-- Nofanolo Zagoto
PENCAHAYAAN seketika dibuat meredup. Puluhan orang berpakaian putih tampak bersimpuh dengan wajah tertunduk. Dari mereka, terdengar isak tangis serta nyanyian dukacita dilantunkan.
Suara-suara itu mengiringi kemunculan empat peti mati. Seorang bertopeng putih lalu berjalan pelan di sekitar tempat dupa berukuran besar yang ada di tengah panggung. Tangannya memegang dua topeng; merah dan hitam.
Sepenggal adegan itulah yang mewarnai produksi Teater Koma ke-126 yang berjudul “Sie Jin Kwie di Negeri Sihir”. Kisah “Sie Jin Kwie” karya Tiokengjian dan Lokoanchung ini kembali dimunculkan untuk melengkapi naskah drama yang sengaja disiapkan dalam bentuk trilogi.
Sekaligus untuk menandai usia Teater Koma ke-35 tahun, Sie Jin Kwie ketiga ini akan dipentaskan selama satu bulan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, 1-31 Maret 2012.
Cerita yang dimainkan kali ini memang melengkapi dua kali pementasan Sie Jin Kwie yang sudah dipertontonkan dalam dua kali pertunjukan sebelumnya. Tahun 2010, pementasan tersebut diberi judul “Sie Jin Kwie”, setahun kemudian, teater yang berdiri semenjak 1 Maret 1977 itu mementaskan judul “Sie Jin Kwie Kena Fitnah”.
Penggambaran adegan di atas sebetulnya melukiskan adegan suasana berkabung atas kematian para petinggi Dinasti Tang, Raja Lisibin, serta tiga jenderalnya, termasuk Sie Jin Kwie yang diperankan oleh Rangga Riantiarno.
Memang pada bagian ketiga pementasan trilogi ini Sie Jin Kwie diceritakan akhirnya meninggal oleh anak panah putranya sendiri, Sietengsan (Ade Firman Hakim).
Naskah yang dimainkan kali ini dimulai dengan cerita saat Sie Jin Kwie memimpin pasukan Tang berperang ke Barat. Pertempuran melawan jenderal utama Sie Lang, Soupotong, menjadi sajian pertama.
Keterbatasan pemain bisa diatasi Nano Riantiarno sebagai sutradara. Pertempuran terwakili dengan adegan penari-penari berpakaian putih yang berlarian membawa awan buatan. Dari situ, Sie Jin Kwie terluka dan sekarat.
Jiwanya melayang ke dunia akherat. Namun oleh dua penjaga buku langit, sang jenderal dikembalikan ke bumi, setelah sebelumnya dia diberi penglihatan masa depan. Di situlah dia mendapati akan meninggal oleh anak panah putranya sendiri, yang dihidupkan kembali oleh Dewa Onggo.
Dikisahkan, cara meninggal Sie Jin Kwie sama seperti ketika Sietengsan terbunuh karena anak panah Sie Jin Kwie, 12 tahun lalu. Sietengsan muncul kembali untuk menyembuhkan luka Sie Jin Kwie. Sietengsan lalu dipercaya menjadi jenderal, membuyarkan kepungan Soupotong. Diceritakan dia memperistri Tousiangtong dan Tankimteng.
Dalam proses membantu Dinasti Tang itulah dia kemudian bertemu dengan Hwanlihoa, putri Jenderal Hwanhong yang merupakan Jenderal Sie Lang, musuh Sie Jin Kwie.
Pada pementasan Sie Jin Kwie kali ini, kisah antara Sietengsan dan Hwanlihoa memang condong menjadi sajian utama. Hwanlihoa memercayai ramalan gurunya, jika dia berjodoh dengan Sietengsan. Hanya saja Sietengsan menolaknya dan menyebut Hwanlihoa perempuan penyihir.
Sietengsan menolak dinikahkan dengan Hwanlihoa satu kali serta dengan sengaja membatalkan pernikahannya dengan Hwanlihoa dua kali, meskipun berkali-kali dia ditolong oleh sihir Hwanlihoa. Akibat ulahnya itu, Sietengsan lima kali dijebloskan ke dalam penjara.
Soal Durasi
Tampak jelas jika problem utama yang dihadapi Nano pada pementasan ini adalah soal durasi. Karena itu, pementasan yang berlangsung sekitar empat jam tersebut bisa dikatakan terbantu oleh permainan Wayang Tavip demi memuluskan jalan cerita.
Bentuk pertunjukan wayang akhirnya berguna untuk memperketat durasi tanpa menghapus tokoh yang erat kaitannya dengan jalan cerita sebab roman ini memang memunculkan seabrek karakter. “Ini juga bagian untuk memunculkan kerelaan penonton demi menonton wayang,” ujar Nano.
Hanya saja, menyimak bagian ketiga roman Sie Jin Kwie ini mereka yang menyaksikan bisa mendapati beberapa adegan yang terkesan antiklimaks.
Salah satunya mungkin bisa dirasakan sesudah adegan kematian Sie Jin Kwie. Soal itu Nano punya alasan. Dia menyebutkan memang sengaja berusaha menarik ulur emosi penonton. “Ini untuk menghindari mereka tidak tegang terus-menerus,” begitu katanya.
Nano juga mengatakan, lewat pertunjukan ini sebetulnya ada beberapa refleksi keadaan bangsa yang bisa ditangkap penonton, di antaranya persoalan adanya dua dalang. Ada dalang yang memainkan wayang di belakang panggung, serta dalang di atas panggung yang diperankan oleh Budi Ros.
“Yang terpenting adanya perubahan dari karakter Raja Lisibin yang bersahabat dengan semua pahlawan-pahlawannya dan sangat adil, kemudian pindah ke tangan anaknya yang tidak punya kapabilitas untuk memutuskan. Saya menganggap itu semua refleksi yang kita alami. Masa kita mau seperti itu? Kan enggak. Mudah-mudahan refleksi itu tertangkap,” ujarnya.
Ada pula yang berbeda juga dengan kostum para pemain Teater Koma. Kostum yang dimunculkan banyak yang bermotif batik peranakan. Ide tersebut terinspirasi dari wayang kulit China-Jawa, Gan Thwan Sing (1885-1966).
Lantaran itu, bersama Teater Koma, dia sempat melakukan riset selama dua bulan demi menyegarkan imajinasi dengan mempelajari motif batik ke beberapa daerah. Riset itu juga memengaruhi bentuk ornamen set panggung yang ada.
Sampai adegan terakhir trilogi ketiga ini, sebenarnya yang dipentaskan baru sampai pada 30 peperangan sampai adegan terakhir. Padahal Nano mengakui sebetulnya tercatat ada 46 peperangan dalam roman itu.
“Ada 16 peperangan sisa yang terbilang sulit untuk dipanggungkan. Jadi saya berhenti pada adegan pernikahan Sietengsan dan Hwanlihoa yang ketiga kali,” paparnya.
Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 1 Maret 2012
No comments:
Post a Comment