Monday, November 26, 2007

Sosok: Aswandi Syahri, Mengorek Arsip dan Menulis Sejarah

-- Ferry Santoso

BUKU-BUKU sejarah tertata rapi di kamar Aswandi Syahri (37). Beberapa koleksi naskah penting dan gambar dari sejarah Melayu juga dipajang di dinding kamar dengan pigura kaca. Di lantai kamarnya masih tertumpuk arsip, bekas surat yang terbuang saat perpindahan Kantor Bupati Kepulauan Riau.

Aswandi merasa sayang ketika arsip itu dibuang tanpa diseleksi terlebih dahulu. Oleh karena itu, ia pun berinisiatif mengambil tumpukan arsip tersebut dan mengumpulkannya. Selain arsip, Aswandi juga mengoleksi dan mencari naskah Melayu dan gambar-gambar. Salah satu koleksi gambar yang dipajang di kamarnya adalah Cogan.

"Cogan merupakan simbol dan peralatan kebesaran Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Pahang," kata Aswandi, yang tinggal di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau. Cogan itu pernah dirampas Belanda tahun 1822. Saat ini Cogan disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Cogan ternyata menyimpan banyak cerita. Oleh karena itu, Aswandi pun menulis buku Cogan, Regalia Kerajaan Johor-Riau-Lingga, dan Pahang. Buku itu ditulis dan diterbitkan tahun 2006 melalui kerja sama dengan Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Provinsi Kepulauan Riau.

Untuk menulis buku, memang tidak mudah. Minat terhadap sejarah saja tidak cukup, tetapi harus didukung dengan pengetahuan lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Menggeluti sumber sejarah tentu membutuhkan ketekunan tersendiri.

Bahkan, Aswandi sering kali harus memburu naskah Melayu yang tersimpan di perpustakaan di luar negeri. "Saya juga mencari naskah Melayu di Leiden, Belanda, melalui seorang teman yang belajar di sana," katanya.

Naskah-naskah itu kemudian dikirim ke Tanjung Pinang. Tidak hanya perpustakaan di Leiden, naskah-naskah Melayu juga dicari di perpustakaan Royal Asiatic Society, Inggris, melalui kenalan atau temannya di sana.

Naskah Melayu

Aswandi juga mencari naskah-naskah Melayu yang disimpan di perpustakaan Central Library di Singapura dan National University of Singapore. "Kalau di Singapura, saya pergi dan mencari sendiri," katanya.

Dengan "melahap" naskah-naskah dan buku-buku sejarah, Aswandi memiliki pengetahuan sejarah. Dengan latar belakang itu, ia tidak terlalu sulit menerjemahkan buku yang spektakuler, yaitu In Everlasting Friendship; Letters from Raja Ali Haji ke dalam bahasa Indonesia. Buku itu ditulis seorang sejarawan Jan van der Putten dan diterbitkan tahun 1995.

Buku terjemahan Aswandi diberi judul Dalam Berkekalan Persahabatan; Surat-surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall, dan diterbitkan pada Januari 2007. "Saya mau menerjemahkan buku itu karena buku itu bagus dan penting," kata Aswandi. Pada mulanya, ia langsung saja menerjemahkan buku Jan van der Putten tersebut.

Setelah ingin dicetak, Aswandi baru meminta izin kepada penulisnya, Jan van der Putten. Penulis sempat membahas dan membicarakan buku terjemahan dan rencana penerbitan dalam bahasa Indonesia.

Buku yang diterjemahkan Aswandi itu memuat kumpulan surat-surat Raja Ali Haji, seorang tokoh dan penulis Melayu terkemuka pada abad ke-19. Raja Ali Haji juga menulis dua karya termasyhur, yaitu Gurindam XII dan Tuhfat al-nafis.

Surat-surat Raja Ali Haji yang dirangkum dalam buku Jan van der Putten itu ditujukan kepada Hermann Von de Wall, seorang sarjana kelahiran Jerman dan pegawai Pemerintah Hindia Belanda, pada kurun waktu 1857-1872. Hermann ditugaskan untuk menyusun kamus bahasa Melayu-Belanda.

Menurut Aswandi, Hermann telah mencari berbagai pakar dan ahli sastra Melayu untuk menyusun kamus bahasa Melayu-Belanda. Pada akhirnya, Hermann mengenal Raja Ali Haji dan menjalin hubungan surat-menyurat untuk mendapatkan bahan dan masukan dalam penyusunan kamus Melayu-Belanda.

"Dalam surat-surat Raja Ali Haji itu, terlihat pemikiran-pemikiran Raja Ali Haji yang sederhana dan sangat terbuka," kata Aswandi. Raja Ali Haji yang taat beragama Islam juga cukup akrab dan terbuka dengan budaya Barat.

Selain Raja Ali Haji, lanjut Aswandi, masih ada tokoh Melayu lain yang cukup intensif berhubungan dengan tokoh-tokoh besar di Eropa. Misalnya, Yang Dipertuan Muda Riau VIII, Raja Ali Marhum Kantor yang hidup pada abad ke-19.

Raja Ali Marhum, menurut Aswandi, menjalin hubungan yang sangat akrab dengan Raja Prusia, Frederick William. Hubungan yang akrab itu dapat terlihat dari surat Raja Ali Marhum kepada Raja Frederick. Surat Raja Ali Marhum itu tersimpan di Museum Ethnologische, Jerman.

Dalam surat Raja Ali Marhum pada tahun 1846, Raja Ali Marhum menyampaikan ucapan terima kasih atas kiriman surat dan hadiah dari Raja Frederick William berupa lampu mahkota, bunga, serta kain berlapiskan sutra dan emas.

Raja Frederick mengirimkan hadiah itu karena peran Raja Ali Marhum dalam membantu pembangunan Gereja Kristen dan pekerjaan misi oleh pendeta EH Rottger asal Jerman di Tanjung Pinang. "Lampu mahkota dari Raja Frederick itu sekarang masih tergantung di masjid di Pulau Penyengat," kata Aswandi.

Mengenal sejarah

Dari pendalaman naskah dan buku-buku sejarah Melayu itulah, Aswandi mampu mengenal sejarah Melayu, menerjemahkan buku sejarah dan menulis beberapa buku sejarah yang lebih populer.

Buku-buku tersebut, misalnya, buku Raja Ali Kelana (2006), buku Mak Yong, Teater Tradisional Kabupaten Kepulauan Riau (2005), buku berupa kumpulan tulisan budaya Identitas Budaya, Kepulauan Riau (2005). Masih ada beberapa buku lain yang direncanakan ditulis.

Penulisan buku-buku yang lebih populer itu sangat penting untuk melestarikan naskah dan budaya Melayu. Naskah-naskah Melayu saat ini cenderung ditinggalkan dan hanya menjadi arsip yang tersimpan.

Ketertarikan Aswandi terhadap dunia sejarah, khususnya sejarah Melayu, sudah dialami sejak kecil. Ketika masih duduk di bangku SD kelas III, rumah orangtuanya dimanfaatkan untuk kamar kos.

Beberapa guru sempat tinggal di rumah orangtua Aswandi yang dijadikan tempat kos itu. Saat penghuni kamar kos pindah, banyak buku-buku yang ditinggalkan. Aswandi pun kemudian mulai membacai baca buku-buku yang ditinggalkan, termasuk buku sejarah.

Dari pengalaman masa kecil itulah, minat Aswandi terhadap sejarah, khususnya sejarah Melayu, mulai tumbuh. Bahkan, saat masuk ke perguruan tinggi ia mengambil Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang.

Minat dan ketertarikan terhadap sejarah Melayu tetap melekat pada Aswandi sampai sekarang. Saat ini pun, dari penelitian-penelitian bahan-bahan sejarah, ia juga mampu mengenal dan menemukan tumpukan kerang setinggi 4-5 meter di areal sekitar perkebunan kelapa sawit di kawasan Kawal Darat, Kawal, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

Tumpukan kerang itu diperkirakan merupakan sampah dapur (kjokkenmoddinger) pada masa prasejarah. Dari temuan itu, pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan segera meminta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional untuk menyelidiki temuan tersebut.

"Dari hipotesis sementara ini, kami memperkirakan tumpukan kerang itu merupakan sampah dapur pada masa prasejarah," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan Khazalik.

Penduduk setempat atau masyarakat mengenal bukit itu sebagai benteng "batak" atau bukit kerang. Menurut Aswandi, ia sering membaca literatur terkait dengan tempat yang disebut sebagai benteng batak atau bukit kerang. Namun, pada mulanya ia belum mengetahui bahwa tumpukan kerang di Kawal itu merupakan sampah dapur peninggalan masa prasejarah.

"Pada masa itu, di Pulau Bintan sudah ada kehidupan dan kebudayaan manusia yang hidup pada masa prasejarah. Hal itu tentu bermanfaat untuk promosi wisata," kata Aswandi.

Sumber: Kompas, Senin, 26 November 2007

No comments: