Saturday, May 26, 2012

Citra Kata-kata

-- Mulyo Sunyoto

BAHASA, yang diwakili kata-kata dalam pemakaian keseharian, mengandung citra dalam dirinya. Pemahaman semacam ini telah dimiliki hampir setiap orang. Demi citra inilah orang rela mengeluarkan dana. Mengganti nama-nama untuk menciptakan citra baru dilakukan banyak kalangan. Termasuk mereka yang bergerak di bisnis kesehatan.

Sudah lama kalangan ini mengganti nama bangsal buat orang yang tak lagi bernyawa "kamar mayat" menjadi "rumah duka". "Kamar mayat" mencitrakan keangkeran, kengerian, dunia hantu dan segala sesuatu yang menakutkan. Dulu, masuk ke dalam kamar mayat merupakan bagian dari kegiatan perpeloncoan mahasiswa baru di fakultas kedokteran.

Kini agak lucu jika kegiatan itu masih dilakukan. Mahasiswa diuji nyalinya dengan masuk ke rumah duka. Mestinya, yang diuji di sini bukan lagi nyali, tapi ketangguhan emosi untuk bertahan dari rasa duka mendalam. Jadi mahasiswa baru di fakultas kedokteran yang dinyatakan lulus adalah mereka yang keluar dari rumah duka tanpa menitikkan air mata.

Pasti semua lulus karena yang meninggal di rumah duka itu sangat mungkin bukan orang yang dikasihi sang mahasiswa. Adalah kebetulan yang sangat amat jarang jika sang mahasiswa saat diuji untuk masuk ke rumah duka itu, dalam rangka perpeloncoan, tersua dengan anggota keluarga atau kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan atau sakit.

Sebuah rumah sakit swasta terkemuka di Jakarta, St Carolus, tak lagi menyandang nama rumah sakit di depan namanya. Nama institusi bisnis kesehatan yang biasa disingkat RS itu disingkirkan dan diganti dengan "pelayanan kesehatan", tanpa "pusat" yang merujuk ke pengertian ruang.

Penggantian itu tentu mengakibatkan konsekuensi kebahasaan yang absurd (mustahil). Coba bayangkan dialog berikut ini: "Mau ke mana?" tanya A. "Mau ke Pelayanan Kesehatan St Carolus," jawab B. Tanya jawab itu terasa absurdnya bila diubah menjadi tanya jawab berikut: "Kita mau pergi ke mana, Ayah?" tanya Anak. Ayah menjawab, "Kita ke penabrakan tragis halte Tugu Tani!"

Maksud sang Ayah adalah pergi ke lokasi penabrakan tragis yang berlangsung di sebuah halte Tugu Tani Jakarta beberapa waktu lalu. Kalau pihak pebisnis St Carolus itu menambahkan "pusat" di depan "pelayanan kesehatan", absurditas dialog itu bisa dienyahkan.

Masih berkisar di lingkungan rumah sakit. Bagi yang belum pernah berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, sekali-kali cobalah berobat di kelas eksekutif yang diberi nama RSCM Kencana. Untuk mengusung citra eksekutif, di ruang tunggu utama terdapat dua meja pelayanan, yang diberi nama "Information" dan "Registration". Tak ada salinan Indonesianya. Jadi anda tidak bisa membedakan sedang berobat di Jakarta atau di luar negeri.

Jadi yang dilakukan pemilik St Carolus dan pengelola RSCM untuk membangun citra sebuah bisnis kesehatan melewati jalan yang sama. Keduanya mengelola bahasa, kata-kata untuk membangun citra. Namun keduanya memiliki landasan kebahasaan yang berbeda: Carolus bergerak di ranah makna, mengganti makna "rumah sakit", tempat orang sakit, menjadi "pelayanan kesehatan", perbuatan melayani orang untuk menjadi sehat.

Sementara itu, RSCM bergerak di ranah bentuk. Yang diubah bukan makna tapi bentuk penulisan. Kata serapan "informasi" dan "registrasi" diubah ke bentuk asli Inggris "information" dan "registration" agar kelihatan lebih mendekati modernisme.

Jelas, jalan yang ditempuh RSCM mengorbankan nasionalisme kebahasaan. Andai Cipto Mangunkusumo, perintis kemerdekaan RI yang nyentrik dan benci menunduk-nunduk di depan kultur Eropa itu hidup, pastilah dia tolak gagasan penginggrisan itu.

Pengelola RSCM perlu sadar bahwa yang menyebabkan sebuah bisnis apapun, termasuk bidang kesehatan, sukses bukan penggantian atau penginggrisan nama-nama tapi pelayanan yang prima. Maka, pembangunan citra lewat bahasa bisa efektif jika diikuti dengan perbuatan melayani yang memuaskan konsumen, dalam hal ini pasien yang memerlukan jasa kesehatan. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Sabtu, 26 Mei 2012

No comments: