Jakarta, Kompas - Sejarawan Belanda, Harry A Poeze, Jumat (27/7) di Jakarta, menjelaskan, Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949. Selama ini kematian Pahlawan Nasional Tan Malaka itu menjadi misteri sejak lebih dari setengah abad.
"Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya, yang terakhir berpangkat brigadir jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya. Data tersebut diperoleh dari kesaksian pelbagai pihak, seperti rekan gerilya Tan Malaka, anggota Batalyon Sikatan, keterangan warga desa dan tokoh-tokoh angkatan 1945," kata Poeze yang memulai riset Tan Malaka sejak tahun 1980 dengan menemui banyak tokoh nasional.
Harry Poeze yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) menambahkan, Tan Malaka ditembak di Desa Selo Panggung di kaki Gunung Wilis di Jawa Timur. Eksekusi yang terjadi selepas agresi militer Belanda ke-2 itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan komandan brigade-nya, Soerahmat.
Petinggi militer di Jawa Timur menilai seruan Tan Malaka yang menilai penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas. Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje.
Sebelum ditangkap, Tan Malaka memimpin gerilya melawan Belanda di Desa Belimbing. Dia juga mengimbau seluruh rakyat melakukan perjuangan semesta melawan Belanda, seperti yang dilakukan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Tan Malaka, yang pada bulan September 1945 pernah disiapkan Bung Karno untuk memimpin Indonesia jika Proklamator mengalami bahaya sehingga tidak mampu bertugas, sempat lolos dari tahanan bersama 50 gerilya anti-Belanda yang dipimpinnya. Namun, Tan Malaka yang berpisah dan bergerak dalam rombongan kecil berjumlah enam orang ditangkap Letnan Dua Soekotjo di Desa Selo Panggung yang berakhir dengan eksekusi.
Menurut Poeze, Menteri Sosial Republik Indonesia sudah setuju untuk mengerahkan tim forensik mencari sisa jenazah Tan Malaka. Tan Malaka sempat dijuluki "Bapak Repoebliek Indonesia" selepas medio 1920-an karena menerbitkan buku Naar Repoebliek Indonesia (Menuju Repoebliek Indonesia) dalam Bahasa Belanda dan Melayu tahun 1924 di Kanton (sekarang Guangzhou), China. Diketahui, ratusan jilid buku tersebut diselundupkan ke Hindia Belanda dan diterima para tokoh pergerakan, termasuk pemuda Soekarno. Walhasil, Tan Malaka pun dikenal sebagai Bapak Repoebliek Indonesia jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945.
Fakta tersebut ditampilkan dalam tiga jilid buku berjudul Tan Malaka Verguisd en Vergeten (Tan Malaka Dihujat dan Dilupakan). Edisi bahasa Indonesia buku tersebut akan diterbitkan enam jilid selama dua tahun hingga 2009, dimulai Senin pekan depan. (ONG)
Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juli 2007
No comments:
Post a Comment