Saturday, May 26, 2012

Bahasa adalah Jantung Kebudayaan

TANJUNGPINANG (Lampost): Bahasa adalah jantung kebudayaan. Karena itu merawat bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah, adalah sebuah keharusan. Jika tidak, kebudayaan akan lemah dan tak punya arah.

Sejarawan Taufik Abdullah menegaskan hal itu sebagai pembicara kunci pada Seminar Internasional Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) III hari kedua, Jumat (25-5), di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.

Menurut Taufik, jika bahasa mengalami perubahan yang mengancam esensi kebudayaan, nilai-nilai luhur yang diwariskan akan menjadi problematik.

Karena itu, kata Taufik, sudah saatnya seluruh komponen bangsa, khususnya pemerintah, memberi perhatian serius, terutama terhadap bahasa-bahasa daerah yang dilanda krisis bahkan terancam punah. Apalagi, katanya, ini amanat UUD ‘45. Ia juga mengimbau sudah seharusnya Indonesia yang kaya bahasa mempunyai museum untuk merekam semua tradisi lisan dari semua bahasa yang ada di Indonesia.

Menurut Taufik, hipotesis perubahan bahasa yang mengancam kebudayaan itu salah satunya terjadi pada bahasa Melayu. Dalam kaitan itulah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Budaya UI di masa Orde Baru pernah mengadakan penelitian untuk mengungkap bagaimana realitas kehidupan bahasa di kalangan orang Melayu di Kepulauan Riau.

Kepulauan Riau dipilih karena di kepulauan inilah (di Pulau Penyengat) naskah-naskah Melayu banyak ditulis. Bahkan, tata bahasa Melayu pertama (Kitab Pengetahuan Bahasa) karya Raja Ali Haji, yang juga pengarang Gurindam 12 ditulis di pulau kecil ini.

Penelitian itu menemukan betapa bahasa (khususnya tradisi lisan) masih hidup di kepulauan itu. "Bahkan, para pemilik tradisi lisan itu menjadi lebih sadar betapa berharganya warisan yang masih mereka punyai itu. Langsung atau tidak langsung penelitian itu juga mengingatkan masyarakat akan pertalian berbagai unsur tradisi dengan wilayah lain," kata Taufik yang juga mantan ketua LIPI itu.

Tradisi lisan yang begitu banyak di Kepulauan Riau dan nusantara yang tertuang dalam bentuk kisah ataupun puisi, teater, nyanyian. Dan, tradisi lisan yang hidup di berbagai kesatuan etnis di bumi nusantara ini mengingatkan fakta kehidupan kebudayaan mereka terkait dengan kesatuan etnis lain di masa silam. "Fakta-fakta seperti ini sesungguhnya bisa menjadi penguat kebersamaan sebagai satu bangsa," katanya.

Pluralisme

Pembicara lain, Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Mukhlis PaEni menekankan betapa pluralisme itu kehendak sejarah. Sementara kebhinnekaan itu berkah dari Tuhan untuk bangsa Indonesia. Karena itu, harus dijaga erat-erat. Jika tidak, kita mengingkari berkah itu.

Kekayaan budaya kita dari masyarakat multikultur, kata Mukhlis, adalah "deposito" yang tidak ada habis-habisnya. Karena itu kebudayaan harus terus dirawat, dikembangkan secara inovatif, kreatif, dan penuh tanggung jawab. "Sebab, banyak pula kebudayaan yang dikembangkan tidak dengan tanggung jawab, khususnya produk film yang semata-mata hanya bertujuan dagang," kata Mukhlis yang juga Ketua Lembaga Sensor Film Indonesia.

Selain Taufik Abdullah dan Mukhlis PaEni, hadir sebagai pembicara dari Indonesia antara lain arkeolog Agus Aris Munandar, dan ahli sastra Ayu Sutarto. Dari mancanagera Muhammad Haji Saleh, Haron Daud (Malaysia), Chua Soo Pong (Singapura), Dick van der Meij, dan Aone van Engelenhoven (Belanda). (DJT/U-2)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 26 Mei 2012

No comments: