Data Buku Negara, Pasar, dan Labirin Demokrasi Ade M. Wirasenjaya The Phinisi Press, Yogyakarta, 2013 xii, 146 hlm. |
NEGARA dan pasar menjadi entitas yang boleh jadi menyajikan pertarungan paling frontal fase neoliberal saat ini. Dalam pertarungan itu muncul berbagai gerakan sosial dari masyarakat. Tidak hanya di Tanah Air, turbulensi sosial terus saja mengiringi segala upaya integrasi negara terhadap rezim pasar global di berbagai belahan dunia. Bahkan, di sejumlah negara Eropa yang makmur, gerakan sosial menentang kebijakan negara untuk melakukan penghematan dan privatisasi terus muncul. Ini menjadi isyarat bahwa tidak mudah membangun harmoni antara negara dan pasar.
Rezim neolib selalu gagal menyembunyikan wataknya yang ambigu: peluang sejarah pada satu sisi dunia nyatanya menjadi tragedi sejarah bagi dunia yang lain. Negara-negara yang makmur dan mampu melakukan integrasi atas struktur pasar dunia menjadi aktor yang sedang merayakan perkembangan itu. Sementara bagi sebagian negara lainnya, termasuk kita di sini, globalisasi seperti meletakkan masyarakat pada labirin yang gelap dan berliku.
Alih-alih menjadi pemain dan aktor yang memiliki peran kuat, sebagai penonton sekalipun barangkali masyarakat kita tak punya cukup punya modal untuk sekadar membeli karcis.
Disharmoni negara dan pasar pada level global berlanjut pada disharmoni pasar dan kelompok-kelompok sosial-politik pada level domestik.
Sebagai sebuah prosedur, kehidupan demokrasi berlangsung sebagai bentuk penyesuaian negara atas arus kiberalisasi dunia. Di negara yang lemah, disharmoni pasar dan negara menampilkan dirinya dalam arena sosial-politik yang ditaburi oleh kelompok-kelompok yang juga disharmoni.
Negara agaknya begitu sibuk melakukan berbagai penyesuaian atas tekanan pasar dunia dan cenderung menjadi administratur finansial internasional. Sementara dalam arena sosial-politik, negara tampil gugup dan cenderung mengalamai kerapuhan (fragile).
Fragilitas negara niscaya menjadi risiko ekonomi-politik yang harus diterima oleh negara-negara yang basis industrinya sangat lemah. Malangnya, kapasitas sosial-politik negara pada tingkat domestik secara diam-diam juga mengalami take-over oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik komunal yang mengalami pertumbuhan luar biasa, dalam ruang politik liberal yang secara bersamaan dibawa oleh arus liberalisasi pasar.
Bercampur dengan berbagai sentimen lama—dari agama, ideologi, hingga etnisitas—pertumbuhan kelompok-kelompok itu pada gilirannya akan membuat pasar gagal mengendap dan melakukan pendalaman. Inilah faktor yang juga menjadi penyebab kegagalan pendalaman demokrasi di Indonesia.
Maka, posisi negara di Indonesia pada saat ini justru semakin melemah, bukan saja oleh gempuran rezim ekonomi-politik dunia, melainkan juga oleh semakin meruyaknya aktor-aktor politik komunal di level domestik. Akibatnya, negara selalu terlambat—jika tak ingin disebut gagal—melakukan berbagai konversi yang mampu menggerakkan kekuatan politik di bawahnya secara koheren dan berkelanjutan.
Kegagalan melakukan konversi itulah yang barangkali membuat negeri ini tak pernah berhasil menemukan apa yang juga oleh Fukuyama disebut modal sosial (social capital). Sampai saat ini, upaya merumuskan modal sosial selalu jatuh pada konstruksi sejumlah jargon ketimbang spirit, mendedahkan ritus ketimbang impetus, mencipta dogma ketimbang paradigma.
Kini, agenda besar bangsa ini adalah melakukan pendalaman baik pada aras demokrasi maupun ekonomi. Tanpa pendalaman, demokrasi hanya menjadi ritus yang melelahkan. Sementara ekonomi yang tanpa pendalaman akan kembali mengulang cerita bubble economy yang penuh kepalsuan, membangun kekayaan semu, dan mentalitas negara pengutang. Dan tanpa pijakan kaki yang kuat, globalisasi barangkali hanya berakhir menjadi tsunami.
Sudah sejak lama para pengkritik globalisasi memberikan peringatan tentang jebakan (trap) rezim pasar global terhadap pembangunan yang bisa melemahkan peran negara. Jebakan itu terutama muncul ketika berbagai kebijakan atas struktur ekonomi global dipilih oleh sejumlah negara berkembang. Cerita tentang penyesuaian struktural (structural adjusment) yang dilakukan oleh negara-negara berkembang sejak tahun ‘80-an berlanjut ke penyesuaian-penyesuaian lain pada masa kini.
Dalam isu pemanasan global, misalnya, negara-negara berkembang seolah harus melakukan penyesuaian ekologis (ecological adjusment) atas proyek ekologis negara-negara industri utama, yang secara faktual menjadi aktor terbesar dalam tragedi pemanasan global. Pola seperti ini tampak kuat menjadi tipikal bagaimana globalisasi saat ini bekerja, siapa yang menggerakkannya, dan siapa yang kelak menjadi korbannya.
Kehidupan demokrasi kita hari ini tampaknya mirip-mirip dengan dunia pasar gelap. Di sana aktor dan partai datang silih berganti, mengibarkan partai, memuntahkan iklan dan janji, tetapi kita tidak bisa berharap akan garansi politik dari semua itu. Kanibalisme produk adalah khas kehidupan di pasar gelap. Maka, tampillah aktor-aktor dan elite rekondisi dari partai-partai hasil proses kanibalistik. Aktor dan elite politik yang memiliki otentisitas harus tersingkir karena tidak cukup punya tempat dalam politik yang berbiaya tinggi.
Kekuatan-kekuatan civil society dan media massa yang mampu memberi tafsir kritis senantiasa dibutuhkan untuk mencegah kristalisasi pasar gelap dalam panggung politik negeri ini. Masyarakat harus terus mendapat pencerahan dari kalangan-kalangan kritis supaya tidak mudah terpesona dalam aneka iklan yang bisa dipastikan akan makin mengepung menjelang perhelatan pemilu nanti.
Demokrasi di Indonesia kini tampak memberi ruang bagi negara untuk tampil begitu sibuk. Di satu sisi, negara harus melayani berbagai instruksi kekuatan eksternal. Pada sisi lain juga harus mengakomodasi ledakan partisipasi publik yang dahsyat dan terkadang, begitu liar. Di antara dua tuntutan itu, panorama ironis justru segera terlihat: negara tampak begitu penuh pengkhidmatan pada titah rezim global dan begitu canggung dan gugup saat harus memberi perlindungan bagi berbagai persoalan masyarakat. Arah transisi demokrasi pun semakin mengabur dan tak kunjung terkonsolidasi.
Ditulis dengan gaya esai khas penulisnya, buku ini menawarkan kesegaran gagasan dan perspektif tentang berbagai masalah fundamental seperti kekuasaan, korupsi, gerakan sosial serta kuasa pasar dalam dunia politik kontemporer. n
Imron Nasri, peminat masalah-masalah sosial, politik, dan keagamaan.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013
Rezim neolib selalu gagal menyembunyikan wataknya yang ambigu: peluang sejarah pada satu sisi dunia nyatanya menjadi tragedi sejarah bagi dunia yang lain. Negara-negara yang makmur dan mampu melakukan integrasi atas struktur pasar dunia menjadi aktor yang sedang merayakan perkembangan itu. Sementara bagi sebagian negara lainnya, termasuk kita di sini, globalisasi seperti meletakkan masyarakat pada labirin yang gelap dan berliku.
Alih-alih menjadi pemain dan aktor yang memiliki peran kuat, sebagai penonton sekalipun barangkali masyarakat kita tak punya cukup punya modal untuk sekadar membeli karcis.
Disharmoni negara dan pasar pada level global berlanjut pada disharmoni pasar dan kelompok-kelompok sosial-politik pada level domestik.
Sebagai sebuah prosedur, kehidupan demokrasi berlangsung sebagai bentuk penyesuaian negara atas arus kiberalisasi dunia. Di negara yang lemah, disharmoni pasar dan negara menampilkan dirinya dalam arena sosial-politik yang ditaburi oleh kelompok-kelompok yang juga disharmoni.
Negara agaknya begitu sibuk melakukan berbagai penyesuaian atas tekanan pasar dunia dan cenderung menjadi administratur finansial internasional. Sementara dalam arena sosial-politik, negara tampil gugup dan cenderung mengalamai kerapuhan (fragile).
Fragilitas negara niscaya menjadi risiko ekonomi-politik yang harus diterima oleh negara-negara yang basis industrinya sangat lemah. Malangnya, kapasitas sosial-politik negara pada tingkat domestik secara diam-diam juga mengalami take-over oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik komunal yang mengalami pertumbuhan luar biasa, dalam ruang politik liberal yang secara bersamaan dibawa oleh arus liberalisasi pasar.
Bercampur dengan berbagai sentimen lama—dari agama, ideologi, hingga etnisitas—pertumbuhan kelompok-kelompok itu pada gilirannya akan membuat pasar gagal mengendap dan melakukan pendalaman. Inilah faktor yang juga menjadi penyebab kegagalan pendalaman demokrasi di Indonesia.
Maka, posisi negara di Indonesia pada saat ini justru semakin melemah, bukan saja oleh gempuran rezim ekonomi-politik dunia, melainkan juga oleh semakin meruyaknya aktor-aktor politik komunal di level domestik. Akibatnya, negara selalu terlambat—jika tak ingin disebut gagal—melakukan berbagai konversi yang mampu menggerakkan kekuatan politik di bawahnya secara koheren dan berkelanjutan.
Kegagalan melakukan konversi itulah yang barangkali membuat negeri ini tak pernah berhasil menemukan apa yang juga oleh Fukuyama disebut modal sosial (social capital). Sampai saat ini, upaya merumuskan modal sosial selalu jatuh pada konstruksi sejumlah jargon ketimbang spirit, mendedahkan ritus ketimbang impetus, mencipta dogma ketimbang paradigma.
Kini, agenda besar bangsa ini adalah melakukan pendalaman baik pada aras demokrasi maupun ekonomi. Tanpa pendalaman, demokrasi hanya menjadi ritus yang melelahkan. Sementara ekonomi yang tanpa pendalaman akan kembali mengulang cerita bubble economy yang penuh kepalsuan, membangun kekayaan semu, dan mentalitas negara pengutang. Dan tanpa pijakan kaki yang kuat, globalisasi barangkali hanya berakhir menjadi tsunami.
Sudah sejak lama para pengkritik globalisasi memberikan peringatan tentang jebakan (trap) rezim pasar global terhadap pembangunan yang bisa melemahkan peran negara. Jebakan itu terutama muncul ketika berbagai kebijakan atas struktur ekonomi global dipilih oleh sejumlah negara berkembang. Cerita tentang penyesuaian struktural (structural adjusment) yang dilakukan oleh negara-negara berkembang sejak tahun ‘80-an berlanjut ke penyesuaian-penyesuaian lain pada masa kini.
Dalam isu pemanasan global, misalnya, negara-negara berkembang seolah harus melakukan penyesuaian ekologis (ecological adjusment) atas proyek ekologis negara-negara industri utama, yang secara faktual menjadi aktor terbesar dalam tragedi pemanasan global. Pola seperti ini tampak kuat menjadi tipikal bagaimana globalisasi saat ini bekerja, siapa yang menggerakkannya, dan siapa yang kelak menjadi korbannya.
Kehidupan demokrasi kita hari ini tampaknya mirip-mirip dengan dunia pasar gelap. Di sana aktor dan partai datang silih berganti, mengibarkan partai, memuntahkan iklan dan janji, tetapi kita tidak bisa berharap akan garansi politik dari semua itu. Kanibalisme produk adalah khas kehidupan di pasar gelap. Maka, tampillah aktor-aktor dan elite rekondisi dari partai-partai hasil proses kanibalistik. Aktor dan elite politik yang memiliki otentisitas harus tersingkir karena tidak cukup punya tempat dalam politik yang berbiaya tinggi.
Kekuatan-kekuatan civil society dan media massa yang mampu memberi tafsir kritis senantiasa dibutuhkan untuk mencegah kristalisasi pasar gelap dalam panggung politik negeri ini. Masyarakat harus terus mendapat pencerahan dari kalangan-kalangan kritis supaya tidak mudah terpesona dalam aneka iklan yang bisa dipastikan akan makin mengepung menjelang perhelatan pemilu nanti.
Demokrasi di Indonesia kini tampak memberi ruang bagi negara untuk tampil begitu sibuk. Di satu sisi, negara harus melayani berbagai instruksi kekuatan eksternal. Pada sisi lain juga harus mengakomodasi ledakan partisipasi publik yang dahsyat dan terkadang, begitu liar. Di antara dua tuntutan itu, panorama ironis justru segera terlihat: negara tampak begitu penuh pengkhidmatan pada titah rezim global dan begitu canggung dan gugup saat harus memberi perlindungan bagi berbagai persoalan masyarakat. Arah transisi demokrasi pun semakin mengabur dan tak kunjung terkonsolidasi.
Ditulis dengan gaya esai khas penulisnya, buku ini menawarkan kesegaran gagasan dan perspektif tentang berbagai masalah fundamental seperti kekuasaan, korupsi, gerakan sosial serta kuasa pasar dalam dunia politik kontemporer. n
Imron Nasri, peminat masalah-masalah sosial, politik, dan keagamaan.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment