-- Humam S. Chudori
SEBUAH wacana baru dimunculkan Wiendu Nuryanti, wakil menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yakni seniman akan diberikan sertifikasi. Gagasan ini dimunculkan, lantaran ia merasa prihatin dengan minimnya standarisasi internasional yang dimiliki seniman Indonesia. Menurutnya, dengan tidak memiliki sertifikat seniman asal Indonesia akan kalah bersaing dengan pekerja-pekerja seni dari negara lain.
Entah seniman apa yang akan diberikan sertifikasi nantinya. Memang tidak dijelaskan. Apakah untuk semua jenis kesenian, atau pada seni tertentu. Sebab kesenian ini banyak cabangnya. Ada seni lukis, seni rupa, seni tari, seni teater, seni sastra, musik, dan sebagainya. Belum lagi dengan aliran yang ada pada tiap cabang seni tersebut. Dalam seni lukis saja, misalnya, banyak sekali aliran. Mulai dari naturalis, ekspresionis, abstrak, kubisme, dan sebagainya. Demikian pula, dengan kesenian lain. Banyak alirannya.
Karena itu, jika memang seniman akan diberikan sertifikasi harus berapa banyak tim penguji yang akan menentukan seorang seniman berhak mendapatkan sertifikat dari negara. Ini dari jumlah tim penguji, kelayakan seseorang boleh disebut seniman. Namun, yang perlu dipertanyakan apa kriteria tim penguji tersebut. Sebab bukan tidak tertutup kemungkinannya justru tim penguji bukan orang yang mengerti betul tentang kesenian.
Nah, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila dunia kesenian seperti ini. Mungkin yang sebetulnya bukan seniman bisa disulap menjadi seniman karena mampu me-lobby tim penguji. Sementara itu, yang betul-betul seorang pekerja seni tidak pernah diakui sebagai seorang seniman hanya gara-gara tak bersertifikat. Padahal, diakui atau tidak, tak sedikit jumlah seniman yang telah memberikan sumbangsih kepada bangsa. Atau paling sedikit kepada masyarakat daerahnya. Namun, mereka tidak pernah dikenal secara luas oleh publik. Apakah seniman yang seperti ini, karena tidak bersertifikasi, nantinya akan dilarang untuk berkarya.
Toh, sebetulnya, tanpa bersertifikat pun seniman tak jarang dilarang tampil. Entah dalam pembacaan puisi atau pertunjukan teater. Penulis sendiri pernah mengalaminya. Padahal, ketika itu, penulis merasa tidak ada alasan yang pantas untuk dijadikan dalih pelarangan pembacaan puisi. Pun, penulis merasa bukan pekerja seni yang perlu ditakuti untuk membacakan puisi. Apalagi terhadap seniman-seniman yang sudah punya nama. Entah seniman teater atau seniman sastra yang mungkin dianggap akan memengaruhi massa.
Pengalaman seniman-seniman (sastra) daerah, misalnya, RSP (Revitalisadi Sastra Pedalaman) juga tak bisa diabaikan begitu saja. Seperti pengakuan Kusprihyanto Namma, bahwa sebelum RSP bubar Beno Siang Pamungkas berpesan, "Sebaiknya RSP dibubarkan, karena sudah menjadi incaran badan intelijen, RSP dianggap membawa semangat kekirian."
Ternyata bukan dewa-dewa sastra plus kroni-kroninya saja yang mendelik melihat sepak terjang RSP. Bahkan instansi militer pun memelototinya. Saya orang desa, tak tahu, apakah yang dikatakan Beno benar atau tidak. Yang jelas, setelah meninggalkan pesan itu, Beno menarik diri dari RSP. Ia tidak lagi menulis karya sastra. Bahkan tak mau dihubungi oleh sastrawan manapun. Ia pun selalu menghindar. Sembunyi. Pun enggan diajak bicara soal RSP, demikian Kusprihyanto Namma menceritakan nasib RSP (Jurnal Boemipoetra, Januari-Maret 2012).
Jika benar sertifikasi seniman ditujukan untuk membantu pekerja seni, rasanya, terlalu bombastis. Sebab yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Dilarang tampil, dicurigai, dimata-matai, dan tak mendapat kesempatan mengekspresikan karya. Apalagi untuk tampil di manca negara. Lha wong di negeri sendiri kerap dipersulit mengekspresikan karya seninya.
Sementara itu, pekerja seni yang tempat mengekspresikan karyanya bukan di panggung. Sebutlah sastrawan, misalnya. Mereka juga tak pernah mendapat dukungan dari pemerintah. Betapa tidak, harga kertas yang mahal tampaknya memberatkan penerbit. Namun, sesungguhnya hal ini berpengaruh kepada buku-buku yang hendak diterbitkan. Belum lagi penulis juga harus menanggung pph yang jumlahnya tidak kira-kira, 15 % jika yang bersangkutan punya NPWP jika tidak punya NPWP maka pph yang harus dibayar 30 %. Padahal, besarnya royalti paling tinggi hanya 10 %. Lalu di mana letak perhatian pemerintah terhadap nasib seniman (sastra). Karena itu, jangan heran jika nasib sastrawan seringkali mengenaskan.
Yang menarik untuk digarisbawahi dari pernyataan wamendikbud "Sekarang para pekerja seni Indonesia belum memiliki sertifikat sehingga ketika dibawa ke luar Indonesia, mereka tidak dihargai. Padahal bangsa ini kebanjiran pekerja seni dari luar negeri, antara lain penyanyi hotel dari Filipina, dan penari dari Korea."
Penulis merasa heran dengan pernyataan di atas. Sebab sepengetahuan penulis seniman luar yang datang ke Indonesia tak pernah dipertanyakan apakah mereka punya sertifikat seniman atau tidak. Jadi, penghargaan seniman bukan berdasarkan sertifikat melainkan atas dasar karya dan kesempatan.
Ketika Jilfest Jakarta International Literary Festival diselenggarakan (atas kerjasama KSI, KCI, dan disbudpar DKI Jakarta) dan mengundang seniman (baca: sastrawan) dari mancanegara. Tidak pernah ada persayaratan bahwa sastrawan tersebut sudah bersertifikasi. Karena itu, sebetulnya, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberi kesempatan (dan) dana tentunya jika benar pemerintah peduli dengan nasib seniman. Bukan justru membebani dengan pajak seperti terhadap seniman-seniman kreatif seperti para sastrawan. Di samping itu, tentu saja, harus ada kemauan pemerintah untuk memperkenalkan seniman kita di luar negeri. Ketika Bahaa Taher, novelis dari Mesir, datang ke Indonesia untuk menghadiri fesival kesenian di Ubud, misalnya. Sebelum berangkat ke Bali, ia mampir dulu ke Jakarta. Dan, ketika berada di Jakarta, Kedubes Mesir mengundang para sastrawan yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya (serta dari kalangan perguruan tinggi dan beberapa orang dari MUI). Bahaa Taher dikenalkan sebagai novelis yang diperhitungkan di Mesir. Sehingga kita yang belum mengenal siapa Bahaa Taher akan tahu bahwa ia seniman terkenal di Mesir.
Barangkali, apa yang penulis paparkan ini bisa dijadikan contoh. Jika seniman kita hendak dihargai di luar negeri. Kedubes kita harus melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kedubes Mesir. Bukan cukup dengan memodali seniman tersebut dengan sertifikat pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah seorang seniman. Tetapi ketika di luar negeri kedubes kita tak berusaha mengenalkan kepada masyarakat di negara tersebut. Jadi, sebetulnya, bukan sertifikasi yang dibutuhkan seniman. Tetapi, kebebasan kreatif dan dukungan positif dari pemerintah dukungan materiil maupun immateriil. Toh, seniman dari luar yang hendak mengekspresikan karya seninya di negeri kita juga tak pernah dipersyarati harus punya sertifikat dari negara. Karena itu, gagasan melakukan sertifikasi terhadap seniman perlu dipertimbangkan masak-masak. Itu saja!
Humam S. Chudori, pekerja seni tinggal di Tangerang.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 12 Mei 2012
No comments:
Post a Comment