-- James Luhulima
Jika merujuk pada kata-kata bijak, ”Life begins at forty” atau kehidupan dimulai pada usia 40 tahun, Sabam Siagian mulai hari ini memasuki periode kedua dari kehidupannya. Sabam yang Jumat (4/5) kemarin memasuki usia 80 tahun, hari ini mulai meniti hari pertama dari usianya yang ke-81.
Sabam Siagian (KOMPAS/JOHNNY TG)
Pada periode kedua dari kehidupannya itu, ia banyak mengisi waktu dengan membina wartawan-wartawan muda agar dapat melakukan tugasnya secara profesional. Selama tiga tahun belakangan ini, ia turut berpartisipasi dalam kursus singkat (short course) terkait sekolah jurnalisme Persatuan Wartawan Indonesia yang berlangsung dua minggu. Topik yang dibahas adalah Hubungan Media dengan Pemerintah.
”Dari kursus-kursus singkat itu, yang kebetulan pesertanya wartawan muda dan paruh karier, saya mengetahui bahwa pada hakikatnya wartawan-wartawan itu memiliki iktikad baik. Hanya saja kondisi lingkungan di mana mereka bekerja tidak memungkinkan mereka bekerja secara profesional,” ujar Sabam.
Menurut dia, bagi wartawan yang bekerja di Jakarta, situasinya berbeda. Relatif mereka dapat menjalankan tugas dengan leluasa karena kebebasan pers terjamin. Berbeda dengan yang di daerah, terutama di luar Jawa.
”Kondisinya jauh berbeda,” katanya. Sangat sulit bagi mereka untuk menjalankan tugas secara profesional. Jika mereka tidak hati-hati, bukan tidak mungkin keselamatan jiwa mereka pun terancam.
Seperti diketahui, otonomi daerah membuat para bupati atau wali kota mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Mereka dapat memberikan izin konsesi tambang (batubara), dan sekian ton batubara dibawa ke luar. Ketika salah seorang wartawan daerah bermaksud meliput aktivitas itu, ia dipukul oleh petugas satpam (satuan pengamanan),” kata Sabam.
Ia menambahkan, ”Ketika wartawan itu bertanya kepada saya, bagaimana ia harus meliputnya? Saya hanya bisa menasihatinya agar jangan meliput seorang diri. Ajaklah beberapa kawan, terutama koresponden koran-koran besar Jakarta di daerah. Tujuannya, agar dia tak diperlakukan (penguasa daerah) sewenang-wenang.”
Ancaman bagi wartawan daerah untuk bekerja secara profesional tak hanya tindak kekerasan, tetapi juga ”dibeli” dengan uang sehingga pisau analisis kritisnya menjadi tumpul.
Sabam yang pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Sinar Harapan (1973-1983) dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (1983-1991) sangat prihatin dengan keadaan yang membelit profesi wartawan di daerah.
Itu sebabnya pada hari ulang tahunnya yang ke-80, yang dirayakan di Lobby Lounge Bima Sena, Hotel Dharmawangsa Jakarta, Sabtu siang ini, ia meluncurkan buku Melacak Makna dalam Peristiwa: Kumpulan Selektif Kolom-kolom 2006- 2009, yang ditulisnya di beberapa media massa.
”Buku ini saya dedikasikan bagi generasi muda wartawan Indonesia agar mereka memegang teguh prinsip keprihatinan, keadilan, dan keseimbangan permberitaan,” ujar Sabam penuh semangat. Perayaan yang diadakan pukul 11.00-14.30 itu didahului kebaktian pengucapan syukur pukul 11.00-12.00.
Turun ke lapangan
Sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (1983-1991), Sabam rajin turun ke lapangan untuk meliput peristiwa penting, terutama yang berhubungan dengan masalah internasional. Itu sebabnya wartawan- wartawan yang meliput masalah internasional tahun 1983-1991 pasti mengenalnya dengan baik.
Dengan berbekal notes dan bolpoin, dengan rajin ia mencatat berbagai informasi yang dianggapnya penting di dalam jumpa pers. Kadang-kadang ia juga membawa tape recorder yang agak besar pada jumpa pers tokoh-tokoh penting.
Ia juga tidak segan-segan menegur wartawan muda yang dianggap bekerja secara tidak profesional. Saya pernah mengalaminya pada pertengahan April 1986 saat meliput jumpa pers Menteri Luar Negeri Amerika Serikat George Shultz menjelang kunjungan Presiden AS Ronald Reagan ke Bali. Ketika itu, sebagian besar pertanyaan yang diajukan wartawan kepada Shultz berkisar tentang bocornya reaktor nuklir Uni Soviet di Chernobyl. Hanya sedikit pertanyaan yang diajukan tentang kunjungan Ronald Reagan ke Bali.
Selesai mengirim berita ke Redaksi Kompas di Jakarta, saya dan beberapa wartawan berkumpul di kamar Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Kompas Jakob Oetama di Hotel Santika, Kuta, Bali. Pak Jakob bertanya, bagaimana tentang jumpa pers George Shultz. Apakah cukup ramai? Saya menjawab, ”Isi jumpa pers itu 80 persen tentang Chernobyl, hanya 20 persen tentang kunjungan Reagan ke Bali.”
Sabam langsung memotong ucapan saya, ”Dari mana kamu tahu bahwa pertanyaan tentang Chernobyl itu sampai 80 persen.” Saya menjawab, ”Saya hanya mengira-ngira.” Sambil membuka-buka notes dan memeriksa catatannya, ia mengatakan, ”Dalam jumpa pers itu, ada 15 pertanyaan, dan 12 di antaranya tentang Chernobyl.” Untunglah ketika dihitung, perkiraan saya betul, yakni 80 persen.
Sabam langsung menambahkan, ”Wartawan itu, mau dia itu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau redaktur, jika turun ke lapangan, harus bertindak sebagai reporter. Ia harus mencatat semua informasi penting dan menajamkan informasi itu jika belum jelas.”
Saya menyadari bahwa saya melakukan kesalahan. Itu sebabnya nasihat itu saya pegang teguh hingga saat ini.
Di sisi lain, Sabam yang cukup populer di kalangan pejabat tinggi negara dan kalangan diplomatik tidak segan-segan memanggil wartawan muda dan memperkenalkannya kepada tokoh-tokoh penting. Ia juga tidak segan membagi informasi penting yang baru diterimanya.
Pernah suatu ketika, dalam suatu kunjungan ke Washington DC, Sabam menerima informasi penting. Ia memanggil saya keluar dari rombongan dan pura-pura menunjuk ke salah satu barang yang dipajang di toko. Padahal, ia tengah membocorkan informasi yang sama sekali tidak berhubungan dengan barang yang ditunjuk-tunjuknya.
Sabam juga aktif berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies di berbagai negara. Namun, ia kerap menjadi bahan ledekan di antara rekannya, seperti Fikri Jufri, August Parengkuan, dan Jusuf Wanandi, karena ia selalu membawa mesin ketik ke mana-mana. Padahal, rekan-rekannya sudah menggunakan laptop. ”Kalau saya tidak mendengar suara mesin ketik, ide besar saya tidak keluar,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut pengakuannya, ia masih tetap tidak dapat menggunakan komputer. ”Kalau sekretaris saya tidak masuk, ancur deh...,” katanya.
Kepakarannya sebagai pengamat masalah internasional menjadikannya sempat digunjingkan akan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Vietnam. Namun, ternyata ia malah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Australia (1991-1995). Dari sana, ia menjadi anggota MPR dari Utusan Golongan (1999-2004). Kemudian menjadi Editor Senior The Jakarta Post (2005 hingga kini).
Dalam pembahasan di Redaksi Kompas, Jumat, Sabam Siagian mengemukakan kegundahannya. Ia merasa salah diterima oleh saudara-saudaranya sehubungan dengan kehidupannya dengan istrinya, Stella Maris Siagian, yang menderita penyakit Alzheimer sejak 7 tahun lalu. Saat ini, Stella dirawat di rumah perawatan (care house) di Singapura dan kondisinya dimonitor dengan saksama selama 24 jam. ”Ia ditunggui anak saya, Batara Bonar Siagian, yang berkerja di sana,” katanya. Putra sulungnya, Tagor Malasak Siagian, tinggal di Jakarta.
”Ada yang menganggap, sebagai suami, saya harus menunggui istri terus-menerus. Namun, sebagai suami, saya juga harus menjalani kehidupan saya sehari-hari, bukan duduk berpangku tangan dan menangisi keadaan. Saya memilih yang kedua, di mana saya menjalani kehidupan saya yang tak pernah lepas dari jurnalisme,” ujarnya.
Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Mei 2012
Jika merujuk pada kata-kata bijak, ”Life begins at forty” atau kehidupan dimulai pada usia 40 tahun, Sabam Siagian mulai hari ini memasuki periode kedua dari kehidupannya. Sabam yang Jumat (4/5) kemarin memasuki usia 80 tahun, hari ini mulai meniti hari pertama dari usianya yang ke-81.
Sabam Siagian (KOMPAS/JOHNNY TG)
Pada periode kedua dari kehidupannya itu, ia banyak mengisi waktu dengan membina wartawan-wartawan muda agar dapat melakukan tugasnya secara profesional. Selama tiga tahun belakangan ini, ia turut berpartisipasi dalam kursus singkat (short course) terkait sekolah jurnalisme Persatuan Wartawan Indonesia yang berlangsung dua minggu. Topik yang dibahas adalah Hubungan Media dengan Pemerintah.
”Dari kursus-kursus singkat itu, yang kebetulan pesertanya wartawan muda dan paruh karier, saya mengetahui bahwa pada hakikatnya wartawan-wartawan itu memiliki iktikad baik. Hanya saja kondisi lingkungan di mana mereka bekerja tidak memungkinkan mereka bekerja secara profesional,” ujar Sabam.
Menurut dia, bagi wartawan yang bekerja di Jakarta, situasinya berbeda. Relatif mereka dapat menjalankan tugas dengan leluasa karena kebebasan pers terjamin. Berbeda dengan yang di daerah, terutama di luar Jawa.
”Kondisinya jauh berbeda,” katanya. Sangat sulit bagi mereka untuk menjalankan tugas secara profesional. Jika mereka tidak hati-hati, bukan tidak mungkin keselamatan jiwa mereka pun terancam.
Seperti diketahui, otonomi daerah membuat para bupati atau wali kota mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Mereka dapat memberikan izin konsesi tambang (batubara), dan sekian ton batubara dibawa ke luar. Ketika salah seorang wartawan daerah bermaksud meliput aktivitas itu, ia dipukul oleh petugas satpam (satuan pengamanan),” kata Sabam.
Ia menambahkan, ”Ketika wartawan itu bertanya kepada saya, bagaimana ia harus meliputnya? Saya hanya bisa menasihatinya agar jangan meliput seorang diri. Ajaklah beberapa kawan, terutama koresponden koran-koran besar Jakarta di daerah. Tujuannya, agar dia tak diperlakukan (penguasa daerah) sewenang-wenang.”
Ancaman bagi wartawan daerah untuk bekerja secara profesional tak hanya tindak kekerasan, tetapi juga ”dibeli” dengan uang sehingga pisau analisis kritisnya menjadi tumpul.
Sabam yang pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Sinar Harapan (1973-1983) dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (1983-1991) sangat prihatin dengan keadaan yang membelit profesi wartawan di daerah.
Itu sebabnya pada hari ulang tahunnya yang ke-80, yang dirayakan di Lobby Lounge Bima Sena, Hotel Dharmawangsa Jakarta, Sabtu siang ini, ia meluncurkan buku Melacak Makna dalam Peristiwa: Kumpulan Selektif Kolom-kolom 2006- 2009, yang ditulisnya di beberapa media massa.
”Buku ini saya dedikasikan bagi generasi muda wartawan Indonesia agar mereka memegang teguh prinsip keprihatinan, keadilan, dan keseimbangan permberitaan,” ujar Sabam penuh semangat. Perayaan yang diadakan pukul 11.00-14.30 itu didahului kebaktian pengucapan syukur pukul 11.00-12.00.
Turun ke lapangan
Sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta Post (1983-1991), Sabam rajin turun ke lapangan untuk meliput peristiwa penting, terutama yang berhubungan dengan masalah internasional. Itu sebabnya wartawan- wartawan yang meliput masalah internasional tahun 1983-1991 pasti mengenalnya dengan baik.
Dengan berbekal notes dan bolpoin, dengan rajin ia mencatat berbagai informasi yang dianggapnya penting di dalam jumpa pers. Kadang-kadang ia juga membawa tape recorder yang agak besar pada jumpa pers tokoh-tokoh penting.
Ia juga tidak segan-segan menegur wartawan muda yang dianggap bekerja secara tidak profesional. Saya pernah mengalaminya pada pertengahan April 1986 saat meliput jumpa pers Menteri Luar Negeri Amerika Serikat George Shultz menjelang kunjungan Presiden AS Ronald Reagan ke Bali. Ketika itu, sebagian besar pertanyaan yang diajukan wartawan kepada Shultz berkisar tentang bocornya reaktor nuklir Uni Soviet di Chernobyl. Hanya sedikit pertanyaan yang diajukan tentang kunjungan Ronald Reagan ke Bali.
Selesai mengirim berita ke Redaksi Kompas di Jakarta, saya dan beberapa wartawan berkumpul di kamar Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Kompas Jakob Oetama di Hotel Santika, Kuta, Bali. Pak Jakob bertanya, bagaimana tentang jumpa pers George Shultz. Apakah cukup ramai? Saya menjawab, ”Isi jumpa pers itu 80 persen tentang Chernobyl, hanya 20 persen tentang kunjungan Reagan ke Bali.”
Sabam langsung memotong ucapan saya, ”Dari mana kamu tahu bahwa pertanyaan tentang Chernobyl itu sampai 80 persen.” Saya menjawab, ”Saya hanya mengira-ngira.” Sambil membuka-buka notes dan memeriksa catatannya, ia mengatakan, ”Dalam jumpa pers itu, ada 15 pertanyaan, dan 12 di antaranya tentang Chernobyl.” Untunglah ketika dihitung, perkiraan saya betul, yakni 80 persen.
Sabam langsung menambahkan, ”Wartawan itu, mau dia itu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau redaktur, jika turun ke lapangan, harus bertindak sebagai reporter. Ia harus mencatat semua informasi penting dan menajamkan informasi itu jika belum jelas.”
Saya menyadari bahwa saya melakukan kesalahan. Itu sebabnya nasihat itu saya pegang teguh hingga saat ini.
Di sisi lain, Sabam yang cukup populer di kalangan pejabat tinggi negara dan kalangan diplomatik tidak segan-segan memanggil wartawan muda dan memperkenalkannya kepada tokoh-tokoh penting. Ia juga tidak segan membagi informasi penting yang baru diterimanya.
Pernah suatu ketika, dalam suatu kunjungan ke Washington DC, Sabam menerima informasi penting. Ia memanggil saya keluar dari rombongan dan pura-pura menunjuk ke salah satu barang yang dipajang di toko. Padahal, ia tengah membocorkan informasi yang sama sekali tidak berhubungan dengan barang yang ditunjuk-tunjuknya.
Sabam juga aktif berpartisipasi dalam seminar-seminar internasional yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies di berbagai negara. Namun, ia kerap menjadi bahan ledekan di antara rekannya, seperti Fikri Jufri, August Parengkuan, dan Jusuf Wanandi, karena ia selalu membawa mesin ketik ke mana-mana. Padahal, rekan-rekannya sudah menggunakan laptop. ”Kalau saya tidak mendengar suara mesin ketik, ide besar saya tidak keluar,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut pengakuannya, ia masih tetap tidak dapat menggunakan komputer. ”Kalau sekretaris saya tidak masuk, ancur deh...,” katanya.
Kepakarannya sebagai pengamat masalah internasional menjadikannya sempat digunjingkan akan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Vietnam. Namun, ternyata ia malah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Australia (1991-1995). Dari sana, ia menjadi anggota MPR dari Utusan Golongan (1999-2004). Kemudian menjadi Editor Senior The Jakarta Post (2005 hingga kini).
Dalam pembahasan di Redaksi Kompas, Jumat, Sabam Siagian mengemukakan kegundahannya. Ia merasa salah diterima oleh saudara-saudaranya sehubungan dengan kehidupannya dengan istrinya, Stella Maris Siagian, yang menderita penyakit Alzheimer sejak 7 tahun lalu. Saat ini, Stella dirawat di rumah perawatan (care house) di Singapura dan kondisinya dimonitor dengan saksama selama 24 jam. ”Ia ditunggui anak saya, Batara Bonar Siagian, yang berkerja di sana,” katanya. Putra sulungnya, Tagor Malasak Siagian, tinggal di Jakarta.
”Ada yang menganggap, sebagai suami, saya harus menunggui istri terus-menerus. Namun, sebagai suami, saya juga harus menjalani kehidupan saya sehari-hari, bukan duduk berpangku tangan dan menangisi keadaan. Saya memilih yang kedua, di mana saya menjalani kehidupan saya yang tak pernah lepas dari jurnalisme,” ujarnya.
Sumber: Kompas, Sabtu, 5 Mei 2012
No comments:
Post a Comment