Sunday, August 18, 2013

[Jendela Buku] Tinjauan Islam soal Tradisi Kawin Lari Suku Sasak

-- Siswantini Suryandari
   
Perlu ada pengkajian kembali tradisi kawin lari (merarik) pada suku Sasak agar mencerminkan hukum Islam.

MERARIK, sebuah tradisi kawin lari pada masyarakat Sasak, Lombok, yang sudah dijalankan turun-temurun. Seorang laki-laki menculik kekasihnya dan membawa lari ke rumah keluarga pria untuk dinikahi.

Tradisi yang disebut merarik itu hingga kini masih dijalankan masyarakat suku Sasak. Namun, buku Merarik pada Masyarakat Sasak, Sejarah, Proses, dan Pandangan Islam, karya Kaharuddin Sulkhad, meneropong tradisi tersebut dari sisi agama.

Sulkhad dalam tulisannya mengaitkan tradisi tersebut dengan Islam sebagai agama mayoritas masyarakat tersebut.

Dalam merarik, menurut pandangan Sulkhad, gadis yang dibawa lari lelaki pilihannya pada malam hari memiliki risiko yang membahayakan.

Saat gadis dibawa lari, dia bisa mengalami masa-masa bahaya, misalnya ada lelaki lain yang tertarik pada gadis itu dan memicu terjadinya pertikaian dengan lawannya.

Di sisi lain, pria Sasak boleh mengencani gadis-gadis yang akan dijadikan istrinya sebelum memutuskan untuk dibawa lari. Akibatnya banyak pria yang mengencani gadis pujaan yang sama.

Seperti pengakuan seorang ibu yang anaknya dibawa lari calon suaminya. Banyak lelaki yang melakukan midang (mengencani) anak gadisnya. Namun, orangtuanya tidak tahu-menahu pria mana yang telah menculik anaknya, dari sekian banyak orang yang telah memidang anaknya.

Kondisi semacam itu sangat umum dijumpai di masyarakat Sasak. Shulkad meninjau tradisi itu lewat Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Sasak dan Lombok pada umumnya.

Tidak ada pinangan

Ada beberapa hal yang memang bertentangan dengan agama. Dalam buku setebal 172 terbitan Penerbit Ombak itu, Shulkad melihat dalam tradisi merarik tidak ada proses pinangan atau lamaran. Alasannya, anak gadis bukanlah sirih, sehingga calon suami tidak perlu meminang atau melamar di depan orangtuanya.

Kemudian, orangtua gadis tidak tahu-menahu soal siapa yang membawa anaknya. Dengan kata lain, orangtua tidak mengenal calon menantu.

Dalam proses pelarian, gadis yang dibawa pergi berisiko mengalami kekerasan fisik, pelecehan, dan hal lain yang cukup membahayakan. Banyak persoalan yang terjadi setelahnya. Misalnya saat pernikahan, pihak perempuan meminta adanya wali nikah (pisuke). Namun, tidak semua calon menantu dan besan bersedia atau setuju.

Bila pasangan tersebut menikah, barulah mereka mengunjungi rumah pihak orangtua perempuan atau disebut nyongkol. Namun, tulis Sulkhad, perlu ada pengkajian kembali mengenai adat perkawinan Sasak tersebut. Penulis yang kini sedang merampungkan studi S-3 bidang hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyarankan agar merarik bisa mencerminkan hukum Islam, yakni dalam pernikahan harus ada lamaran. Pihak keluarga pria meminang gadis di rumah keluarga perempuan.

Seluruh elemen masyarakat termasuk tokoh agama harus ikut terlibat dalam melestarikan adat merarik yang sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga saat pernikahan harus ada wali dari perempuan.

Menurutnya, adat merarik yang sudah dilakukan turun-temurun bisa tetap dipertahankan asalkan faktor-faktor yang menimbulkan pergeseran nilai tradisi diperhatikan sejak dini. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 18 Agustus 2013

No comments: