-- Rohyati Sofyan
SETIAP pengarang berhak menentukan cerita sesuai alur yang bermain dalam benaknya. Dan Kurniawan Junaedhie (KJ) pun tahu itu. Ia piawai memainkan alur cerita menjadi sesuatu yang konyol, aneh, absurd, surealis, sekaligus logis dalam dunia yang memang sudah jungkir balik. Ia menjungkirbalikkan realita dalam fiksinya yang sarat kejutan hingga layak ditertawakan sekaligus direnungkan. Ada begitu banyak satir terang-terangan.
Seno Gumira Adjidarma menulis dalam kata pengantarnya, Saya kira KJ telah menulis ceritanya dengan sangat santai dan bebas, tidak mengejan dan ceritanya tidak dibagus-bagusin. Tidak ada kompleks beban karya besar dalam cerita-ceritanya, tetapi justru dalam semangat produktif tanpa beban itulah pembaca akan tersentak dan terkejutkan oleh keajaiban. Ya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun keajaiban bukanlah sesuatu yang asing, tetapi hanya fiksi berpeluang menyampaikannya dengan tuntas (hal 5).
Apakah Anda sudah jenuh dengan realitas sehari-hari dalam hidup yang sebenarnya sering konyol cuma kelewat dibebani keseriusan? Kurniawan Junaedhie dengan serius mencipta tokoh laku-pikir yang mengejek pembaca untuk cengengesan. Itu jika mereka masih punya selera humor di sudut terdalam lubang hitam jiwanya.
Dari judul bukunya saja kita bisa menerka, KJ senang bermain plesetan kata sekaligus peristiwa. Opera sabun (soap opera) dulunya kata itu populer di tahun 1980-an, lewat acara televisi macam Dallas atau Dinasty. Itu untuk cerita intrik berlarat-larat. Zaman sekarang istilah opera sabun seolah raib dari rimba kehidupan, tergantikan istilah macam-macam yang sedang tren sesuai musim berbangsa dan bernegara di Indonesia.
KJ mungkin sedang membayangkan runyamnya peristiwa yang biasa digembar-gemborkan media massa seolah menjadi gawat, adalah opera sabun yang asyik untuk diimajinasikan. Kasus mayat dalam koper, yang dimutilasi, tidak dibidik KJ dari angle mengerikan, sebaliknya ia membidik hal lain, tokoh-tokoh di sekitar kematian Juni Kurniawan (JK), artis muda berbakat, sahibul yang dimutilasi dalam cerpen "Opera Sabun Colek".
Alkisah, seorang wanita muda menjadi korban mutilasi di Ragunan. Potongan tubuh korban ditemukan hanya 5 meter dari Jalan Raya Kebagusan, Jakarta Selatan. Potongan tubuh pertama yang berisi potongan tubuh dan kaki terbungkus travel bag hitam ditemukan di samping SDN Ragunan 14 Pagi.
Sementara itu, di lokasi kedua, di kebun yang ada di seberang lokasi pertama ditemukan potongan kepala dan badan. Tidak ditemukan identitas apa pun di lokasi penemuan potongan tubuh kecuali celana jeans biru dan kaus merah. Menilik cara pembunuhan dan cara memotong mayat, si pembunuh bukan orang sembarangan. Kalau tidak memiliki IQ tinggi, jelas dia adalah orang yang cerdik seperti kancil. Dan yang mengejutkan, berdasarkan hasil visum et revertum, korban diketahui tengah berbadan dua. Lalu yang membuat saya sempat tidak bisa tidur, korbannya adalah JK. Bagi berita biasa, hal itu niscaya tak akan membayangkan tokoh sial, yang kali ini jadi aku-tokoh utama, sebaliknya media akan merekam apa yang ada di sekitar korban dengan penuh spekulasi.
Terlalu gegabah jika tak bermain investigasi dulu. KJ lain lagi, dengan enteng ia bermain spekulasi, namun dengan tokoh-sial yang berkarakter unik, ia dijadikan tersangka karena memiliki keterkaitan dengan korban JK hanya sebagai seseorang yang mengenalnya begitu saja, padahal sudah divasektomi jadi tak mungkin bisa menghamili JK. Dunia fiksi dibiarkan KJ berkecambah liar, penuh berbagai kemungkinan yang mengejutkan, namun tidak menutup kemungkinan nyata adanya.
KJ tidak sekadar menulis cerpen, ia membiarkan dirinya disandera tokoh-tokoh dalam cerpennya yang melompat-lompat dalam berbagai alur peristiwa. Tokoh utama macam aku-tokoh tidak melulu orang baik atau cerdas, ia begitu manusiawi, menjadi dungu sekaligus bajingan. Begitu pun tokoh diaan, tak ada bedanya. Seperti seorang pemuda yang lolos jadi anggota parlemen padahal latar belakangnya adalah preman pasar yang sudah pernah membunuh orang "Seorang Pemuda Berambut Gondrong".
Terpilih menjadi hero hanya karena pernah dikeroyok 10 orang hingga babak belur namun tidak keder. Itu ironi adanya berbagai partai gombal. Sebaliknya pemuda itu, Joko Bodo, sama sekali tak peduli dengan keriuhan di dalam rumahnya yang sedang hajat besar, sibuk merayakan kemenangannya oleh orang-orang yang merasa berkepentingan, asyik cengengesan dengan HP-nya. Apa jadinya jika negara kita dipimpin preman? Namun nyata adanya seperti yang sering diberitakan di maedia massa tentang anggota partai yang masuk parlemen. Beginilah Indonesia Raya. Indah dan penuh duka.
Disadari atau tidak, gaya penulisan Kurniawan Junaedhie cenderung antihero. Ia membidik berbagai peristiwa, tokoh-tokohnya tidak sekadar boneka pengarang. Manifestasi yang menarik karena realitas sendiri sering tumpang tindih, antara kebenaran dengan rekayasa. KJ dengan pengalamannya sebagai jurnalis, mau tidak mau memengaruhi gaya berceritanya.
Ada kekuatan dari 12 cerpennya. Ia tidak cuma piawai memainkan alur pikir dan rasa tokoh-tokohnya, latar tak diabaikannya sebagai penunjang cerita. Ada parodi sekaligus kepahitan, ada misteri sekaligus sensualitas. Antitesisnya, tugas pengarang tidak cuma menuliskan kebohongan menjadi kebenaran, seperti yang ditulis KJ dalam "Pengarang yang Disandera Tokoh Cerpennya".
Maka, membaca kumcer Opera Sabun Colek, kita akan menyaksikan sahibul hikayat riwayat yang tak sekadar dibaca untuk tamat, ada kenang yang akan menggenang.***
Limbangan, Garut, Februari 2012
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 3 Maret 2012
No comments:
Post a Comment