BULAN lebam tampak di atas Kali Ciliwung. Malam baru saja membuka kudungnya. Di bawah deretan rumah-rumah kayu, air terus meninggi dan hampir menenggelamkan rumah penduduk. Degradasi warna gelap dan putih membuat siratan bulan tecermin beda. Keriput dan tak sempurna. Permainan garis abstrak membuat kita harus lebih jeli melihat pantulan bulan yang pas.
Gambaran itu terlihat pada lukisan Bulan di Atas Banjir Ciliwung (65x80 cm) karya Iwan Aswan pada pameran bersama bertajuk Pas Bener 80 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengah pekan ini.
Pada pameran tersebut, hadir 10 pelukis/perupa lainnya. Mereka adalah Osoka Kusuma Djaya, Aji Najiullah Thaib, Budi Siswandi, Daryat, Dianthus Louisa Pattiagina, Erwin Utoyo, Frans Teguh Sutanto, Liliek Effendi, Ruli, dan Usdek Zazuli.
Aswan menghadirkan objek sungai dalam setiap karyanya. Sebut saja Ciliwung Banjir (90x75 cm), Bendera Partai yang Menjanjikan (50x70), Mencuci di Pagi Hari Ciliwung (75x125 cm), dan Mandi MCK (70x90 cm).
Semua karya impresif cukup khas. Tengok saja Mandi MCK. Ia hadirkan empat perempuan sedang mandi dan mencuci di pinggir bantaran sungai. Dari empat objek perempuan, ada seorang perempuan yang selesai mandi. Ia menggunakan handuk untuk mengeringkan rambut dan tubuhnya.
Cermin hidup
Terlepas dari objek sungai dan penghuni di sekitarnya, pameran yang berlangsung pada 18-28 Agustus itu cukup menggelitik. Oka, sapaan Osoka, putra mendiang pelukis kawakan R Otto Djaya itu menghadirkan objek tarian-tarian tradisional secara ekspresif.
Pada karya In Action/Dancer (120x120 cm), ada seorang penari sedang memperagakan sebuah gerakan Tari Cokek atau Tari Jaipongan. Tangan kiri yang gemulai mengayun ke depan dan tangan kanan menyempil. Pada latar belakang objek utama, ada seorang perempuan lain. Seakan menjadi sebuah simbol berupa cermin hidup.
Sesungguhnya, di balik kehidupan sebagai sang penari, ada tugas lain yang ia emban. Mungkin sebagai ibu, pembantu rumah tangga, atau perempuan kantoran. “Objek tarian selalu mengundang imajinasi bagi banyak orang. Saya coba untuk menghadirkan tarian. Tari sangat dekat dengan kehidupan. Bisa untuk memuja Sang Kuasa hingga sajian budaya,” tutur Oka.
Karya lain yang ia hadirkan, antara lain Sepasang Penari (50x70 cm), Dua yang Berbeda/Topeng (50x50 cm), Impian Penari (50x50 cm), Ngrasani/Gosip (50x50 cm), dan Wajah Lesu (100x100 cm).
Oka telah melukis sejak 1965 di bawah asuhan ayahnya sendiri. Namun, lelaki kelahiran Semarang, 14 Juni 1957 itu, baru terjun secara profesional pada awal 1990. Baginya, melukis sebagai terapi jiwa.
Malam itu, Oka dan sahabat-sahabatnya mencoba untuk menggores kenangan. Apalagi mereka semua adalah alumnus (angkatan 80-an) dari sebuah kampus swasta yang sama di Ibu Kota. “Ini sebagai ajang melepas rindu. Sudah lama tak berjumpa sehingga kami baru ngumpul lagi sekarang,” timpal Aji.
Pameran tersebut berhasil memotret kondisi masyarakat bawah. Namun, nafas setiap karya antarpelukis tidak memiliki benang merah yang kuat. Bertolak dari tema sesungguhnya. Terlepas dari itu, 11 pelukis/perupa itu berhasil menujukkan kritik pedas bagi para pengambil kebijakan di negeri ini. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Agustus 2013
Gambaran itu terlihat pada lukisan Bulan di Atas Banjir Ciliwung (65x80 cm) karya Iwan Aswan pada pameran bersama bertajuk Pas Bener 80 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengah pekan ini.
Pada pameran tersebut, hadir 10 pelukis/perupa lainnya. Mereka adalah Osoka Kusuma Djaya, Aji Najiullah Thaib, Budi Siswandi, Daryat, Dianthus Louisa Pattiagina, Erwin Utoyo, Frans Teguh Sutanto, Liliek Effendi, Ruli, dan Usdek Zazuli.
Aswan menghadirkan objek sungai dalam setiap karyanya. Sebut saja Ciliwung Banjir (90x75 cm), Bendera Partai yang Menjanjikan (50x70), Mencuci di Pagi Hari Ciliwung (75x125 cm), dan Mandi MCK (70x90 cm).
Semua karya impresif cukup khas. Tengok saja Mandi MCK. Ia hadirkan empat perempuan sedang mandi dan mencuci di pinggir bantaran sungai. Dari empat objek perempuan, ada seorang perempuan yang selesai mandi. Ia menggunakan handuk untuk mengeringkan rambut dan tubuhnya.
Cermin hidup
Terlepas dari objek sungai dan penghuni di sekitarnya, pameran yang berlangsung pada 18-28 Agustus itu cukup menggelitik. Oka, sapaan Osoka, putra mendiang pelukis kawakan R Otto Djaya itu menghadirkan objek tarian-tarian tradisional secara ekspresif.
Pada karya In Action/Dancer (120x120 cm), ada seorang penari sedang memperagakan sebuah gerakan Tari Cokek atau Tari Jaipongan. Tangan kiri yang gemulai mengayun ke depan dan tangan kanan menyempil. Pada latar belakang objek utama, ada seorang perempuan lain. Seakan menjadi sebuah simbol berupa cermin hidup.
Sesungguhnya, di balik kehidupan sebagai sang penari, ada tugas lain yang ia emban. Mungkin sebagai ibu, pembantu rumah tangga, atau perempuan kantoran. “Objek tarian selalu mengundang imajinasi bagi banyak orang. Saya coba untuk menghadirkan tarian. Tari sangat dekat dengan kehidupan. Bisa untuk memuja Sang Kuasa hingga sajian budaya,” tutur Oka.
Karya lain yang ia hadirkan, antara lain Sepasang Penari (50x70 cm), Dua yang Berbeda/Topeng (50x50 cm), Impian Penari (50x50 cm), Ngrasani/Gosip (50x50 cm), dan Wajah Lesu (100x100 cm).
Oka telah melukis sejak 1965 di bawah asuhan ayahnya sendiri. Namun, lelaki kelahiran Semarang, 14 Juni 1957 itu, baru terjun secara profesional pada awal 1990. Baginya, melukis sebagai terapi jiwa.
Malam itu, Oka dan sahabat-sahabatnya mencoba untuk menggores kenangan. Apalagi mereka semua adalah alumnus (angkatan 80-an) dari sebuah kampus swasta yang sama di Ibu Kota. “Ini sebagai ajang melepas rindu. Sudah lama tak berjumpa sehingga kami baru ngumpul lagi sekarang,” timpal Aji.
Pameran tersebut berhasil memotret kondisi masyarakat bawah. Namun, nafas setiap karya antarpelukis tidak memiliki benang merah yang kuat. Bertolak dari tema sesungguhnya. Terlepas dari itu, 11 pelukis/perupa itu berhasil menujukkan kritik pedas bagi para pengambil kebijakan di negeri ini. (Iwan Kurniawan/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment