-- Fedli Azis
GELIAT seni, salah satunya seni teater di Riau dari tahun ke tahun, tak kunjung stabil. Ada kalanya meningkat dan ada kalanya pula menurun. Namun tak pernah mati. Jantungnya senantiasa berdenyut di ruang gelap mengakap lagi senyap.
Kondisi semacam ini bukan karena para penggiatnya tak berkarya atau melakukan kerja-kerja kreatif. Mereka (pelaku teater) terus berproses, baik secara individu maupun di kelompok/komunitas/sanggarnya masing-masing. Meski jadwal pementasan yang sudah disepakati antar awak yang terlibat di dalamnya tak kunjung terealisasi dengan alasan klasik yakni tak ada dana.
Pertanyaannya, seberapa besar uang yang diperlukan dan berapa yang didapat dari hasil sebuah pagelaran? Pertanyaan ini tentu bisa dijawab, jika pagelaran telah dilakukan berkali-kali. Akan tercatat, berapa uang yang habis jika pementasan dilakukan di dalam gedung, di luar dan semacamnya. Berapa uang untuk sewa sound system, pencahayaan (lighting), promosi (publikasi ke media massa, pamflet, baliho dsb), berapa banyak uang untuk mencetak tiket, jika dikomersilkan. Kemudian, berapa uang yang dikeluarkan untuk pembuatan/penyewaan kostum, dekorasi, biaya selama latihan, honor dan banyak lagi.
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu menakutkan, karena bisa dikatakan, penggiat teater bukanlah orang berkantong tebal. Bahkan tak pula mengenal orang-orang berduit atau orang kaya yang tak tahu lagi kemana uangnya dihabiskan. Pertanyaan itu pula yang melahirkan kegamangan di kepala penggiat teater saat ini, terutama Riau. Alhasil pementasan yang hendak di bentang ke hadapan publik hanya jadi cita-cita yang senantiasa tertunda.
Jadwal pementasan sangat minim sekali, bahkan dalam setahun hanya satu atau dua kelompok yang nekat menggelarnya. Itupun dengan catatan, usai pentas hutang pun melambak di sana-sini. Pertanyaan penting yang perlu dijawab bersama, �bagaimana orang di luar seni (masyarakat umum atau donatur) percaya jika orang-orang di dalam (penggiatnya) tak percaya diri?�
Satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab bersama, �apakah karena Riau tak lagi punya tokoh setelah Idrus Tintin berpulang?� Atau karena komunitas yang dulunya produktif, terutama teater kampus, kehilangan tokoh-tokohnya?
Dan pertanyaan terpenting adalah apakah pelaku teater yang muda-muda tak mampu membesarkan dirinya sendiri seperti para senior mereka yakni Ibrahim Sattah, BM Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza, Bustamam Halimi, Dasri Almubary dan banyak lagi? Benarkah ��teater tokoh�� telah membunuh kreativitas generasi selanjutnya?
Istilah �teater tokoh� barangkali telah tumbuh dan berkembang sejak lama. Teater Populer dengan tokohnya Teguh Karya, Teater Bengkel dengan Rendra, Arifin C Noer dengan Teater Kecil dan sederetan nama lain. Memang masih ada komunitas lain yang produktif seperti Koma dengan Nano Riantiarno dan Mandiri dengan Putu Wijaya serta banyak komunitas lainnya. Lalu, apakah akan muncul tokoh-tokoh baru dalam komunitas tersebut setelah tokohnya tiada dan terbenam bersama tokohnya? Terbukti setelah tokoh-tokoh komunitas ini tiada atau tak produktif lagi, aktivitas/kerja kreatif komunitas itu juga tak terdengar lagi.
Ulasan di atas hanyalah kerisauan saya selaku penggiat teater selama kurun waktu beberapa tahun terakhir. Begitu banyak masalah dan beban yang membelit percabangan seni satu ini. Perlu dihayati, meski usianya sudah ribuan tahun, teater masih diminati dan terus memberi pengaruh positif hingga hari ini. Lantas mengapa harus takut menderita untuk bertungkus-lumus di dalamnya? Masih ada peluang untuk lebih mengoptimalkan keberadaannya di muka bumi ini, sekali lagi demi Riau.
Harus Mencoba
Sebagai pelaku teater, tak ada salahnya untuk mencoba dan siap menanggung konsekuensinya. Masih banyak cara, trik dan solusi agar teater, sebagai wadah ekspresi untuk diapresiasi masyarakat luas. Salah satu contoh yakni apa yang dilakukan Dindon WS dengan Teater Kuburnya. Beberapa kali diskusi dengannya, jelas bahwa upaya Dindon yang mengenalkan teater di kalangan kelas bawah cukup ampuh. Bahkan di kawasan tempat tinggalnya, teater jadi gaya hidup dengan slogan ��Gak ikut teater, gak keren��.
Para pemulung, pengamen, pencopet, maling, tukang palak dan perampok ikut bersama Dindon, bermain drama. Pagelaran tak hanya dihelat dalam gedung, bahkan luar ruangan (out door) dengan penonton bisa dari kalangan mana saja. Gambaran ini hanya satu contoh ringan.
Begitu pula kerja kreatif yang dijalani Peter Brook di kampung-kampung termiskin Afrika. Meski menghabiskan banyak biaya, namun bisa diadopsi ke negeri ini. Intinya, jika tak berani menggelar pertunjukan di dalam gedung yang perlu biaya puluhan bahkan ratusan juta, mengapa tak di luar saja. Saya pikir, jauh lebih menarik dan menyenangkan.
Kenapa tak mengadakan pertunjukan di lapangan di RT/RW, kelurahan atau kecamatan. Biaya yang diperlukan jauh lebih kecil dan apa yang hendak disampaikan dapat diterima langsung masyarakat umum. Bukan tak mungkin, setelah kerja itu dilakukan berulang-ulang maka kelompok yang rutin melaksanakannya secara otomatis telah membangun masyarakat penonton teaternya sendiri. Hasilnya, teater makin populer dan dikenal secara positif.
Bisa juga teater digelar di pasar-pasar seperti tukang obat yang sering kita saksikan membuat lingkaran besar di tengah pasar. Tak sedikit orang yang berminat menyaksikannya. Padahal sang penjual sedang menggelar obat-obat penyakit ringan belaka. Bukankah digelarnya dagangan itu dengan gaya teatrikal tanpa unsur pendukung seperti lampu-lampu atau panggung khusus. Hanya pengeras suara seadanya dan upaya itu mampu menghipnotis ratusan pengunjung.
Teater bisa juga dipentaskan di sekolah-sekolah dengan meminta waktu, sekian menit pada pengelolanya. Bayangkan saja, sekali pentas langsung disaksikan 1.000-an penikmat (siswa/i). Masih banyak cara untuk mementaskan teater tanpa perlu biaya besar. Jika geliat teater marak di tengah-tengah masyarakat maka otomatis saja banyak pihak yang terpanggil untuk membantu.
Tanpa sponsor pertunjukan bisa digelar jika masyarakat penonton sudah terbangun. Lambat laun, masyarakat yang mengenal dan memahami teater secara baik, akan bersedia merogoh kantong lebih dalam untuk membeli tiket.
Saat ini, teater sebagai satu percabangan seni yang memiliki unsur edukasi, hiburan dan semacamnya, memerlukan pengorbanan tanpa pamrih. Teater yang berisi ajakan serta penawaran pemikiran atas sebuah peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat juga tak menuntut biaya maksimal. Tak ada salahnya mencoba daripada menunggu festival atau undangan seperti yang terjadi selama bertahun-tahun belakangan ini. Selamat mencoba dan selamat berpeluh-peluh tanpa berkeluh-kesah. n
Fedli Azis, penggiat teater di Riau yang juga Ketua Teater Selembayung. Bermastautin di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 13 Mei 2012
GELIAT seni, salah satunya seni teater di Riau dari tahun ke tahun, tak kunjung stabil. Ada kalanya meningkat dan ada kalanya pula menurun. Namun tak pernah mati. Jantungnya senantiasa berdenyut di ruang gelap mengakap lagi senyap.
Kondisi semacam ini bukan karena para penggiatnya tak berkarya atau melakukan kerja-kerja kreatif. Mereka (pelaku teater) terus berproses, baik secara individu maupun di kelompok/komunitas/sanggarnya masing-masing. Meski jadwal pementasan yang sudah disepakati antar awak yang terlibat di dalamnya tak kunjung terealisasi dengan alasan klasik yakni tak ada dana.
Pertanyaannya, seberapa besar uang yang diperlukan dan berapa yang didapat dari hasil sebuah pagelaran? Pertanyaan ini tentu bisa dijawab, jika pagelaran telah dilakukan berkali-kali. Akan tercatat, berapa uang yang habis jika pementasan dilakukan di dalam gedung, di luar dan semacamnya. Berapa uang untuk sewa sound system, pencahayaan (lighting), promosi (publikasi ke media massa, pamflet, baliho dsb), berapa banyak uang untuk mencetak tiket, jika dikomersilkan. Kemudian, berapa uang yang dikeluarkan untuk pembuatan/penyewaan kostum, dekorasi, biaya selama latihan, honor dan banyak lagi.
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu menakutkan, karena bisa dikatakan, penggiat teater bukanlah orang berkantong tebal. Bahkan tak pula mengenal orang-orang berduit atau orang kaya yang tak tahu lagi kemana uangnya dihabiskan. Pertanyaan itu pula yang melahirkan kegamangan di kepala penggiat teater saat ini, terutama Riau. Alhasil pementasan yang hendak di bentang ke hadapan publik hanya jadi cita-cita yang senantiasa tertunda.
Jadwal pementasan sangat minim sekali, bahkan dalam setahun hanya satu atau dua kelompok yang nekat menggelarnya. Itupun dengan catatan, usai pentas hutang pun melambak di sana-sini. Pertanyaan penting yang perlu dijawab bersama, �bagaimana orang di luar seni (masyarakat umum atau donatur) percaya jika orang-orang di dalam (penggiatnya) tak percaya diri?�
Satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab bersama, �apakah karena Riau tak lagi punya tokoh setelah Idrus Tintin berpulang?� Atau karena komunitas yang dulunya produktif, terutama teater kampus, kehilangan tokoh-tokohnya?
Dan pertanyaan terpenting adalah apakah pelaku teater yang muda-muda tak mampu membesarkan dirinya sendiri seperti para senior mereka yakni Ibrahim Sattah, BM Syamsuddin, Ediruslan Pe Amanriza, Bustamam Halimi, Dasri Almubary dan banyak lagi? Benarkah ��teater tokoh�� telah membunuh kreativitas generasi selanjutnya?
Istilah �teater tokoh� barangkali telah tumbuh dan berkembang sejak lama. Teater Populer dengan tokohnya Teguh Karya, Teater Bengkel dengan Rendra, Arifin C Noer dengan Teater Kecil dan sederetan nama lain. Memang masih ada komunitas lain yang produktif seperti Koma dengan Nano Riantiarno dan Mandiri dengan Putu Wijaya serta banyak komunitas lainnya. Lalu, apakah akan muncul tokoh-tokoh baru dalam komunitas tersebut setelah tokohnya tiada dan terbenam bersama tokohnya? Terbukti setelah tokoh-tokoh komunitas ini tiada atau tak produktif lagi, aktivitas/kerja kreatif komunitas itu juga tak terdengar lagi.
Ulasan di atas hanyalah kerisauan saya selaku penggiat teater selama kurun waktu beberapa tahun terakhir. Begitu banyak masalah dan beban yang membelit percabangan seni satu ini. Perlu dihayati, meski usianya sudah ribuan tahun, teater masih diminati dan terus memberi pengaruh positif hingga hari ini. Lantas mengapa harus takut menderita untuk bertungkus-lumus di dalamnya? Masih ada peluang untuk lebih mengoptimalkan keberadaannya di muka bumi ini, sekali lagi demi Riau.
Harus Mencoba
Sebagai pelaku teater, tak ada salahnya untuk mencoba dan siap menanggung konsekuensinya. Masih banyak cara, trik dan solusi agar teater, sebagai wadah ekspresi untuk diapresiasi masyarakat luas. Salah satu contoh yakni apa yang dilakukan Dindon WS dengan Teater Kuburnya. Beberapa kali diskusi dengannya, jelas bahwa upaya Dindon yang mengenalkan teater di kalangan kelas bawah cukup ampuh. Bahkan di kawasan tempat tinggalnya, teater jadi gaya hidup dengan slogan ��Gak ikut teater, gak keren��.
Para pemulung, pengamen, pencopet, maling, tukang palak dan perampok ikut bersama Dindon, bermain drama. Pagelaran tak hanya dihelat dalam gedung, bahkan luar ruangan (out door) dengan penonton bisa dari kalangan mana saja. Gambaran ini hanya satu contoh ringan.
Begitu pula kerja kreatif yang dijalani Peter Brook di kampung-kampung termiskin Afrika. Meski menghabiskan banyak biaya, namun bisa diadopsi ke negeri ini. Intinya, jika tak berani menggelar pertunjukan di dalam gedung yang perlu biaya puluhan bahkan ratusan juta, mengapa tak di luar saja. Saya pikir, jauh lebih menarik dan menyenangkan.
Kenapa tak mengadakan pertunjukan di lapangan di RT/RW, kelurahan atau kecamatan. Biaya yang diperlukan jauh lebih kecil dan apa yang hendak disampaikan dapat diterima langsung masyarakat umum. Bukan tak mungkin, setelah kerja itu dilakukan berulang-ulang maka kelompok yang rutin melaksanakannya secara otomatis telah membangun masyarakat penonton teaternya sendiri. Hasilnya, teater makin populer dan dikenal secara positif.
Bisa juga teater digelar di pasar-pasar seperti tukang obat yang sering kita saksikan membuat lingkaran besar di tengah pasar. Tak sedikit orang yang berminat menyaksikannya. Padahal sang penjual sedang menggelar obat-obat penyakit ringan belaka. Bukankah digelarnya dagangan itu dengan gaya teatrikal tanpa unsur pendukung seperti lampu-lampu atau panggung khusus. Hanya pengeras suara seadanya dan upaya itu mampu menghipnotis ratusan pengunjung.
Teater bisa juga dipentaskan di sekolah-sekolah dengan meminta waktu, sekian menit pada pengelolanya. Bayangkan saja, sekali pentas langsung disaksikan 1.000-an penikmat (siswa/i). Masih banyak cara untuk mementaskan teater tanpa perlu biaya besar. Jika geliat teater marak di tengah-tengah masyarakat maka otomatis saja banyak pihak yang terpanggil untuk membantu.
Tanpa sponsor pertunjukan bisa digelar jika masyarakat penonton sudah terbangun. Lambat laun, masyarakat yang mengenal dan memahami teater secara baik, akan bersedia merogoh kantong lebih dalam untuk membeli tiket.
Saat ini, teater sebagai satu percabangan seni yang memiliki unsur edukasi, hiburan dan semacamnya, memerlukan pengorbanan tanpa pamrih. Teater yang berisi ajakan serta penawaran pemikiran atas sebuah peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat juga tak menuntut biaya maksimal. Tak ada salahnya mencoba daripada menunggu festival atau undangan seperti yang terjadi selama bertahun-tahun belakangan ini. Selamat mencoba dan selamat berpeluh-peluh tanpa berkeluh-kesah. n
Fedli Azis, penggiat teater di Riau yang juga Ketua Teater Selembayung. Bermastautin di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 13 Mei 2012
No comments:
Post a Comment