Tuesday, May 01, 2012

Lomba Baca Bahasa Tegalan: Orang Tegal Harus Bangga dengan Bahasanya

-- Siwi Nurbiajanti

Salah seorang PNS di lingkungan Pemerintah Kota Tegal sedang membaca artikel berbahasa Tegalan, dalam Lomba Maca Artikel Basa Tegalan (Lomba Membaca Artikel Berbahasa Tegalan), di Pendopo Ki Gede Sebayu Kota Tegal, Selasa (17/4/2012). Kegiatan yang diselenggarakan Pemkot Tegal dalam rangka memeriahkan Hari Jadi ke-432 Kota Tegal tersebut dimaksudkan untuk melestarikan bahasa Tegalan, serta membuktikan bahwa bahasa Tegalan bukan merupakan bahasa kelas II dalam bahasa Jawa. (KOMPAS/SIWI NURBIAJANTI)

PULUHAN pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kota Tegal, Jawa Tengah, nampak memenuhi aula Pendopo Ki Gede Sebayu Kota Tegal, Selasa (17/4) lalu. Mereka mengantri untuk mendapat giliran membaca artikel berbahasa Tegalan, dalam Lomba Maca Artikel Basa Tegalan (Lomba Membaca Artikel Berbahasa Tegalan).

Lomba ini diselenggarakan Pemkot Tegal dalam rangka memeriahkan Hari Jadi ke-432 Kota Tegal. Lomba Maca Artikel Basa Tegalan merupakan satu di antara belasan lomba yang diselenggarakan. Meskipun demikian, lomba tersebut memiliki makna yang berbeda, karena tidak sekadar menjadi ajang berebut piala, tetapi juga bertujuan mempertahankan kebudayaan asli Tegal, berupa bahasa Tegalan.

Lomba tersebut juga baru pertama kali diadakan, dari sekian tahun perayaan hari jadi yang pernah dilaksanakan di Kota Tegal. Para peserta lomba adalah para pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkot Tegal, meliputi kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan staf pada masing-masing dinas.

Lomba untuk staf dilaksanakan pada Selasa, sedangkan lomba untuk kepala SKPD dilaksanakan pada Rabu (18/4).

Dalam lomba yang diselenggarakan pada hari Selasa, peserta diwajibkan memilih satu di antara empat artikel berbahasa Tegalan yang pernah dimuat di media cetak, yaitu artikel berjudul Pitnah (Fitnah) dan Rebutan Balung (Berebut Tulang) karya mantan Wakil Wali Kota Tegal periode 2004-2009, Maufur, serta artikel berjudul Mambu Baleng (Bau Busuk) dan Manghrib Ngaji Tipi Mati (Magh rib Mengaji Televisi Dimatikan) karya budayawan Tegal, Yono Daryono.

"Ora nguja sore-sore, wong papat Man Damin, Wa Kamid, Wa Kemung, karo Wa Yasik teka bareng nang lincak sing biasa nggo jagongan wong kampung."

Demikian salah satu contoh alinea pembuka pada artikel berjudul Mambu Baleng, yang berarti "Tidak sengaja sore-sore, empat orang, yaitu Paman Damin, Pakdhe Kamid, Pakdhe Kemung, dan Pakdhe Yasik datang bersama di kursi panjang yang biasa digunakan warga kampung untuk duduk mengobrol."

Ketua panitia lomba Markus Wahyu Priyono menuturkan, lomba membaca artikel berbahasa Tegalan diharapkan bisa menumbuhkan semangat masyarakat untuk melestarikan bahasa Tegalan. Beberapa waktu terakhir, artikel-artikel dengan menggunakan bahasa Tegalan sudah mulai dimunculkan oleh para penulis dari Kota Tegal di beberapa media cetak, sehingga keberadaannya perlu terus dikembangkan dan dilestarikan.

Meskipun banyak peserta asli penduduk Tegal, tidak semuanya mampu menampilkan pembacaan artikel dengan lancar. Ada saja peserta yang salah dalam membaca, sehingga intonasi dan makna dalam artikel kurang tersampaikan.

Yono Daryono yang menjadi salah seorang juri dalam lomba tersebut menilai, beberapa kesalahan yang muncul dalam pembacaan artikel diperkirakan terjadi karena para peserta terburu-buru saat membaca.

Mereka terpaku pada batasan waktu lima menit untuk pembacaan satu artikel. "Padahal peserta tidak diharuskan menyelesaikan satu artikel dalam waktu lima menit," katanya.

Meskipun demikian ia menilai, hampir semua peserta mampu menampilkan dialek bahasa Tegalan dengan baik. Para peserta lanjutnya, dinilai dari tiga kriteria, yaitu teknik membaca, ekspresi, dan dialek.

Menurut dia, lomba tersebut memiliki makna penting, tidak hanya untuk melestarikan bahasa daerah, tetapi juga untuk membuktikan bahwa bahasa Tegalan bukan merupakan bahasa kelas II dalam bahasa Jawa. "Bahasa Tegal ya bahasa Jawa dengan dialek dan kosakata Tegal," tuturnya.

Dengan demikian, bahasa Tegalan tidak bisa dibandingkan dengan bahasa Jawa yang biasa digunakan masyarakat Yogyakarta dan Solo. Bahasa Tegalan merupakan bahasa tersendiri, karena sudah dipakai lebih dari 200 orang, meliputi wilayah Kabupaten Tegal, Kota Tegal, dan Kabupaten Btebes. "Orang Tegal harus yakin dengan bahasanya, dan tidak boleh minder," tambah Yono.

Demokratis

Tidak hanya itu, bahasa Tegalan juga sangat demokratis, karena dalam bahasa tersebut tidak dikenal krama inggil seperti halnya dalam bahasa Jawa di Yogya dan Solo. Anak-anak, remaja, hingga orang tua, semuanya dipanggil dengan kata kowen atau sampeyan, yang berarti kamu.

Bahasa Tegalan juga memiliki ciri akhiran a dan bukan o seperti dalam bahasa Jawa, logat yang dipanjangkan, seperti iya ya(aaa), serta penggunakan konsonan k,d,b,g yang lebih jelas.

Firman Hadi (39), salah seorang peserta lomba, mengakui, selama ini bahasa Tegalan cenderung dianggap kasar, karena dibandingkan dengan bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Yogya dan Solo. Padahal, kedua bahasa tersebut tidak bisa diperbandingkan, karena dialeknya memang berbeda.

Oleh karena itu, Firman yang merupakan staf Kantor Lingkungan Hidup Pemkot Tegal mengaku sangat mendukung acara lomba membaca artikel berbahasa Tegalan. Hal senada juga disampaikan Amin Suseno (40), peserta dari perwakilan Satuan Polisi pamong Paja Pemkot Tegal.

Ia berharap, lomba serupa bisa diadakan setiap tahun, agar bahasa Tegalan tidak dilupakan masyarakatnya. Ia juga berharap, kamus bahasa Tegalan bisa disebarluaskan kepada masyarakat, sehingga masyarakat luas bisa mengenal bahasa tersebut.

Dengan demikian, bahasa Tegalan tidak hanya dikenal sebagai bahasa lawak di kancah nasional, tetapi juga sebagai bahasa daerah yang perlu untuk dij aga dan dilestarikan.
 
Sumber: Oase, Kompas.com,  Selasa, 1 Mei 2012

No comments: