-- M Fadjroel Rachman*
Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas jiwa dan raga kami untuk mencipta kemanusiaan kami sendiri dalam kebebasan tanpa penjajahan.
(Memo Indonesia, 12 Juli 2007)
MENCIPTA diri sendiri dan mencipta kemanusiaan kita sendiri adalah sarana sekaligus tujuan segala aktivitas manusia. Garis batas penciptaan dan kebebasannya hanya cakrawala historis bumi manusia. Kita semua adalah warga negara bumi manusia dan negara hanya batasan hukum belaka, bukan batas imajinasi, kreasi, maupun aktivitas. Praktisnya, segala aktivitas manusia di muka bumi di mana pun yang mengorbankan manusia hanya sebagai sarana, alat, atau objek dari satu tujuan tertentu, sebaik dan sesuci apa pun, semestinya ditolak dan harus ditolak. Tidak ada tujuan dan ukuran di luar kehidupan manusia dan kemanusiaan. Itulah pula tujuan dan ukuran sastra dan kebudayaan kita hari ini. Bukankah paradigma humanisme global dan kosmopolitan seperti ini adalah identitas baru manusia di muka bumi, termasuk generasi abad XXI manusia Indonesia. Sungguh bahagia menyatukan diri kembali dalam identitas sebagai umat manusia di bumi manusia. Sedangkan negeri, entah Indonesia atau apa pun namanya, hanyalah tempat badan secara relatif terikat, tetapi pikiran dan kesadaran membubung tinggi mengatasi tempat.
Jadi, apakah artinya menjadi manusia Indonesia hari ini? Menjadi manusia global membumbung tinggi bersama jiwa-jiwa bebas seluas bumi, mencipta hari depan manusia bersama-sama secara global. Dengan kebebasan seluas bumi, bukan sekadar kebebasan yang diciptakan dan dipaksakan negara Indonesia. Apakah artinya identitas baru manusia Indonesia seperti itu dengan kehidupan sastra dan kebudayaan kita hari ini? Sebuah konflik, sebuah konfrontasi tuntas terhadap paradigma yang sekadar menyempitkan diri pada norma, nilai, atau patriotisme sebatas negara Indonesia.
Tiga Paradigma, Empat Polemik
Kita sempitkan dulu pada polemik sastra dan kebudayaan antara Memo Indonesia (MI), Barisan Taufik Ismail (BTI), dan pernyataan sikap Sastrawan Ode Kampung (SOK). Polemik itu pada dasarnya menyangkut empat hal, yakni paradigma manusia, tujuan sastra dan kebudayaan, standar dan variasi estetika sastra dan kebudayaan, serta sarana aktivitas sastra dan kebudayaan. Memo Indonesia (M Fadjroel Rachman, Hudan Hidayat, Mariana Amiruddin, dan Rocky Gerung) jelas menempatkan paradigma manusia sebagai ukuran, sarana, dan tujuan. Meyakini tak ada ukuran, sarana, dan tujuan yang lain di luar manusia. Mengutip Erich Fromm, Memo Indonesia menempatkan man for him/herself.
Sementara itu, BTI, bila membaca pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menyebut sastra yang ditulis generasi baru Indonesia sebagai sastra mazhab selangkangan (SMS), gerakan syahwat merdeka (GSM), dan fiksi alat kelamin (FAK) berakar pada paradigma 'keagamaan konservatif' untuk membedakannya dengan paradigma 'keagamaan progresif'. Sementara itu, SOK, menegaskan di Serang, Banten, 20-22 Juli 2007 yang ditandatangani 138 orang (sebenarnya kata Einstein, untuk menggagas dan menggagalkan satu teori atau paradigma cukup satu orang tidak beratus-ratus orang). Tetapi tuntutannya menarik, simak saja menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya, menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika, menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kita. Selain itu, pada baris terakhir, SOK menegaskan solidaritas terhadap musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia. SOK tampak berparadigma eklektik untuk tidak mengatakan saling bertabrakan. SOK dan BTI setuju dengan gagasan BTI, terutama dalam aspek standar dan variasi estetika sastra. Tetapi, BTI tidak pernah secara langsung menyerang komunitas tertentu, seperti Komunitas Utan Kayu (KUK) dan pribadi-pribadi di dalamnya, seperti Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, Ayu Utami. Bahkan jurnal Boemi Poetera secara kasar 'mengorbankan' edisi pertama untuk melecehkan secara seksual (apakah itu termasuk kategori eksploitasi seksual juga? Penulis mengatakan ya) dan mengaburkan istilah jurnal sebagai sarana 'dialog ilmiah dan cerdas' dengan 'pamflet kuning'. Prestasi yang tidak mengagumkan. Bila BTI membaca Boemi Poetera, tuduhan GSM, FAK, dan SMS semestinya juga berlaku bagi Boemi Poetera.
Tak ada kebudayaan Indonesia
SOK dan BTI juga belum sepakat mengenai keindonesiaan. Keindonesiaan SOK terasa lebih berdimensi sekuler daripada 'agama konservatif'-nya BTI apalagi SOK menegaskan sikap ideologis mereka yang bersimpati pada korban kapitalisme dan kapitalisme global di Indonesia. SOK bukanlah paduan homogen sebuah paradigma, bahkan pada titik tertentu setuju dengan Memo Indonesia. Misalnya, MI juga bersikap kritis terhadap dominasi paradigma tertentu maupun kelembagaan tertentu sebab sikap MI adalah membuka ruang demokrasi seluas-luasnya, terutama mendukung pasar besar gagasan, tetapi tanpa penghakiman dan penghukuman individu, kelompok ataupun negara. MI berarti menolak penjajahan dalam bentuk apa pun terhadap gagasan, iman, agama, ideologi, ekspresi seni, dan kebudayaan. Tetapi, MI tidak mau dan tidak pernah mau memuja satu interpretasi tertentu terhadap keindonesiaan. Tidak ada pribadi Indonesia, tak ada kebudayaan Indonesia, manusia yang tinggal di negeri Indonesia adalah pribadi global, kebudayaan global, termasuk kreasi dan ekspresi keseniannya. Lebih jauh lagi, setiap manusia adalah 'manusia relatif' dengan 'kebudayaan relatif'. Yang murni hanya cita-cita totaliter kebudayaan dan pribadi Rusia oleh almarhum Uni Soviet, sedangkan kebudayaan dan pribadi Indonesia oleh Soeharto dan almarhum Orde Baru. Apakah BTI dan SOK mau mengulangi jaman kegelapan kemanusiaan ini? Karena kata Soedjatmoko (Etika Pembebasan, LP3ES, 1984), 'Pada asasnya seniman harus mempunyai kebebasan untuk menyimpang daripada yang sudah dikenal umum untuk menerobos kepada jalan-jalan dan cara-cara penciptaan baru sebab kebenaran senantiasa harus ditangkap dan ditaklukkan lagi. Kebenaran, seperti binatang jalang, mengelakkan diri dari jalan-jalan yang sudah terkenal. Kesempatan bereksperimen sama pentingnya dengan air untuk menyirami tanaman.
Mari menajamkan polemik
Polemik antara MI, BTI, dan SOK sekarang ini barulah tahapan awal dari ketiga pihak merumuskan tesisnya masing-masing. Elaborasi paradigma, estetika, lembaga, ruang persaingan dan kerja sama, dan lainnya baru menyentuh kulitnya. Tentu akan indah bila ketiganya bisa menghasilkan karya lengkap dan masterpiece yang mewakili kelompok masing-masing. Lebih hebat lagi jika bukan saja hasil karya masing-masing bisa bersaing secara nasional, melainkan juga bersaing secara global mewarnai taman sari sastra, seni, dan kebudayaan global. Jangan sampai ketakutan bersaing, inferioritas, dan ketidakmampuan berkarya dilindungi dengan slogan revolusioner dan parokialisme standar seni dan kebudayaan. Mari bertarung terbuka dalam paradigma, teori, maupun karya. Jangan bermimpi segera membuat sintesis, ataupun menjadi gerombolan eklektik seperti SOK. Jangan cepat-cepat menghakimi dan menghukum secara pribadi dan golongan apalagi mengundang negara (pemerintah) untuk memberangus pemikiran dan kecenderungan ekspresi atau ideologi tertentu. Marilah kita menjaga kebebasan dalam pasar bebas gagasan kita semua beruntung mendapat kompetitor sepadan dan akan memperkaya tesis kelompok –masing-masing. Itulah ruang kebebasan yang ingin dijaga MI dan seharusnya tidak diberangus BTI dan tidak diracuni SOK. Ingatlah, tanpa kebebasan, kita semua tak bisa memilih, tak bisa membuat alternatif dalam eksperimen kreatif, tak perlu bertanggung jawab, bahkan tak perlu bicara surga dan neraka. Salib kemanusiaan adalah kewajiban menjaga kebebasan, selain mempertahankannya sebagai hak bersama. Hanya dengan jalan kebebasan, kita dapat meraih puncak tertinggi kemanusiaan kita. Kita undang Ignazio Silone (The God That Failed, 1959) untuk merayakan kemanusiaan, merayakan kebebasan, dan merayakan polemik yang lebih bermutu dari MI, BTI, dan SOK. Apakah kebebasan itu? ...liberty is the possibility of doubting, the possibility of making a mistake, the possibility of searching and experimenting, the possibility of saying 'no' to any authority – literary, artistic, philosophic, religious, social, and even political.
Bukankah kita rindu pada kemungkinan untuk meragukan segala otoritas apa pun. Lalu, memajukan kemanusiaan dengan belajar dari kesalahan. Adalah salah untuk mengeksploitasi, menindas, mendominasi, dan menghina manusia di manapun, di level kampung, nasional, maupun global atas nama apa pun, termasuk lembaga dan komunitas tertentu. Mari berpolemik secara cerdas, etis, ilmiah, dan meninggikan kemanusiaan kita bersama. Karena, kata Sutardji Calzoum Bachri, "Luka padamu, berdarah padaku. Ketulusan menerima perbedaan apa pun dari Chairil Anwar, "Semua harus dicatat, harus dapat tempat.
* M Fadjroel Rachman, esais, penyair, novelis, dan penggagas Memo Indonesia.
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 Juli 2007
No comments:
Post a Comment