Data buku: Semusim dan Semusim Lagi Andina Dwifatma Gramedia Pustaka Utama, 2013 232 hlm |
BAGAIMANAKAH sebuah novel yang dinarasikan aku, si tokoh sentral, yang mengidap skizofrenia? Kita menemukan ikan koki yang dapat berjalan-jalan dan berbicara dengan bahasa manusia. Segala ucapan dan tindakannya serupa sabda juru selamat yang harus diikuti oleh aku. Maka manakala ikan koki mengatakan aku hamil, aku pun panik. Ketika ikan koki membisiki aku supaya membunuh laki-laki yang menghamilinya lantaran ia menyuruh aku menggugurkan kandungan, aku kemudian melakukan tindakan yang dibisikkan ikan koki.
Aku memperkenalkan diri sebagai remaja yang sejak kecil menggilai apa pun yang berbau sejarah. Segala benda yang dilihatnya akan direnungkan bagaimana asal muasal terjadinya. Bahkan aku tak mau main petak umpet sebelum menemukan siapa penemu pertama jenis permainan itu (hlm. 11). Kegilaan aku pada sejarah dan asal mula kejadian ini agaknya dipicu oleh asal mula sejarah keberadaan aku yang samar-samar.
Novel pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini dibuka dengan informasi bahwa aku baru lulus SMA dan sedang bersiap-siap melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan sejarah yang paling diminatinya, ketika sebuah surat yang dikirim laki-laki yang mengaku ayahnya datang dan meminta aku menemui laki-laki itu.
Melalui alur cerita yang mengalir deras dan tangkas, kita kemudian tahu bagaimana pola hubungan antara ayah dan ibu aku, aku dan ibunya, pola asuh ibunya terhadap aku, kegemaran, watak, segala macam tindakan dan sikap aku. Pola hubungan aku dengan ibunya sangat kaku. Mereka seperti dua orang asing yang terjebak dan tinggal dalam satu rumah. Tak pernah ada tegur sapa mesra, percakapan akrab antara keduanya. Kecuali untuk hal-hal yang mungkin mendesak, semisal ?kenapa aku pulang sekolah terlambat?, atau percakapan yang penuh kalimat imperatif semisal ?jangan telat makan?, selebihnya adalah kebisuan.
Kondisi psikologis aku yang tertekan karena merasa berbeda sehingga menarik diri dari pergaulan untuk kemudian menenggelamkan diri pada tumpukan bacaan yang membuat aku tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, kritis, tapi juga sinis, apatis, dan nyinyir. Saat bertutur dan berdiskusi dengan Muara, aku gemar mengutip ucapan filsuf termasuk Nietzsche, menyinggung realitas agama dalam memperlakukan seks. Kondisi ini yang kemudian memicu mental dan emosi aku terganggu. Ketertekanan itu memuncak manakala, upaya aku menyingkap sejarah dirinya terus tertunda, berbaur dengan kerinduan aku pada ayah tak juga tertunaikan dan ditambah sikap Muara, teman laki-laki yang baru dikenal namun menyentuh sisi terdalam aku, yang memintanya menggugurkan kandungan telah meledakkan pertahanan psikologis aku sehingga kewarasannya goyah dan terempas pada kubangan skizofrenia dan kehampaan.
Dua Dunia
Penyajian konflik novel ini dibangun melalui hubungan-hubungan sebab-akibat yang cermat dengan intensitas dan irama terjaga hingga mencapai klimaks. Sejak awal novel ini berpijak pada dunia realitas sehari-hari. Namun, narator yang mengidap skizofrenia membuat realitas yang dihadirkan menjadi baur antara fantasi (baca: delusi, waham) dan dunia sehari-hari. Narator secara mulus membawa kita keluar masuk, bolak balik antara fantasi dan realitas sehari-hari yang dialami aku.
Hal ini dapat jadi karena dunia fantasi yang menghantui narator datang dari dunia sehari-hari, sekalipun dunia sehari-hari itu berbau mistis. Ikan koki itu mula-mula hadir benar-benar sebagai ikan koki yang berada dalam akuarium milik Oma Jaya, seorang tetangga sebelah rumah. Hanya saja Oma Jaya percaya ikan koki itu bukan sembarang ikan koki, melainkan merupakan reinkarnasi Sobron, suaminya, yang telah meninggal. Alam sadar aku menolak kepercayaan Oma Jaya. Bahkan aku menganggap perempuan tua kurang waras. Aku acap memergoki Oma Jaya tengah bercakap-cakap dengan ikan koki.
Namun, rupanya alam bawah sadar aku diam-diam memercayai penjelasan Oma Jaya sehingga suatu malam aku bermimpi lahir kembali sebagai tahi sapi (hlm. 125). Alam bawah sadar aku kemudian meruyak dan menguasai alam sadar aku.
Dunia fantasi masuk ke dunia sehari-hari sehingga aku pun menyebut apa yang dilihat dan dialaminya sebagai sesuatu yang absurd. Namun, pada saat bersamaan aku menganggap realitas kewarasan adalah absurditas yang lain lagi. Tak pelak aku berada dalam labirin absurditas yang sama-sama meragukan. Pada titik inilah saya kira, skizofrenia yang melanda aku masih terasa meragukan, karena di sana aku masih memiliki kesadaran bahwa dirinya mengidap skizofrenia.
Aris Kurniawan, sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Agustus 2013
Aku memperkenalkan diri sebagai remaja yang sejak kecil menggilai apa pun yang berbau sejarah. Segala benda yang dilihatnya akan direnungkan bagaimana asal muasal terjadinya. Bahkan aku tak mau main petak umpet sebelum menemukan siapa penemu pertama jenis permainan itu (hlm. 11). Kegilaan aku pada sejarah dan asal mula kejadian ini agaknya dipicu oleh asal mula sejarah keberadaan aku yang samar-samar.
Novel pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini dibuka dengan informasi bahwa aku baru lulus SMA dan sedang bersiap-siap melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan sejarah yang paling diminatinya, ketika sebuah surat yang dikirim laki-laki yang mengaku ayahnya datang dan meminta aku menemui laki-laki itu.
Melalui alur cerita yang mengalir deras dan tangkas, kita kemudian tahu bagaimana pola hubungan antara ayah dan ibu aku, aku dan ibunya, pola asuh ibunya terhadap aku, kegemaran, watak, segala macam tindakan dan sikap aku. Pola hubungan aku dengan ibunya sangat kaku. Mereka seperti dua orang asing yang terjebak dan tinggal dalam satu rumah. Tak pernah ada tegur sapa mesra, percakapan akrab antara keduanya. Kecuali untuk hal-hal yang mungkin mendesak, semisal ?kenapa aku pulang sekolah terlambat?, atau percakapan yang penuh kalimat imperatif semisal ?jangan telat makan?, selebihnya adalah kebisuan.
Kondisi psikologis aku yang tertekan karena merasa berbeda sehingga menarik diri dari pergaulan untuk kemudian menenggelamkan diri pada tumpukan bacaan yang membuat aku tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas, kritis, tapi juga sinis, apatis, dan nyinyir. Saat bertutur dan berdiskusi dengan Muara, aku gemar mengutip ucapan filsuf termasuk Nietzsche, menyinggung realitas agama dalam memperlakukan seks. Kondisi ini yang kemudian memicu mental dan emosi aku terganggu. Ketertekanan itu memuncak manakala, upaya aku menyingkap sejarah dirinya terus tertunda, berbaur dengan kerinduan aku pada ayah tak juga tertunaikan dan ditambah sikap Muara, teman laki-laki yang baru dikenal namun menyentuh sisi terdalam aku, yang memintanya menggugurkan kandungan telah meledakkan pertahanan psikologis aku sehingga kewarasannya goyah dan terempas pada kubangan skizofrenia dan kehampaan.
Dua Dunia
Penyajian konflik novel ini dibangun melalui hubungan-hubungan sebab-akibat yang cermat dengan intensitas dan irama terjaga hingga mencapai klimaks. Sejak awal novel ini berpijak pada dunia realitas sehari-hari. Namun, narator yang mengidap skizofrenia membuat realitas yang dihadirkan menjadi baur antara fantasi (baca: delusi, waham) dan dunia sehari-hari. Narator secara mulus membawa kita keluar masuk, bolak balik antara fantasi dan realitas sehari-hari yang dialami aku.
Hal ini dapat jadi karena dunia fantasi yang menghantui narator datang dari dunia sehari-hari, sekalipun dunia sehari-hari itu berbau mistis. Ikan koki itu mula-mula hadir benar-benar sebagai ikan koki yang berada dalam akuarium milik Oma Jaya, seorang tetangga sebelah rumah. Hanya saja Oma Jaya percaya ikan koki itu bukan sembarang ikan koki, melainkan merupakan reinkarnasi Sobron, suaminya, yang telah meninggal. Alam sadar aku menolak kepercayaan Oma Jaya. Bahkan aku menganggap perempuan tua kurang waras. Aku acap memergoki Oma Jaya tengah bercakap-cakap dengan ikan koki.
Namun, rupanya alam bawah sadar aku diam-diam memercayai penjelasan Oma Jaya sehingga suatu malam aku bermimpi lahir kembali sebagai tahi sapi (hlm. 125). Alam bawah sadar aku kemudian meruyak dan menguasai alam sadar aku.
Dunia fantasi masuk ke dunia sehari-hari sehingga aku pun menyebut apa yang dilihat dan dialaminya sebagai sesuatu yang absurd. Namun, pada saat bersamaan aku menganggap realitas kewarasan adalah absurditas yang lain lagi. Tak pelak aku berada dalam labirin absurditas yang sama-sama meragukan. Pada titik inilah saya kira, skizofrenia yang melanda aku masih terasa meragukan, karena di sana aku masih memiliki kesadaran bahwa dirinya mengidap skizofrenia.
Aris Kurniawan, sastrawan
Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment