berarti kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil.
‘’Job apo lagi, Pak?’’ kata Ifen Piul kawan saya ini. ‘’Nak diharap kawan kito yang pejabat, banyak pulo yang bermasalah di KPK, nanti kito pulo tebawak endong dan masuk penjaro pulo, siapo yang nak memberi makan anak bini?’’
‘’Iye tak iye pulak,’’ kata Wahab kawan Taufik Ikram Jamil yang tiba-tiba muncul macam hantu.
‘’Die begini tu Fen,’’ kata Dantje kawan saya yang juga kawan Ifen Piul.
Seni, yang menyangkuti persoalan estetika, berkait-kelindan dengan ‘kemanusiaan’, yakni ‘’keberdayaan dalam bertahan hidup’’, pergulatan menghadapi kehidupan, lebih tepatnya ‘asap dapur’ menurut orang Melayu. Jadi, seni adalah berbicara tentang kehidupan.
Meskipun, sering ada ucapan bahwa: pemerintah semestinya memperhatikan kehidupan seniman; bangsa yang beradab adalah bangsa yang menghargai kebudayaan (tentu termasuk senimannya); dan ucapan-ucapan lainnya yang mungkin hanya untuk menyenang-nyenangkan seniman. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa seniman sesungguhnya termasuk dalam golongan fakir atau miskin. Dalam dialog tentang ‘kemanusiaan’ seniman, ditanyakan ‘’mengapa seorang pelukis miskin?’’ misalnya, ‘’karena lukisan yang terjual hanya sesekali tidak menutupi modal kreativitas apalagi untuk keberdayaan hidup.’’ Padahal, seorang seniman harus berjuang antara beban manifestasi estetika di pundaknya, dengan perjuangan ‘asap dapur’ keperluan rumah-tangganya yang tidak dapat diukur menurut ilmu pasti.
Kalau kita tengok dari sudut pandang ilmu fiqih, nampaknya sesuailah pandangan bahwa seniman termasuk paling kurang golongan ‘fakir’. Menurut imam Malik, ‘fakir’ adalah seseorang yang memiliki harta namun tidak mencukupi untuk kebutuhan makan selama setahun, sementara pengertian ‘miskin’ adalah seseorang yang tidak memiliki harta apapun. Sementara menurut Imam Abu Hanifah mengartikan ‘fakir’ dengan seseorang yang memiliki harta dibawah nishab atau batas pemenuhan kebutuhan hidup dari harta yang berkembang, atau sebatas nishab dari harta yang tidak berkembang; dan pengertian ‘miskin’ menurut Abu Hanifah sependapat dengan imam Malik, yaitu seseorang yang tidak memiliki harta apapun. Sedangkan menurut imam Syafi’i dan imam Ahmad ‘fakir’ adalah seseorang yang sama sekali tidak memiliki harta, atau memiliki sedikit harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup; sedangkan ‘miskin’, menurut imam Syafii adalah seseorang yang memiliki harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak mencukupinya. Sementara menurut imam Ahmad, ‘miskin’ adalah seseorang yang memperoleh harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan yang dapat memenuhi sebagian besar atau setengah kebutuhan hidupnya. Jadi, seniman termasuk orang yang fakir, yakni paling kurang menurut Imam Malik penghasilannya tidak menentu, penghasilannya tidak dapat memenuhi keperluan makan selama setahun.
‘’Iyo tu, Pak,’’ kata Ifen Piul tak sabar.
Seniman, dalam strata ekonomi menurut saya setidaknya terbagi tiga: yaitu Seniman Job, Seniman Proposal, dan Seniman Elit. Seniman Job, yaitu seorang seniman yang hanya mengharapkan keperluan keuangan rumah-tangganya hanya dari job seni yang digelutinya, misalnya bermain musik mengiringi buda-budak besunat pun dilakukan, cuma yang tak tebuat mengiringi ratap kematian seperti ‘Oppari’ di India, ‘Basing’ dari suku Kajang Sulawesi, ‘Andung Ni Namabalu’ nyanyian ratap kematian masyarakat Batak Toba di Balige Toba Samosir Sumatera Utara. Strata ekonomi seniaman yang kedua, Seniman Proposal, yakni seniman yang mengharapkan keperluan rumah-tangganya dari berhasil tidaknya proposal yang diajukan, berkualitas atau tidaknya event kesenian yang diajukannya dalam proposal itu tak pentinglah, yang penting hasil materi yang didapatkan dari proyek proposal yang diajukan, dan yang terbayang dalam pikirannya: nak mengganti sepeda dengan sepeda-motor, nak mengganti sepeda-motor dengan mobil, bagi yang punya mobil tak tahulah apa yang ada dalam benak mereka; dan yang ketiga strata ekonomi Seniman Elit, yakni seniman yang berada di ruang lingkup yang juga elit, misalnya SPN -- seniman pegawai negeri, SP yaitu seniman pejabat yang mengaku seniman, tokoh-tokoh yang pura-pura merangkul seniman dan menjadi pembina kesenian.
Saya yang dengan khusuk mendengar semua celoteh dan ceracau Ifen Piul dan kawan-kawan saya itu, dan dengan hikmat menangkap dan merekam esensi semua pembicaraan, yang saya pikir muaranya kepada kesulitan financial atau ekonomi seniman dalam menghadapi keperluan hari raya, tentu untuk anak dan bini. Moment ini menjadi inspirasi bagi saya untuk membuat proposal kepada calon gubernur Riau untuk menangkap satu sisi persoalan seni dan seniman menjadi salah-satu bagian kampanye mereka berupa solusi pemecahan masalah yang dibicarakan panjang-lebar oleh kawan saya Ifen Piul, yang juga kawan Wahab yang kawan Taufik Ikram Jamil, biarpun saya akan disebut sebagai Seniman Proposal menurut pendapat Ifen Piul di atas. Lantaklah! n
SPN Zuarman Ahmad, komposer, konduktor, budayawan Riau penerima Anugerah Sagang tahun 2009, Anugerah Seniman Pemangku Negeri Dewan Kesenian Riau (DKR), anugerah seniman tradisional Provinsi Riau. n
Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment