SUARA sangkakala berkumandang dari depan patung kepala garuda, bagian yang tak terselesaikan dalam pembuatan awal patung Garuda Wisnu Kencana (GWK). Dua pria meniupnya secara berirama.
Sekelompok laki-laki dan perempuan Bali membawa sesajen. Mereka memanjatkan doa dan mengucapkan rasa syukur atas upacara peletakan batu pertama pembangunan patung GWK yang baru.
Secara perlahan, mereka menuruni anak tangga, menuju panggung mini yang dibuat di pelataran luas. Ketut Sumadi yang memimpin ritual mengumandangkan doa dalam bahasa setempat. Semua mata, para pengunjung, termasuk tamu undangan dan wisatawan, tertuju ke prosesi itu. Ketut pun memercik air, melempar bunga, dan mengucapkan doa-doa.
Adegan awal itu membuka pementasan repertoar dengan lakon Garuda Wisnu Kencana di Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana, Ungasan, Bali, Jumat (23/8) malam. Lakon itu digarap pengatur laku Putu Fajar Arcana dan Ersan Amidarto.
Repertoar itu digelar pada acara puncak rangkaian peletakan batu pertama patung GWK yang proses pengerjaannya baru dimulai lagi setelah mangkrak sejak 1997. Pematung sekaligus pencipta patung GWK, Nyoman Nuarta, bertindak sebagai penata artistik.
Penyanyi Tri Utami dan pemain harpa Maya Hasan berkolaborasi membawakan lagu daerah Bali Eda Ngaden Awak Bisa yang mengandung pesan agar manusia selalu rendah hati. Tak lama berselang, 400 penari Kecak muncul dari bawah patung kepala garuda. Mereka membawa obor dan membentuk barisan layaknya naga yang baru saja keluar dari sarang.
Sang naga bertarung dengan seekor burung garuda--diperankan seorang penari perempuan. Sang garuda menang.
Repertoar pun berakhir dengan hadirnya replika patung GWK. Pementasan lakon macam itu rupanya bukan sekadar pementasan megah untuk meramaikan suasana. "Ini menjadi kegiatan progresif yang menginspirasi dalam menunjang ekonomi. Ekonomi bukan sekadar kapitalis, tapi apresiasi. Suatu karya yang baik pasti akan diapresiasi masyarakat," ucap budayawan Taufik Rahzen.
Bagi Taufik, patung GWK yang kembali dikerjakan setelah belasan tahun terbengkalai mengandung makna. "Ini bukan sesuatu yang baru dipetik. Saya melihat pada awal muncul 1996 dan dikukuhkan pembuatannya pada 1997, ada pemikiran mendalam demi sebuah peradaban Indonesia," kata dia seusai pementasan repertoar.
Pementasan repertoar, menurut pengatur lakon, Putu Fajar Arcana, bertujuan menunjukkan makna pembuatan patung GWK yang berupa Dewa Wisnu di punggung garuda.
"Repertoar ini secara keseluruhan menggambarkan pemujaan terhadap kebesaran alam semesta. Kita manusia hanya debu, partikel kecil di dalamnya. Garuda Wisnu ialah simbol harmoni. Pentas ini sebagai bentuk untuk menunjukkan makna dari pembuatan Patung GWK," kata dia. (Iwa/M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Agustus 2013
Sekelompok laki-laki dan perempuan Bali membawa sesajen. Mereka memanjatkan doa dan mengucapkan rasa syukur atas upacara peletakan batu pertama pembangunan patung GWK yang baru.
Secara perlahan, mereka menuruni anak tangga, menuju panggung mini yang dibuat di pelataran luas. Ketut Sumadi yang memimpin ritual mengumandangkan doa dalam bahasa setempat. Semua mata, para pengunjung, termasuk tamu undangan dan wisatawan, tertuju ke prosesi itu. Ketut pun memercik air, melempar bunga, dan mengucapkan doa-doa.
Adegan awal itu membuka pementasan repertoar dengan lakon Garuda Wisnu Kencana di Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana, Ungasan, Bali, Jumat (23/8) malam. Lakon itu digarap pengatur laku Putu Fajar Arcana dan Ersan Amidarto.
Repertoar itu digelar pada acara puncak rangkaian peletakan batu pertama patung GWK yang proses pengerjaannya baru dimulai lagi setelah mangkrak sejak 1997. Pematung sekaligus pencipta patung GWK, Nyoman Nuarta, bertindak sebagai penata artistik.
Penyanyi Tri Utami dan pemain harpa Maya Hasan berkolaborasi membawakan lagu daerah Bali Eda Ngaden Awak Bisa yang mengandung pesan agar manusia selalu rendah hati. Tak lama berselang, 400 penari Kecak muncul dari bawah patung kepala garuda. Mereka membawa obor dan membentuk barisan layaknya naga yang baru saja keluar dari sarang.
Sang naga bertarung dengan seekor burung garuda--diperankan seorang penari perempuan. Sang garuda menang.
Repertoar pun berakhir dengan hadirnya replika patung GWK. Pementasan lakon macam itu rupanya bukan sekadar pementasan megah untuk meramaikan suasana. "Ini menjadi kegiatan progresif yang menginspirasi dalam menunjang ekonomi. Ekonomi bukan sekadar kapitalis, tapi apresiasi. Suatu karya yang baik pasti akan diapresiasi masyarakat," ucap budayawan Taufik Rahzen.
Bagi Taufik, patung GWK yang kembali dikerjakan setelah belasan tahun terbengkalai mengandung makna. "Ini bukan sesuatu yang baru dipetik. Saya melihat pada awal muncul 1996 dan dikukuhkan pembuatannya pada 1997, ada pemikiran mendalam demi sebuah peradaban Indonesia," kata dia seusai pementasan repertoar.
Pementasan repertoar, menurut pengatur lakon, Putu Fajar Arcana, bertujuan menunjukkan makna pembuatan patung GWK yang berupa Dewa Wisnu di punggung garuda.
"Repertoar ini secara keseluruhan menggambarkan pemujaan terhadap kebesaran alam semesta. Kita manusia hanya debu, partikel kecil di dalamnya. Garuda Wisnu ialah simbol harmoni. Pentas ini sebagai bentuk untuk menunjukkan makna dari pembuatan Patung GWK," kata dia. (Iwa/M-1)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment