Tuesday, July 24, 2007

Pemartabatan Bahasa Daerah Angkat Fungsi dan Kedudukannya

[MAKASSAR] Pemartabatan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar) merupakan usaha untuk mengangkat kembali fungsi dan kedudukan bahasa daerah di tengah masyarakat.

Menurut dosen Universitas Muhammadiah Makassar, Andi Syukri Syamsuri pada Konggres I Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar, Senin, bahasa daerah bukan hanya alat komunikasi sehari-hari melainkan berfungsi sebagai media yang menunjukkan jati diri sebagai masyarakat yang bermartabat sejak dulu hingga sekarang.

Oleh karena itu, pemartabatan bahasa daerah (BD) dalam pelayanan publik dapat dilakukan melalui kesadaran seluruh komponen yang terkait baik pengambil kebijakan, pemakaian, para ahli dan bahasa itu sendiri.

"Sinergitas dari keseluruhan komponen ini dapat mewujudkan pengangkatan fungsi dan kedudukan bahasa daerah di provinsi ini di tengah masyarakat penuturnya," katanya kepada Antara.

Menurut dia, pada masa perjuangan dan perebutan kemerdekaan, bahasa daerah memiliki andil yang sangat besar karena menjadi lingua franca dalam penggalangan kekuatan rakyat untuk memerdekakan negeri ini.

Karena itu, tidaklah mengherankan jika bahasa-bahasa daerah itu harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah dalam menjaga kelestariannya dari kepunahan, baik secara keseluruhan maupun dalam keeksistensiannya pada peradaban masyarakat Indonesia.

Perhatian pemerintah dalam konteks penguatan bahasa daerah sudah tampak dalam tataran kebijakan dan legalitas eksistensinya yang diatur dalam kedudukan dan fungsi BD di negara ini.

Kedudukan dan fungsi BD dalam rancangan Undang-undang kebahasaan, secara eksplisit meletakkan BD sebagai sarana perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah serta bahasa media lokal (RUUK Psl 4).

Selain itu, pemerintah berkewajiban memelihara BD dalam upaya melestarikan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional dan sumber pengembangan bahasa Indonesia yang tertuang dalam pasal 10 RUUK.

Dalam Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, kewenangan pemerintahan pusat dalam bidang bahasa daerah diserahkan kepada pemerintah daerah sehingga diharapkan BD lebih mendapat peluang untuk tetap lestari serta dapat dijadikan sumber pengembangan bahasa nasional, katanya.

Namun, ujar Andi Syukri, dalam perkembangannya, ada indikasi kemerosotan pemakaian bahasa daerah termasuk di Sulsel sebagai bahasa pelayanan publik.

Bahkan, sangat dikhawatirkan kepunahan akan menjadi ancaman bagi BD di daerah ini sebab separuh dari kurang lebih 6.000 bahasa di dunia dewasa ini terancam akan hilang. Hal itu berarti dalam setiap dua pekan akan punah satu bahasa.

"Kepunahan suatu bahasa memang kadang-kadang tidak dapat dielakkan tetapi dapat dicegah karena bahasa itu tidak sepatutnya dibiarkan mati," ujarnya seraya menyatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang sangat berharga.

Bahasa daerah di Sulsel (Bugis, Makassar dan Tanatoraja) maupun Sulawesi Barat (bahasa Mandar) bisa saja hilang kalau tidak segera diatasi. Bahasa Indonesia, telah menggeser kedudukan BD sehingga pemerintah dan penutur bahasa ibu perlu melakukan usaha-usaha untuk mencegah proses kepunahan BD tersebut.

"Kalau tidak, suatu bahasa bisa saja punah dalam dua generasi," katanya seraya menambahkan kecenderungan itu muncul karena orang menurunkan bahasa nasionalnya kepada generasi berikutnya.

Untuk itu, jika menginginkan bahasa-bahasa daerah kembali menjadi bahasa yang tetap hidup dalam pelayanan publik diperlukan sistem yang efektif yang merupakan sinergitas seluruh komponen yang terkait bersama-sama membangun sebuah mekanisme kerja yang harmonis.

"Sinergitas dari komponen terkait harus dilandasi kesadaran, sikap dan prilaku yang akan berubah ke arah yang lebih baik. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat membentuk dan mencetak ulang dirinya sendiri dengan mengubah sikap," tambahnya. [U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 24 Juli 2007

No comments: