-- Nofanolo Zagoto
RUWAT Sengkolo (Joko Kamto) keluar dari kurungan putih. Ia tampil nyentrik, mengenakan ikat kepala, kacamata, seabrek kalung di lehernya, serta membawa terompet. Tiap langkah membunyikan lonceng-lonceng kecil di kakinya.
FOTO: ANTARA
Tetapi lantaran gurunya, Ki Janggan (Bambang Susiawan) datang, bertelutlah ia di lantai panggung. “Otakku buntu, yang begini ini bukan manusia...bukan negara...yang begini ini bukan agama, bukan guru,” begitu katanya dengan wajah tertunduk.
Sepenggal adegan itu mewarnai produksi perdana Teater Perdikan. Sekitar tiga jam di atas panggung para pemain teater Yogyakarta itu menampilkan naskah buatan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang berjudul "Nabi Darurat Rasul Ad-hoc". Naskah itu akan mereka pertontonkan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) pada 9 Maret 2012.
Jangan kaget jika kemudian mendapati bibir panggung GKJ terhias alat musik drum. Khusus pentas ini, Teater Perdikan memilih berkolaborasi bersama grup musik Letto. Para personel Letto tak hanya sesekali menyuguhkan musik sebagai upaya memisah fragmen, malahan juga ikut bermain sebagai anak indekos yang tinggal di sebelah rumah si tokoh utama, Ruwat.
Ruwat jadi tokoh sentral dalam cerita yang mereka mainkan. Dia orang kecil yang dikisahkan tak mengecap pendidikan, muncul menjadi sumber pergunjingan serta keributan masyarakat.
Tiba-tiba saja dia bertingkah aneh. Ia membuat kurungan besar yang terbuat dari kain putih dalam rumahnya sebagai tempatnya bertapa. Dia berkoar-koar, bersabda, dan membuat orang kebingungan. Yang menjadi menarik Joko bisa dengan baik memerankan tingkah Ruwat.
Ruwat menyakini tahun 2012, yang di percaya banyak orang sebagai tahun kiamat menjadi awal tindakan Tuhan kepada Indonesia, yang komplikasi problemnya bisa diatasi dengan kepemimpinan yang setingkat, sepadat, dan sekuat nabi dan rasul.
Tak heran, banyak yang menuding Ruwat jadi gila, mau bunuh diri, jadi dukun tiban, mencari pesugihan, bahkan ada yang mulai menyebutnya nabi palsu.
Dia tampil dengan tingkah agak gila. Dia mengaku tidak tahan melihat kelakuan bumi. Ruwat berupaya bersikap terhadap keadaan masyarakat dan negaranya, yang menurutnya sudah terlalu busuk, bobrok, hancur sehingga tidak mungkin lagi diatasi oleh ilmu, perangkat hukum, revolusi sosial atau apa pun.
Apa yang dilakukan Ruwat lantas mengkhawatirkan orang-orang sekitarnya. Pak Jangkep (Nevi Budianto) harus kembali dari perantauan. Guru dari perguruan entah berantah, Ki Janggan pun terpaksa muncul buat menyadarkan muridnya.
Keanehan ini juga menarik minat Alex Sarpin (Eko Winardi), aktivis dan mahasiswa, untuk nimbrung melihat yang terjadi di rumah Ruwat. Sosok Brah Abadon juga dihadirkan. Dalam cerita ini, Brah Abadon dikabarkan merupakan makhluk langit yang bentuknya tak menentu.
Di atas panggung, sosok Brah Abadon ditampilkan lewat bantuan multimedia. Tampak gambar layar sepasang mata yang terlindungi oleh jubah. Di luar itu yang terdengar hanya suaranya yang dibawakan Sabrang “Noe” Letto.
Tak Menyatu
Kemunculan para personel Letto di atas panggung, seperti Patub, Ari dan Dedhot dengan tambahan Doni adalah para pencair.
Adegan mereka seperti menampilkan diri sendiri, dari pinggir panggung mengomentari tiap sabda yang keluar dari Ruwat yang sering kali berupa dialog-dialog guyonan. Namun, urusan musik yang mereka mainkan di sela-sela fragmen justru tabrakan dengan suasana yang sudah telanjur dibangun.
Toto Radharjo, kontributor gagasan Teater Perdikan bersama Cak Nun, menyebut kehadiran Letto memang disengaja. Ini sebagai upaya Teater Perdikan bereksperimen dalam satu pementasan bersama unsur kesenian yang lebih ngepop.
“Sebenarnya ini juga menjadi refleksi Letto saat industri musik mengalami 'kerusakan' dalam perkembangannya. Itu bisa terlihat dalam dialog para personel di pentas ini,” katanya.
Teater Perdikan sering kali memunculkan dialog kontradiksi. Lewat karakter, kondisi itu juga terlihat. Salah satunya bisa dilihat dari percakapan Alex Sarpin, yang muncul mewakili orang berpendidikan dan Pak Jangkep, yang percaya pada kepatutan.
Hanya saja Alex pada akhirnya malah lebih seperti orang pilon karena candaannya. Lewat naskah ini, Cak Nun ingin menggambarkan bahwa kerusakan dunia tampaknya sudah tidak akan mampu diperbaiki oleh setingkat manusia, yang mutunya sudah tercerai-berai. “Pada intinya kalau Tuhan tidak campur tangan tidak akan bisa. Begitu kira-kira premisnya,” ungkap Toto.
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 10 Maret 2012
No comments:
Post a Comment