-- Aryo Wisanggeni G
SELASA dan Rabu pekan lalu, sentimen Yogyakarta ada di Cikini. Orang-orang asal Yogyakarta, atau mereka yang pernah bersentuhan dengan kota itu, berdesakan mengecap suasana bersahaja yang diusung Laskar Dagelan ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Seniman dan komedian Yogyakarta membawakan cerita berjudul Laskar Dagelan : From Republik Jogja with Love di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (30/3). (Kompas/Totok Wijayanto)
Ada yang menonton From Republik Jogja With Love, menyerbu aneka kuliner ala Kota Gudeg, atau sekadar bertemu teman lama dan bertanya kabar dengan sapaan ”Hire Dab?”
Tanpa pemanasan dan tanpa prolog, penonton From Republik Jogja With Love sudah langsung memasuki suasana penuh tawa. Panggung remang-remang ketika seorang abdi dalem menghentikan sepedanya karena mendengar sayup-sayup rekaman pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.
”Orang Jakarta memang sulit dipahami…,” lirih si abdi dalem yang diperankan pelawak kondang Marwoto itu mengeluh. Ketika separuh penonton tertawa pelan, Marwoto pun menoleh dan menyentak penonton, ”Tabrakan kok dikeploki...” sungutnya sembari pergi meninggalkan panggung. Gelak tawa pun meledak di Graha Bhakti Budaya TIM.
Kelenturan naskah dan dialog membuat Marwoto, ”Den Baguse Ngarso” Susilo Nugroho, Gareng Rakasiwi, Joned, Wisben, dan Yu Ningsih benar-benar mengocok perut penonton dari awal sampai akhir pertunjukan. Guyonan ala ”Jogja”, seperti pelesetan ”sabu-sabu aku sayang ibu, dua-dua sayang bapak” atau ”gawat telepon, gawat listrik”, sampai sindiran buat wakil rakyat yang dianggap lebih lucu dari pelawak lengkap tersaji.
Dagelan itu berhasil diimbangi lima rapper Yogya, Janu, Lukman, Mamok, Balance, dan Kill The DJ, yang menyajikan lagu rap berbahasa Jawa yang jenaka dan kritis. Mulai dari mahasiswa mabuk, hukum yang diskriminatif, tabiat perupa seni kontemporer yang ”asal laku”, sampai soal lumpur Lapindo menjadi tema lagu mereka yang segar, muda, penuh gairah, mewakili anak urban Yogyakarta.
Kendati kerap gagal menahan tawa di atas panggung, ”sinden kosmopolitan” Soimah memerankan Show Imah dengan cemerlang. Ia menunjukkan kepiawaiannya menembangkan gending Jawa, juga ”ngerap” bersama Kill The DJ. Kala menggoda Hanung Bramantyo yang memainkan tokoh ”Sutradara Jakarta”, Soimah fasih memelesetkan refrein lagu ”Umbrella” Rihanna, ”Under my umbrella, ella, ella, ee, ee, ee” menjadi desahan ”payung, payung, eee, aaahhh, aaahhh...”.
Sekilas Laskar Dagelan sekadar memperolok polemik status keistimewaan Yogyakarta dan menampilkan diri sebagai satu-satunya yang istimewa dari tubuh Indonesia. Namun, sejatinya Butet Kartaredjasa, Agus Noor, dan Djaduk Ferianto tengah memanggungkan ”monarki versus demokrasi Jogja” sebagai potongan kecil dari gambar besar sesat pikir penguasa yang memandang Indonesia dan suku-bangsanya sebagai sesuatu yang statis dan selalu bisa ditafsir sepihak.
”Yang luput diperhatikan, ketika orang mempertentangkan monarki Yogya dengan demokrasi, maka orang itu sedang memandang Yogya dengan cara pandangnya sendiri. Ketika orang berbicara tentang keraton, seakan-akan keraton Yogya tidak tumbuh dan berkembang. Padahal, monarki di Yogya adalah monarki yang terus memperbarui diri,” kata penulis cerita From Republik Jogja With Love, Agus Noor.
Macet
Proses itu menjadi macet jika negara memilih jalan pintas membunuh identitas kultural warganya dengan mengatasnamakan ”Indonesia”. ”Secara politik, Indonesia telah selesai menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, di dalam bingkai itu, kan, ada manusia yang terus tumbuh. Kami ingin belajar dari proses menjadi Indonesia. Kali ini kami berbagi tentang Yogya, dan Mei kami akan hadir lagi dengan mementaskan Beta Maluku–Nyanyian dari Timur, diikuti empat pementasan lainnya,” ujar Agus Noor.
Laskar Dagelan tak hanya menebar aroma ”Jogja yang lain” di atas panggung. Mereka juga mengusung pasar kuliner yang menawarkan cita-rasa ”aseli Jogja” yang tidak manis, selain gudeg. Hasilnya, orang Yogyakarta atau mereka yang pernah bersentuhan dengan kota itu tenggelam dalam romantisme pasar kuliner di pelataran belakang TIM itu.
Orang-orang rela mengantre tiga jam demi dua tusuk sate klathak yang asin, oseng-oseng mercon yang pedas, ataupun wedang uwuh yang hangat. Ratusan orang yang tidak kebagian tiket berbaur dengan ratusan orang lain yang usai menonton. Seperti lupa pulang, mereka memilih jagongan dan duduk mengobrol, bernostalgia soal Yogyakarta tempo dulu, bertukar cerita soal teman lama, atau menunggu Mbak Supiah selesai membakar sate klathaknya.
Ketika sebuah layar besar dipasang di dalam pasar kuliner untuk menampilkan secara langsung aksi Marwoto dan kawan-kawan di atas panggung pada Selasa dan Rabu malam, mereka yang bertahan pun larut dalam tawa bersama penonton di dalam gedung. Itu mungkin satu-satunya pertunjukan teater yang disiarkan secara langsung seperti sebuah pertandingan sepak bola.
Yogya dan segala macam ulah orangnya, dan Laskar Dagelan-nya, memang istimewa. Dan Yogyakarta yang istimewa itu hadir untuk menjadi Indonesia, merayakan kemajemukan Indonesia.
Sumber: Kompas, Minggu, 3 April 2011
No comments:
Post a Comment