-- Rama Prabu
PECAHNYA peperangan Bintang Timur-“Lentera”/Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu panglimanya di medio 1962-1964 dengan HAMKA itu memercikan darah polemik baru berlabel Plagiasi pada karya Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Dan ketika membaca buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat karya Muhidin M Dahlan (2011) kembali kita diingatkan bahwa prilaku tidak terpuji itu ternyata di Indonesia sudah dimulai jauh-jauh hari. Dan akhir-akhir ini banyak kasus Plagiat baik soal Cerpen sampai pada Karya Ilmiah di beberapa Universitas yang dilakukan oleh mereka yang ingin disebut penulis dan peneliti itu tidak terlepas dari lemahnya negara memberi batasan dan ukuran serta takaran dalam mendefinisi mana saduran, mencontek atau mencontoh hingga plagiat dalam beragam ukuran.
Seorang pemerhati sastra Indonesia A. Teeuw pernah menulis “bahwa di Indonesia dari dahulu masalah keorisinilan dalam penciptaan sastra belum ada; perbedaan antara pencipta, penyadur, penerjemah, penjiplak adalah perbedaan yang modern; menulis seringkali adalah menulis kembali dengan varian-varian yang terserah pada pengarang, dan yang penilaiannya terserah pada pendengar atau pembaca. Demikian pula naskah seringkali bersifat anonim, atau seandainya ada nama penulis tidak jelas apakah dia penulis “asli” atau “penyadur” atau pula “penyalin” pertanyaan semacam itu dianggap kurang relevan. Perkara ini sangat sensitif bahkan cenderung banyak yang akhirnya dianggap “kampanye hitam” untuk membunuh karir seseorang.
Tapi untuk soal Hamka, saya sependapat dengan buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (AMHP) bahwa buku “ini menjadi semacam pengantar ala kadarnya untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya disembelih oleh Gestok 1965 dan diantara mere di-Buru-kan. Buku ini menyambung niat yang tenggelam bersama kapal sejarah sastra Indonesia yang muda usia oleh politik dan fraksi militer yang kemudian diwariskan dengan perasaan was-was bergenerasi-gererasi”.
Dan yang paling penting dari buku ini adalah, Muhidin (Gus Muh) kembali mengingatkan pada khayalak bahwa pernah ada polemik/palagan dalam istilahnya yang harus diketahui oleh generasi sekarang. Buku yang layak dan harus menjadi bacaan wajib para penggiat sastra ini salah satunya telah menggiring saya pribadi sebagai kolektor untuk kembali “gerilya” mencari semua buku-buku tentang Hamka dan buku yang Hamka tulis, ini salah satu dampak ikutan yang baik terlebih karena kepentingan Sidang Buku Indonesia Buku. Dan setelah membaca Magdalena (Terjemahan A.s. Alatas dan M. Junus Amir Hamzah) dari karya Majdulin Al-Manfaluthi dimana beliau terjemahkan dari Karya Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleus, kemudian membaca naskah yang menjadi polemik Tenggelamnya Kapak van der Wijk –Hamka serta setelah mengengok detail-detail yang coba dibuktikan dalam buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (Gus Muh) saya berkesimpulan bahwa karya Hamka ini memang terlalu naif dan terlalu tidak jujur jika Hamka tidak mengakui bahwa bukunya memang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan lebih dekat dari urat lehernya karya terjemahan Manfaluthi. Untuk tidak merendahkan beliau yang diakui sebagai seorang agamawan dan pengarang dengan karya yang banyak, saya lebih setuju buku Tenggelamnya Kapal van der Wijk itu dikategorikan sebagai saduran.
Hamka telah mengakui dalam pendaluan untuk cetakan keempat bahwa “di dalam usia 31 tahun (1938), masa darah muda cepat alirnya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, di waktu itulah “ilham” Tenggelamnya Kapan Van der Wijk ini mulai kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin, Pedoman Masyarakat”. Sepertinya “ilham dan kata sentimen” inilah yang hendak dijadikan pembela karangannya, walau dengan tulisannya (maka ketika membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang menjadi inti buku, tidaklah diubah-ubah. Sebab dia adalah puncak kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman sebelum suasana merdeka) Hamka seperti sedang menampar muka sendiri dari pada kata “bercermin air”.
Walau H.B Jassin menjadi salah satu pembela Hamka dengan mengatakan “pada Hamka ada pengaruh al-Manfaluthi. Ada garis-garis tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapannya sendir demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka terlalu gegabah untuk menuduh Hamka Plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen”. Tapi dari tulian ini saya meyakini Jassin tak sepenuh hati membela dan mempelajari polemik yang terjadi, karena Jassin juga bukan orang yang memakai kacamata kuda dalam menilai walau dia bilangbahwa Hamka adalah gurunya, yang sangat di hormati. Dia sudah baca semua bukunya, ikuti dan menyimpan semua tulisannya dalam majalah dan surat kabar. Tapi dalam hal kesusastraan mengenai fungsi pengarang, kebebasan mencipta, dan fungsi karya sastra, antara Jassin dan Hamka ada beberapa perbedaan pendapat.
Satu kasus, kerasnya Jassin dalam membela perkara “Langit Makin Mendung” (Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, H.B. Jassin, 1983) menilai bahwa Hamka mengatakan melihat cerita itu seolah-olah suatu laporan sejarah dan pelajaran agama, yang karena dan berbeda atau bertentangan dengan kenyataannya dan kaidah agama, ditolaknya. Hal ini bisa Jassin mengerti, karena beliau adalah orang yang telah memilih karier sebagai ahli agama dan mubalig. Ia tidak bisa lain dari keyakinannya dan kalau ia hendak menikmati suatu hasil karya, haruslah yang konform dengan keyakinannya. Ini adalah hak beliau. akan tetapi tak dapat dibantah bahwa imajinasi manusia bebas, sekalipunn ia mempunyai suatu keyakinan. Dan kebebasan imajinasi inilah yang hendak dikekang oleh Hamka pada ajaran-ajaran agama. Jassin tidak berpendirian demikian. Sebagai manusia beragama, punya keyakinan. Tapi juga mengakui adanya imajinasi yang bebas.
Jassin pun mengatakan bahwa “Inilah bahayanya kalau pikiran kita sudah terarah dengan mutlak dalam menghadapi suatu karya. Kita kita hanya mencari apa yang cocok dengan kita dan tidak coba mengerti kemungkinan-kemungkinan lain dari dari apa yang kita kehendaki. Dengan demikian dunia ini tetap sempit saja. Inilah caranya orang mengganggap hasil sastra sebagai dogma. Sebagai ulama, Hamka katanya metasa tersinggung oleh cerita “Langit Makin Mendung” dan menganggap dosa si pengarang begitu besar, sehingga sepantasnya ia dibunuh; halal darahnya menurut Islam, katanya. Hamka membantah hasil imajinasi pengatang dengan mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis, seolah-olah pengarang adalah seorang ulama yang telah memberikan fatwa-fatwa agama yang keliru dan akan menyesatkan umat.
Jassin mengerangkan, bahwa pengarang bukanlah ulama, tapi orang awam dalam hal agama, namun dengan imajinasinya yang awam mencoba mendekatkan diri kepada Tuhan. Kalau seorang penghuni planet Senen sampai pada imajinasi Tuhan dengan caranya sendiri, saya menaruh hormat. Bagi Hamka seorang pengarang haruslah menggambar manusia dan peristiwa-peristiwa sesuai dengan keyakinannya.
Hamka memestikan tokoh-tokohnya menganut pikiran-pikiran dan melakukan perbuatan-perbuatan yang cocok dengan Hamka sebagai orang yang taat beragama. Maka akan didapatlah tokoh-tokoh yang stereotip, gagasan-gagasan yang stereotip, peristiwa-peristiwa yang stereotip, jalan pikiran yang stereotip, jalan cerita yang stereotip. Tokoh-tokohnya bukan tokoh-tokoh merdeka, tapi tokoh-tokoh yang telah terbelenggu oleh pikiran-pikiran pengarang atau pembaca yang menginginkan mereka demikian. Hamka hendak membelenggu imajinasi kepada akidah, meskipun dia tahu bahwa imajinasi sifatnya bebas. Imajinasi tidak terikat pada akidah, seperti mimpi tidak terikat kepada hukum lazim dalam kenyataan.
Dan buku AMHP menghimpunnya dengan cukup baik untuk soal bukti-bukti pragiat ini dari berbagai macam sudut pandang dan cara menakar, kegundahan Ki. Harkono Kamajaya (Pemimpin Umum UP. Indonesia) yang salah satu petinggi Majelis Luhur Tamansiswa yang menerbitkan cetakan ketiga (1985) buku Magdalena yang mengatakan bahwa “polemik itu niscaya tidak akan mencapai penyelesaian, sebab orang tidak dapat membenarkan atau membantah tuduhan plagiat tersebut sebelum membaca buku Majdulin” dan buku AMHP melengkapi pembenaran ini.
Seharusnya Hamka pun melakukan hal yang sama seperti Manfaluthi ‘tawadhu” dalam berkarya, walau kata Teeuw “Teks adalah milik bersama, bebas untuk dimanipulasi, dicocokkan, diciptakan kembali, sesuai dengan keperluan dan kemampuan para penyusun yang menganggap dari pencipta (seringkali juga sekaligus menjadi penyanyi dan penggelarnya), dan dengan minat pendengar dan penonton. Tapi kosep teks sebagai milik pencipta pertamanya, yang harus dihormati dan diabadikan dalam bentuk aslinya, pada umumnya tidak diketahui di Indonesia.
Manfaluthi mengatakan “saya menjaga jiwa aslinya sepenuh-penuhnya dan mengikat diri saya sekeras-kerasnya. Saya tidak menyimpang kecuali dalam membuang beberapa kalimat yang tidak penting, menambah beberapa kalimat yang terpaksa saya tambahkan karena kaharusan terjemahan, pengolahan, penyesuaian tujuan dan maksud-maksud tanpa mengurangi nilai aslinya atau keluar dari lingkungannya”. Jadi saya kembali berharap kedepan tak ada lagi karya sastra yang kembar identik seperti yang terjadi pada karya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk-Hamka dengan Majdulin/terjemahan Manfaluthi dari [Sous les Tilleus karya alphonse Karr] karena itu selain merendahkan proses penciptaan pada akhirnya juga menghinakan diri didepan sidang pembaca buku di seluruh dunia.
Rama Prabu, Direktur Dewantara Institute
Sumber: Oase, Kompas.com, Selasa, 20 Maret 2012
No comments:
Post a Comment