TANJUNGPINANG (Lampost): Meskipun mendapat gempuran dan tantangan serius dari dunia global, budaya Melayu tetap hidup dan berkembang kuat. Tapi, harus ada upaya dari semua pihak (pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat) untuk merawat dan mengembangkannya secara serius.
Demikian pendapat budayawan Melayu, Tenas Effendy, dalam perbincangan khusus dengan Lampung Post setelah menjadi pembicara kunci dalam Seminar Internasional Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) III di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis (24-5).
Acara yang digelar atas kerja sama Pemerintah Kota Pangkalpinang dan Asosiasi Tradisi Lisan ini diadakan hingga 26 Mei menghadirkan para ahli budaya dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, China, Korea Selatan, Belanda, dan Prancis.
Menurut Tenas, ada empat syarat sebuah budaya, termasuk budaya Melayu, agar tetap eksis dan kuat, yaitu ada rasa memiliki, rasa bangga, menghayati nilai-nilai, dan mengamalkan nilai-nilai itu. "Kalau keempat hal itu terjadi dalam masyarakat Melayu, selamat dan kuatlah budaya Melayu," kata budayawan berusia 75 tahun itu bersemangat.
Ia menyadari di mana-mana di Indonesia kebudayaan suku bangsa menghadapi tantangan dunia modern. Ia mengungkapkan di Riau daratan dan kepulauan kini di desa-desa sudah punya parabola. Internet juga ada di mana-mana, bahkan ada anak sekolah sampai tidur di warung internet.
Padahal, kata Tenas, mestinya teknologi informasi menjadi pendorong mudahnya penyebaran budaya Melayu. Tapi, realitasnya justru menjauhkan dari nilai-nilai kebudayaan.
Agak Terpinggirkan
Ia menjelaskan kenapa budaya Melayu yang merupakan tanah kelahiran bahasa Indonesia kemudian agak terpinggirkan. Pertama, karena hadirnya bangsa Jepang yang tidak menghargai budaya lokal dengan memaksa kerja rodi. Kedua, revolusi sosial di Sumatera Timur setelah kemerdekaan, yang memusuhi habis-habisan feodalisme.
Di sini yang berbau lokalitas, baik adat, tradisi, kesenian, dan bangsawan sangat dijauhkan. Orang akan dicap feodal kalau menggeluti budaya Melayu. "Anda tahu sampai penyair Amir Hamzah dibunuh karena bangsawan. Ini sungguh berpengaruh pada budaya Melayu di Riau daratan dan Riau kepulauan," katanya.
Ia mengungkapkan budaya Melayu baru mulai mendapat perhatian lagi ketika Riau menjadi provinsi pada 1968. Pada saat itu, ada keinginan mengadakan acara budaya Melayu untuk menyambut provinsi baru. Tapi, setelah puluhan tahun tak mengakrabi budaya itu, masyarakat tak ada yang bisa melaksanakan upacara budaya Melayu.
"Kami baru menyadari betapa kami telah tercerabut dari akar budayanya. Saya dan beberapa orang mulailah masuk kampung keluar kampung, mengumpulkan pantun, tradisi, dan lain-lain. Terkumpulah 40 ribu pantun. Kemudian berdirilah sanggar-sanggar. Waktu itu ada gairah baru terhadap kebudayaan Melayu. Meski kemudian gairah itu menurun lagi," katanya.
Ia pun mengharapkan Asosiasi Tradisi Lisan yang punya pengalaman mengadakan acara budaya dan memang punya konsern kajian budaya lisan, bisa ikut menyelamatkan budaya Melayu. Ia mengatakan buku-buku yang ia tulis tentang budaya Melayu banyak diterbitkan di Singapura dan Malaysia karena pembaca di negeri itu lebih bisa mengapresiasinya.
Ia berharap suatu saat masyarakat Melayu daerahnya bisa lebih menghargai. "Tapi, saya percaya suatu saat budaya Melayu akan tetap dibutuhkan."
Selain Tenas Effendy, hari pertama RMB III menghadirkan pembicara, antara lain Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A.Manan, guru besar UI Achadiati Ikram, mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro, dan peneliti Prancis Francois Zacot. RMB III juga dimeriahkan berbagai pentas kesenian dan Pameran Museum. (DJT/U-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Mei 2012 23:47
Demikian pendapat budayawan Melayu, Tenas Effendy, dalam perbincangan khusus dengan Lampung Post setelah menjadi pembicara kunci dalam Seminar Internasional Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) III di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis (24-5).
Acara yang digelar atas kerja sama Pemerintah Kota Pangkalpinang dan Asosiasi Tradisi Lisan ini diadakan hingga 26 Mei menghadirkan para ahli budaya dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, China, Korea Selatan, Belanda, dan Prancis.
Menurut Tenas, ada empat syarat sebuah budaya, termasuk budaya Melayu, agar tetap eksis dan kuat, yaitu ada rasa memiliki, rasa bangga, menghayati nilai-nilai, dan mengamalkan nilai-nilai itu. "Kalau keempat hal itu terjadi dalam masyarakat Melayu, selamat dan kuatlah budaya Melayu," kata budayawan berusia 75 tahun itu bersemangat.
Ia menyadari di mana-mana di Indonesia kebudayaan suku bangsa menghadapi tantangan dunia modern. Ia mengungkapkan di Riau daratan dan kepulauan kini di desa-desa sudah punya parabola. Internet juga ada di mana-mana, bahkan ada anak sekolah sampai tidur di warung internet.
Padahal, kata Tenas, mestinya teknologi informasi menjadi pendorong mudahnya penyebaran budaya Melayu. Tapi, realitasnya justru menjauhkan dari nilai-nilai kebudayaan.
Agak Terpinggirkan
Ia menjelaskan kenapa budaya Melayu yang merupakan tanah kelahiran bahasa Indonesia kemudian agak terpinggirkan. Pertama, karena hadirnya bangsa Jepang yang tidak menghargai budaya lokal dengan memaksa kerja rodi. Kedua, revolusi sosial di Sumatera Timur setelah kemerdekaan, yang memusuhi habis-habisan feodalisme.
Di sini yang berbau lokalitas, baik adat, tradisi, kesenian, dan bangsawan sangat dijauhkan. Orang akan dicap feodal kalau menggeluti budaya Melayu. "Anda tahu sampai penyair Amir Hamzah dibunuh karena bangsawan. Ini sungguh berpengaruh pada budaya Melayu di Riau daratan dan Riau kepulauan," katanya.
Ia mengungkapkan budaya Melayu baru mulai mendapat perhatian lagi ketika Riau menjadi provinsi pada 1968. Pada saat itu, ada keinginan mengadakan acara budaya Melayu untuk menyambut provinsi baru. Tapi, setelah puluhan tahun tak mengakrabi budaya itu, masyarakat tak ada yang bisa melaksanakan upacara budaya Melayu.
"Kami baru menyadari betapa kami telah tercerabut dari akar budayanya. Saya dan beberapa orang mulailah masuk kampung keluar kampung, mengumpulkan pantun, tradisi, dan lain-lain. Terkumpulah 40 ribu pantun. Kemudian berdirilah sanggar-sanggar. Waktu itu ada gairah baru terhadap kebudayaan Melayu. Meski kemudian gairah itu menurun lagi," katanya.
Ia pun mengharapkan Asosiasi Tradisi Lisan yang punya pengalaman mengadakan acara budaya dan memang punya konsern kajian budaya lisan, bisa ikut menyelamatkan budaya Melayu. Ia mengatakan buku-buku yang ia tulis tentang budaya Melayu banyak diterbitkan di Singapura dan Malaysia karena pembaca di negeri itu lebih bisa mengapresiasinya.
Ia berharap suatu saat masyarakat Melayu daerahnya bisa lebih menghargai. "Tapi, saya percaya suatu saat budaya Melayu akan tetap dibutuhkan."
Selain Tenas Effendy, hari pertama RMB III menghadirkan pembicara, antara lain Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A.Manan, guru besar UI Achadiati Ikram, mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro, dan peneliti Prancis Francois Zacot. RMB III juga dimeriahkan berbagai pentas kesenian dan Pameran Museum. (DJT/U-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Mei 2012 23:47
No comments:
Post a Comment