Sunday, September 08, 2013

[Tifa] Goresan Realis Penyejuk Batin

-- Iwan Kurniawan

PARA perempuan lansia pelukis dari Bandung menghadirkan nyanyian kesunyian dan kelembutan. Ada peserta tertua, berusia 91 tahun, yang menjadi sejarah dalam dunia seni lukis Indonesia.

PEDULI SESAMA: Pengunjung memerhatikan karya lukis pada pameran
bertajuk Pameran Lukisan Peduli Sesama XIII di Galeri Ikatan Wanita
Pelukis Indonesia di Bandung, Jawa Barat, pertengahan pekan ini.
MI/Iwan Kurniawan
LANGKAH kaki Romlah Rustandi, 91, tertatih-tatih. Ia melangkah begitu perlahan menyalami setiap pengunjung yang datang melihat karyanya dan puluhan karya pelukis lainnya.

Tubuh yang sudah merenta dan menua membuat ia tak segesit dulu. Namun, ingatan dan pendengarannya masih tajam sehingga ia bertutur sapa secara jelas dengan setiap pengunjung, siang itu.

Di sampingnya, lukisan Romlah berjudul Kupu-Kupu dengan Batu Kalimantan (50x70 cm) terpampang rapi bersama puluhan karya lainnya pada pameran lukisan bersama bertajuk Peduli Sesama XIII di Galeri Ikatan Wanita Pelukis Indonesia di Bandung, Jawa Barat, pertengahan pekan ini.

Pada pameran sebulan penuh yang berlangsung hingga Oktober itu, sederet nama pelukis perempuan ternama Bandung juga turut berpameran. Mereka antara lain Nakis Barli, Emma S Budimansyah, Prie Ernalia Wiranegara, Lili Melati, N Amalia, Diana Nimpoeno Moeis, Murtini Sungkowo, Juan Haroen Padmakusuma, Peggy Sunotoredjo, Soedjanah Darusman, hingga Poppy Adi.

Di balik pameran tersebut, ada keunikan dan kekhasan tersendiri. Setiap pelukis merupakan oma-oma yang rata-rata berusia 60 tahun ke atas. Mereka menunjukkan usia lanjut tak menjadi rintangan. Mereka masih bisa mengangkat kuas dan menari bersama jemari di atas kanvas secara apik.

Di antara sekitar 80-an lukisan yang dipajang, Romlah menghadirkan kupu-kupu yang sedang mengepakkan sayap-sayap. Makhluk bermetamorfosis itu sedang hinggap di sebuah ranting bunga sambil mengisap sari di putiknya.

Di balik lukisan naturalis yang realis itu, ada sebuah hal yang cukup penting untuk diperhatikan. Romlah menempelkan batu-batu berwarna khas Borneo sebagai manik-manik di atas karyanya, mulai dari batu berwarna hijau hingga kuning. Unsur pencahayaan semakin membuat lukisan itu terlihat elegan.

Darah seni yang mengental membuat perempuan yang memiliki 7 anak, 14 cucu, dan 24 buyut itu menjadi salah satu pelukis tertua di Jawa Barat yang masih eksis di hari tua. Maklum, ia lama menetap di Amerika Serikat sebelum kembali memutuskan untuk pulang kampung ke Bandung pada 90-an. “Saya melukis untuk menyejukkan hati dan membunuh lonely. Butuh kesabaran untuk menaruh batu-batu secara rapi di atas kanvas. Saya mah bersyukur atuh karena pendengaran masih normal wae, dan mata masih jelas melihat,” ujar Romlah di sela-sela pembukaan pameran.

Sebagai apresiasi atas ketekunan dan kerja kerasnya dalam dunia seni lukis, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar yang turut hadir langsung memboyong lukisan Kupu-kupu dengan Batu Kalimantan. “Ini pelukis tertua yang pernah saya jumpai. Saya menghargai kerja keras Ibu Romlah sehingga karya ini akan dipajang di kantor,” ujar Sapta seraya berfoto bersama.

Kelembutan

Lewat garisan hingga imajinasi yang dihadirkan para perempuan pelukis itu, ada karakteristik yang mereka tunjukkan. Latar belakang pelukis berpendidikan seni murni hingga autodidak begitu tampak jelas.

Lihat saja pada lukisan milik Ernalia, 62, berjudul Lestarikan Hutanku (90x70 cm). Unsur tropis dengan pohon-pohon jati hingga pohon kayu putih terlihat jelas. Namun, Ernalia menambahkan degradasi corak batik sebagai pelengkap dalam karyanya.

Objeknya ialah perempuan berbaju merah jambu yang sedang berpose dengan latar belakang hutan. Estetika objek begitu ia perhatikan sehingga mempermudah kita lebih memahami garis-garis yang seakan sudah terformat. Maklum, latar belakang pendidikan di Seni Murni Institut Teknologi Bandung banyak memengaruhi paradigma berpikirnya, terutama pada konsep kebarat-baratan yang ia adopsi.

Berbeda dengan Amalia, 82. Ia masih bermain dengan tema-tema dekoratif. Maklum, ia sempat berguru pada seorang pelukis asal Belanda, Ny Mariette Bronkhost, pada era 80-an. Unsur bunga tulip khas 'Negeri Kincir Angin' hingga bunga matahari menjadi corak khas sehingga Amalia begitu gesit bermain di ranah naturalis.

Terlepas dari tema flora, ada pula tema Ibu. Beragam pelukis menafsir secara bebas, mulai dari ibu sebagai seorang pahlawan hingga ibu sebagai surga buat anak-anaknya.

Gaya-gaya realis--mendekati ekspresif--tampak jelas pada lukisan Nakis berjudul Anakku Sayang. Ia memadukan unsur tradisional, terutama pada kain batik yang digunakan dalam objek ibu. Sang ibu sedang duduk sambil bercengkerama dengan balitanya. Tentu saja, Nakis tak mau melepaskan unsur kasih sayang itu. Apalagi, ia merupakan seorang ibu dan juga nenek.

Terlepas dari gaya yang Nakis hadirkan, pikiran kita bisa langsung tertuju pada karya-karya suaminya yang juga seorang pelukis kawakan, Barli Sasmitawinata. Pengaruh suami begitu kuat. Namun, Nakis menampiknya dan mengatakan punya gaya tersendiri. “Semua berawal dari pengalaman. Hari tua itu menyenangkan untuk tetap berkarya saja,” kilahnya.

Memang tak bisa diayal, Nakis juga punya ‘keakuan’ untuk menghadirkan imajinasi. Berbagai pemeran di luar negeri pun telah ia ikuti, mulai dari negara-negara di Asia hingga Eropa.

Jika diperharikan, ada benang merah di antara semua karya pada pameran Peduli Sesama XIII. Semua pelukis menghadirkan tema tentang kelembutan dan kesunyian. Itu terpancar pada objek bunga, kupu-kupu, hingga perempuan gemulai.

Meski demikian, karya-karya lainnya masih terlihat datar seperti lukisan dekoratif yang cocok untuk ruangan makan saja, bukan sebagai karya murni yang mampu menerobos batas-batas persendian seni lukis yang imajinatif, estetis, dan filosofis. n

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 8 September 2013

No comments: