-- Taufik Effendi Aria
SETIAP orang pasti punya keinginan untuk menciptakan karya bermutu, cerdas dan piawai. Karena karya yang demikian dapat memperpanjang makna kehidupan seseorang di atas permukaan bumi ini. Namanya akan selalu dikenang, seolah-olah dia tak pernah mati walau jasadnya telah terkubur dan menyatu dengan tanah sekalipun. Sebagaimana adagium: ‘’Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama’’.
Nama adalah identitas yang harus dijaga dan dipelihara, setidaknya dengan: (1) Selalu berzikir, mengingat Allah dalam keadaan apa, bagaimana dan di manapun, dengan segala konsekuensinya; (2) Berkeinginan dan bercita-cita menjadi yang terbaik di atas segala yang ada; (3) Bekerja keras dengan segala kemampuan, tenaga, akal dan rasa yang dimiliki, untuk kemaslahatan manusia. Mudah-mudahan berdasarkan ketiga hal tersebut, nama sebagai identitas dapat terjaga, bersih harum dan terpelihara, kekal abadi, dikenang orang sepanjang masa.
‘’Aku ingin hidup seribu tahun lagi’’, sabda Chairil Anwar dalam salah satu sajaknya. Keinginan itu dibuktikan dengan usahanya memilih kata yang tepat dan bersayap, hingga dia menjadi ‘binatang jalang’ yang terlempar dari ‘konvensi’ persajakan tradisional dan mendirikan istana baru dengan sebutan “puisi modern”. Dan dia pun dinobatkan sebagai Pelopor Angkatan 45. Namanya tetap kekal dalam karya-karyanya yang bermutu, cerdas dan piawai. Sejarah tak mungkin dapat menghapus namanya, karena dia sudah mendapat tempat, walaupun dia sendiri meyadari, ‘’kita memburu arti/tidak tahu romeo dan juliet berpeluk di kubur atau di ranjang/ jika bedil telah disimpan yang tinggal kenangan berdebu’’. Demikian untaian kata yang dikutip secara acak dari salah satu sajaknya yang lain.
Apa yang dimaksud dengan karya bermutu, cerdas dan piawai? Tak mudah untuk dijelaskan dengan lugas, tepat dan jitu. Namun demikian untuk sekadar memberi sinyal, dapat dikemukakan kiasan sebagai berikut: ‘’Karya bermutu, cerdas dan piawai ibarat air mengalir mencari tempat terendah dan umpama angin berhembus, mengisi ruang kosong, terasa ada terlihat tidak, selanjutnya mengkristal jadi batu permata, pada tiap sisinya memancar cahaya abadi yang tak luput dimakan waktu, menjadi suluh pada mata yang gelap’’.
Artinya karya bermutu, cerdas dan piawai, bersifat inspiratif, imajinatif, ekspresif dan inovatif, yang dapat mengisi kekosongan jiwa, akal dan rasa, dengan tidak memaksa atau dipaksakan. Dia mengalir alami berkat keindahan yang terkandung dalam setiap hasil karya yang demikian. Di samping itu karya bermutu, cerdas dan piawai, dapat menjadi penyuluh dan pedoman sebagai pegangan hidup yang panjang dan kekal.
Karya bermutu, cerdas dan piawai, tak jatuh begitu saja dari langit seperti buah masak di batang. Buah jatuh dengan sendirinya, karena batang tak dapat menjatuhkan buah. Batang tak punya pilihan, itu sudah menjadi sifatnya yang alami. Beda dengan manusia yang punya banyak pilihan. Inilah keistimewaan manusia dari makhluk lain. Namun demikian keistimewaan harus disikapi dengan arif, berhati-hati dan diperhitungkan dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan pilihan. Salah menentukan pilihan takkan menghasilkan apa yang diharapkan, bahkan sebaliknya dapat membuahkan kekecewaan. Celakanya lagi, kekecewaan itu tak saja dirasakan oleh dirinya sendiri tapi juga oleh banyak orang di sekililingnya.
Sebagai ilustrasi: Akhir-akhir ini banyak kekecewaan yang kita rasakan, akibat ulah para pejabat/penguasa dan atau wakil rakyat yang korupsi baik perorangan maupun bersama-sama. Semua ini akibat salah menentukan kebijakan. Kebijakan yang menyalah itu berakibat pula pada kesalahan menentukan orang-orang yang dipilih. Akibatnya terjadilah kesalahan pemilihan dan pilihan yang menyalah, yang merugikan orang banyak. Setiap jalan bisa ditempuh, tapi tak semua jalan harus jadi pilihan, karena tak semua jalan mengantar kepada tujuan.
Karya bermutu, cerdas dan piawai, lahir dari orang yang bermutu, cerdas dan piawai. Orang seperti ini tak berkarya untuk mengejar popularitas, apalagi kalau popularitas itu hanya digunakan untuk tujuan mempengaruhi dan sekadar menyebar pesona untuk kepentingan tertentu. Dia hanya berkarya untuk keyakinan, bahwa hanya keindahan dan kebenaran yang mampu mencerahkan kehidupan. Lalu dia abadikan keindahan dan kebenaran itu dalam bentuk kreasi sesuai profesinya masing-masing, untuk dapat dimanfaatkan dan dinikmati bersama.
Keindahan adalah kata jadian dari kata indah. Menurut bahasa Melayu “indah” berarti “peduli”. Sesuatu dapat dikatakan indah bila dia mengandung beberapa unsur yang saling isi mengisi atau saling mempedulikan satu unsur dengan unsur lainnya. Jadi keindahan mengandung arti kepedulian. Sedang kebenaran mengandung arti yang filosofi, tiap orang berhak mengatakan sesuatu benar atau tidak, tergantung filsafat/pandangan hidup yang dianutnya.
Mengenang nama yang kekal dan abadi, salah seorang di antaranya Chairil Anwar. Beliau memang pantas dinobatkan sebagai pelopor Angkatan 45, untuk kesusteraan khusus bidang sajak. Beliau mengeliat dan meronta dari ikatan persajakan yang sangat mengikat, dengan pakem/ketentuan yang baku dan kaku.
Dengan ‘keakuannya’ dia bangkit dengan ‘amuk Melayu’-nya dan lahirlah ‘sajak bebas’, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan puisi modern. Dari ‘Budak Melayu’ yang seorang ini kita dapat melihat ke-’aku’-annya yang visioner dan pionir.
Pandangan dan kepeloporannya membuka memori/ingatan pada perjalan panjang, jauh sebelum Nusantara berada dalam ‘kebersamaan’ yang ‘menyatu’ dalam kesatuan republik yang bernama Indonesia. Ketika itu muncul nama Patih Gajah Mada, dari Kerajaan Majapahit, yang terkenal dengan sumpahnya yang bernama Sumpah Palapa. Dalam sumpah itu beliau bertekad mempersatukan Nusantara. Sementara itu berkumandang pula ungkapan yang tak kalah pentingnya untuk dicatat, yaitu ‘’esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi’’ yang lahir dari lidah seorang Panglima Kerajaan Melayu, Hang Tuah.
Sumpah dan tekad itu ‘mencair’ dan mengalir dalam tubuh pemuda-pemuda Nusantara yang selanjutnya pada 1908, menelurkan suatu pergerakan yang dikenal dengan sebutan Budi Utomo. 20 tahun lamanya Budi Utomo ‘mengeramkan’ telurnya, baru pada 28 Oktobe 1928, telur yang dieramnya itu menetas dalam bentuk Sumpah Pemuda.
Telur yang menetas pada 1928 itu tak begitu saja dapat mengembangkan sayapnya, karena sejak 1906 Bumi Nusantara, yang dikenal dengan sebutan Zamrud Khatulistiwa, telah ternoda oleh asap yang mengepul dari VOC. Perserikatan dagang ini menguras kekayaan Nusantara dengan politik adu domba. Selanjutnya ‘Saudara Tua’ penguasa Asia Timur Raya, coba membenamkan sepatu larasnya di Bumi Nusantara, dengan dalih menyelamatkan Nusantara dari tekanan tentara Belanda dan sekutu-sekutunya. Lebih kurang tiga setengah tahun tentara Jepang ‘mengawal’ Nusantara dengan samurainya yang terus terhunus. Akhirnya Saudara Tua kita itu pun bertekuk lutut ketika AS menjatuhkan bom atom di Hirosima.
Dengan perjuangan panjang Sumpah Pemuda yang dilahirkan dari rahim Budi Utomo, mulai mengembangkan sayap garudanya. Terbang menjelajahi Nusantara dari pulau ke pulau, mewujudkan tekad dan sumpahnya. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, secara de facto dan de jure, tercapailah apa yang menjadi cita-cita, yaitu keinginan untuk; mempersatukan anak Nusantara menjadi bangsa Indonesia; mempersatukan kepulauan Nusantara, menjadi Tanah Air Indonesia; memelihara dan menjunjung tinggi bahasa Melayu, sebagai identitas suatu bangsa, menjadi Bahasa Indonesia.
Perjalanan sejarah selalu meninggalkan bekas atau dalam bahasa Melayu disebut bakat. Bekas itu mengingatkan kita pada orang-orang ‘berbakat’ melalui karya-karyanya yang bermutu, cerdas dan piawai. Di atas karya-karya mereka itulah sekarang kita berdiri melanjutkan perjuangan untuk mencapai kemaslahatan manusia, dengan menghasilkan karya-karya yang inspriratif, imajinasi, inovatif dan ekspresif.
Memang tak mudah menciptakan karya bermutu, cerdas dan piawai. Hanya bilangan orang yang dapat melakukannya. Mudah-mudahan Anda salah seorang dari yang terbilang itu. Selamat berkarya dan salam untuk kita semua!
Taufik Effendi Aria, Pelaku teater, film dan sastra asal Indragiri Hulu. Ia juga telah menerbitkan kumpulan puisi tunggalnya dan bermastautin di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Mei 2012
SETIAP orang pasti punya keinginan untuk menciptakan karya bermutu, cerdas dan piawai. Karena karya yang demikian dapat memperpanjang makna kehidupan seseorang di atas permukaan bumi ini. Namanya akan selalu dikenang, seolah-olah dia tak pernah mati walau jasadnya telah terkubur dan menyatu dengan tanah sekalipun. Sebagaimana adagium: ‘’Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama’’.
Nama adalah identitas yang harus dijaga dan dipelihara, setidaknya dengan: (1) Selalu berzikir, mengingat Allah dalam keadaan apa, bagaimana dan di manapun, dengan segala konsekuensinya; (2) Berkeinginan dan bercita-cita menjadi yang terbaik di atas segala yang ada; (3) Bekerja keras dengan segala kemampuan, tenaga, akal dan rasa yang dimiliki, untuk kemaslahatan manusia. Mudah-mudahan berdasarkan ketiga hal tersebut, nama sebagai identitas dapat terjaga, bersih harum dan terpelihara, kekal abadi, dikenang orang sepanjang masa.
‘’Aku ingin hidup seribu tahun lagi’’, sabda Chairil Anwar dalam salah satu sajaknya. Keinginan itu dibuktikan dengan usahanya memilih kata yang tepat dan bersayap, hingga dia menjadi ‘binatang jalang’ yang terlempar dari ‘konvensi’ persajakan tradisional dan mendirikan istana baru dengan sebutan “puisi modern”. Dan dia pun dinobatkan sebagai Pelopor Angkatan 45. Namanya tetap kekal dalam karya-karyanya yang bermutu, cerdas dan piawai. Sejarah tak mungkin dapat menghapus namanya, karena dia sudah mendapat tempat, walaupun dia sendiri meyadari, ‘’kita memburu arti/tidak tahu romeo dan juliet berpeluk di kubur atau di ranjang/ jika bedil telah disimpan yang tinggal kenangan berdebu’’. Demikian untaian kata yang dikutip secara acak dari salah satu sajaknya yang lain.
Apa yang dimaksud dengan karya bermutu, cerdas dan piawai? Tak mudah untuk dijelaskan dengan lugas, tepat dan jitu. Namun demikian untuk sekadar memberi sinyal, dapat dikemukakan kiasan sebagai berikut: ‘’Karya bermutu, cerdas dan piawai ibarat air mengalir mencari tempat terendah dan umpama angin berhembus, mengisi ruang kosong, terasa ada terlihat tidak, selanjutnya mengkristal jadi batu permata, pada tiap sisinya memancar cahaya abadi yang tak luput dimakan waktu, menjadi suluh pada mata yang gelap’’.
Artinya karya bermutu, cerdas dan piawai, bersifat inspiratif, imajinatif, ekspresif dan inovatif, yang dapat mengisi kekosongan jiwa, akal dan rasa, dengan tidak memaksa atau dipaksakan. Dia mengalir alami berkat keindahan yang terkandung dalam setiap hasil karya yang demikian. Di samping itu karya bermutu, cerdas dan piawai, dapat menjadi penyuluh dan pedoman sebagai pegangan hidup yang panjang dan kekal.
Karya bermutu, cerdas dan piawai, tak jatuh begitu saja dari langit seperti buah masak di batang. Buah jatuh dengan sendirinya, karena batang tak dapat menjatuhkan buah. Batang tak punya pilihan, itu sudah menjadi sifatnya yang alami. Beda dengan manusia yang punya banyak pilihan. Inilah keistimewaan manusia dari makhluk lain. Namun demikian keistimewaan harus disikapi dengan arif, berhati-hati dan diperhitungkan dengan sungguh-sungguh dalam menetapkan pilihan. Salah menentukan pilihan takkan menghasilkan apa yang diharapkan, bahkan sebaliknya dapat membuahkan kekecewaan. Celakanya lagi, kekecewaan itu tak saja dirasakan oleh dirinya sendiri tapi juga oleh banyak orang di sekililingnya.
Sebagai ilustrasi: Akhir-akhir ini banyak kekecewaan yang kita rasakan, akibat ulah para pejabat/penguasa dan atau wakil rakyat yang korupsi baik perorangan maupun bersama-sama. Semua ini akibat salah menentukan kebijakan. Kebijakan yang menyalah itu berakibat pula pada kesalahan menentukan orang-orang yang dipilih. Akibatnya terjadilah kesalahan pemilihan dan pilihan yang menyalah, yang merugikan orang banyak. Setiap jalan bisa ditempuh, tapi tak semua jalan harus jadi pilihan, karena tak semua jalan mengantar kepada tujuan.
Karya bermutu, cerdas dan piawai, lahir dari orang yang bermutu, cerdas dan piawai. Orang seperti ini tak berkarya untuk mengejar popularitas, apalagi kalau popularitas itu hanya digunakan untuk tujuan mempengaruhi dan sekadar menyebar pesona untuk kepentingan tertentu. Dia hanya berkarya untuk keyakinan, bahwa hanya keindahan dan kebenaran yang mampu mencerahkan kehidupan. Lalu dia abadikan keindahan dan kebenaran itu dalam bentuk kreasi sesuai profesinya masing-masing, untuk dapat dimanfaatkan dan dinikmati bersama.
Keindahan adalah kata jadian dari kata indah. Menurut bahasa Melayu “indah” berarti “peduli”. Sesuatu dapat dikatakan indah bila dia mengandung beberapa unsur yang saling isi mengisi atau saling mempedulikan satu unsur dengan unsur lainnya. Jadi keindahan mengandung arti kepedulian. Sedang kebenaran mengandung arti yang filosofi, tiap orang berhak mengatakan sesuatu benar atau tidak, tergantung filsafat/pandangan hidup yang dianutnya.
Mengenang nama yang kekal dan abadi, salah seorang di antaranya Chairil Anwar. Beliau memang pantas dinobatkan sebagai pelopor Angkatan 45, untuk kesusteraan khusus bidang sajak. Beliau mengeliat dan meronta dari ikatan persajakan yang sangat mengikat, dengan pakem/ketentuan yang baku dan kaku.
Dengan ‘keakuannya’ dia bangkit dengan ‘amuk Melayu’-nya dan lahirlah ‘sajak bebas’, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan puisi modern. Dari ‘Budak Melayu’ yang seorang ini kita dapat melihat ke-’aku’-annya yang visioner dan pionir.
Pandangan dan kepeloporannya membuka memori/ingatan pada perjalan panjang, jauh sebelum Nusantara berada dalam ‘kebersamaan’ yang ‘menyatu’ dalam kesatuan republik yang bernama Indonesia. Ketika itu muncul nama Patih Gajah Mada, dari Kerajaan Majapahit, yang terkenal dengan sumpahnya yang bernama Sumpah Palapa. Dalam sumpah itu beliau bertekad mempersatukan Nusantara. Sementara itu berkumandang pula ungkapan yang tak kalah pentingnya untuk dicatat, yaitu ‘’esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi’’ yang lahir dari lidah seorang Panglima Kerajaan Melayu, Hang Tuah.
Sumpah dan tekad itu ‘mencair’ dan mengalir dalam tubuh pemuda-pemuda Nusantara yang selanjutnya pada 1908, menelurkan suatu pergerakan yang dikenal dengan sebutan Budi Utomo. 20 tahun lamanya Budi Utomo ‘mengeramkan’ telurnya, baru pada 28 Oktobe 1928, telur yang dieramnya itu menetas dalam bentuk Sumpah Pemuda.
Telur yang menetas pada 1928 itu tak begitu saja dapat mengembangkan sayapnya, karena sejak 1906 Bumi Nusantara, yang dikenal dengan sebutan Zamrud Khatulistiwa, telah ternoda oleh asap yang mengepul dari VOC. Perserikatan dagang ini menguras kekayaan Nusantara dengan politik adu domba. Selanjutnya ‘Saudara Tua’ penguasa Asia Timur Raya, coba membenamkan sepatu larasnya di Bumi Nusantara, dengan dalih menyelamatkan Nusantara dari tekanan tentara Belanda dan sekutu-sekutunya. Lebih kurang tiga setengah tahun tentara Jepang ‘mengawal’ Nusantara dengan samurainya yang terus terhunus. Akhirnya Saudara Tua kita itu pun bertekuk lutut ketika AS menjatuhkan bom atom di Hirosima.
Dengan perjuangan panjang Sumpah Pemuda yang dilahirkan dari rahim Budi Utomo, mulai mengembangkan sayap garudanya. Terbang menjelajahi Nusantara dari pulau ke pulau, mewujudkan tekad dan sumpahnya. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, secara de facto dan de jure, tercapailah apa yang menjadi cita-cita, yaitu keinginan untuk; mempersatukan anak Nusantara menjadi bangsa Indonesia; mempersatukan kepulauan Nusantara, menjadi Tanah Air Indonesia; memelihara dan menjunjung tinggi bahasa Melayu, sebagai identitas suatu bangsa, menjadi Bahasa Indonesia.
Perjalanan sejarah selalu meninggalkan bekas atau dalam bahasa Melayu disebut bakat. Bekas itu mengingatkan kita pada orang-orang ‘berbakat’ melalui karya-karyanya yang bermutu, cerdas dan piawai. Di atas karya-karya mereka itulah sekarang kita berdiri melanjutkan perjuangan untuk mencapai kemaslahatan manusia, dengan menghasilkan karya-karya yang inspriratif, imajinasi, inovatif dan ekspresif.
Memang tak mudah menciptakan karya bermutu, cerdas dan piawai. Hanya bilangan orang yang dapat melakukannya. Mudah-mudahan Anda salah seorang dari yang terbilang itu. Selamat berkarya dan salam untuk kita semua!
Taufik Effendi Aria, Pelaku teater, film dan sastra asal Indragiri Hulu. Ia juga telah menerbitkan kumpulan puisi tunggalnya dan bermastautin di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Mei 2012
No comments:
Post a Comment