Wednesday, November 28, 2007

Kabaret Captain Does: "Missing Link" Kebudayaan

-- Ardus M Sawega

SULI, gadis centil berbaju merah itu, mengaku kepada ibunya bahwa dia baru saja ke Silir. Untuk mencari pengalaman, katanya. "Silir" yang dibilang Suli adalah lokalisasi pekerja seks komersial di Kota Solo. Kontan ibunya mencak-mencak.

"Eh, alah. Tak kandani, ya, Nduk, dadi prawan ki aja sembarangan. Isa-isa kowe mulih nggembol semangka neng ngarep (Kunasihati, ya, jadi gadis jangan bertingkah sembarangan. Bisa-bisa nanti kamu pulang menggembol semangka di depan)," kata si ibu sambil membentuk bulatan di depan perut. Penonton pun tergelak.

Menyebut "Silir" dan "Pasar Klewer" sekadar berasosiasi dengan penonton setempat. Itu kiat kelompok Kabaret Captain Does dari Suriname saat berpentas di sejumlah kota—Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandar Lampung—dalam rangkaian pertunjukan kelilingnya di Indonesia. Ketika tampil di Gedung Wayang Orang Sriwedari, Solo, Senin (19/11) malam, mereka hanya bermain sekitar 45 menit, tetapi cukup menghibur. Adapun iringan musiknya berupa rekaman compact disk.

Format pertunjukan kelompok kabaret yang dipimpin Salimin Ardjooetomo (55) ini mengingatkan kita pada kesenian ludruk di Jawa Timur. Di situ juga kita temukan tokoh perempuan yang diperankan lelaki (travesty). Gaya komedi yang slapstick, mengandalkan improvisasi, pilihan kalimat yang cenderung hiperbolik, seperti "Tak grosok cangkemmu isa rompal dadi wolu!", tak beda dengan ludruk. Hanya, bahasa Jawa yang digunakan cenderung bahasa Jawa pedalaman, bukan gaya Surabaya.

Walaupun orang Jawa di Suriname umumnya dicitrakan berbahasa Jawa ngoko, pada pentas kabaret ini mereka juga berbahasa Jawa krama-madya (halus-tengahan). Yang agak mengherankan, tatanan bahasa Jawa yang mereka gunakan relatif masih "lengkap", lancar dan teratur, sekalipun ada beberapa istilah yang tidak lagi dikenali di sini. Seperti kata, "lawange disroto", maksudnya pintunya digembok/dikunci. Atau, kata "masalah" yang di sana diartikan sebagai bumbu masak (rempah-rempah).

Adat Jawa

Konsep pertunjukan kabaret model Captain Does ini—berdiri tahun 1992—lebih mengutamakan hiburan musik, adapun cerita hanya "sampiran".

Pemain dituntut mampu bernyanyi, entah itu dangdut, pop-jawa, atau kidungan. Liriknya, kalau bukan soal asmara, ya, kerinduan akan Tanah Jawa. Di sini, tema cerita yang dibawakan mungkin terkesan sangat "usang". Misalnya, mengetengahkan konflik nilai antara kaum tua dan muda, menyangkut adat istiadat seperti yang maunya terus dipegang teguh di kalangan tua di Suriname; tema yang juga sering kita temukan pada kesenian rakyat di Indonesia.

Ini pertama kali kelompok Kabaret Captain Does dari Suriname bermuhibah ke Indonesia. Mereka sengaja unjuk kebolehan di tanah leluhurnya, orang-orang Jawa, atas prakarsa dan biaya sendiri. Kelompok ini cukup populer di sana, terutama di Paramaribo, ibu kota Suriname. "Rata-rata kami bermain sampai dua kali dalam satu pekan," tutur Salimin. "Hanya pada bulan Sura dan Puasa saja kami libur."

Di sana, pertunjukannya bisa mencapai empat jam penuh, sedangkan ceritanya dilakukan secara improvisasi, disesuaikan dengan tema hajatan serta permintaan penanggapnya. Pertunjukan kabaret itu dilengkapi dengan karaoke, melayani permintaan penonton, sedangkan musiknya jenis dangdut, campursari ataupun pop-jawa. Mereka menghibur di hajatan sunatan hingga pernikahan, di tengah komunitas etnik Jawa. Di luar komunitas Jawa, mereka menggunakan bahasa Belanda, bahasa nasional Suriname.

Imbalan yang diterima kelompok yang terdiri atas 12 orang ini antara 300-400 dollar AS. Namun, Salimin menolak kelompoknya disebut profesional. "Ini hanya hobi saja, kok," kata Salimin yang sehari-hari pegawai negeri pada Departemen Sosial dan Perumahan Suriname, begitu pula sebagian pemainnya. Ia juga bekerja sebagai penyiar di Radio Bersama dan stasiun televisi Garuda dengan pengantar bahasa Jawa. "Dalam pergaulan di lingkungan bangsa Jawa, kami menggunakan bahasa Jawa," tutur Salimin.

Kasus kebudayaan

Nenek moyang orang Jawa di Suriname pertama kali datang ke Suriname pada 9 Agustus 1890. Mereka dahulu diculik dan dijual kepada orang Belanda untuk menjadi kuli di pelbagai perkebunan di Suriname (jajahan Belanda), seperti perkebunan kopi, jeruk, tebu, cokelat. Banyak kisah memilukan yang mereka alami, tetapi tinggal sejarah. Kini, suku bangsa Jawa—dengan populasi 74.000 jiwa dari 492.000 penduduk Suriname—menempati posisi-posisi yang strategis, seperti ketua parlemen dan jaksa.

Keberadaan pertunjukan Kabaret Captain Does niscaya merupakan media komunikasi di kalangan mereka untuk mengekalkan eksistensi budaya Jawa di Suriname. Mereka "bangga" dengan kejawaannya. Hebatnya, menurut Salimin, mereka berambisi pada pemilu 2010 di Suriname nanti presidennya dari suku Jawa!

Kedatangan kelompok Kabaret Captain Does di sini ibarat naluri anak yang rindu kepada orangtua yang telah "membuang"-nya. H Sarmoedji, Kolonel Laut (Purn) keturunan Suriname yang mendampingi rombongan mengungkapkan, selama ini Pemerintah Indonesia tak punya perhatian yang memadai terhadap warga keturunan Jawa di Suriname. Perhatian dalam bentuk bimbingan, pembinaan atau fasilitas tertentu, misalnya, menyangkut seni budaya, tak pernah mereka dapatkan dari Pemerintah Indonesia.

Lebih dari soal emosi, kurun waktu 117 tahun, setelah tiga generasi, ternyata telah "membekukan" kebudayaan yang mereka bawa dari Jawa. Suriname menjadi kasus kebudayaan yang unik. Selain bahasa Jawa yang tetap digunakan, mereka juga melestarikan tradisi, adat istiadat, dan pandangan hidup orang Jawa (lama). Semua itu adalah identitas kebudayaan suatu bangsa. Suriname seakan menjadi "missing link" dari kebudayaan Jawa, yang sebagai identitas justru mulai memudar di sana-sini.

Sumber: Kompas, Rabu, 28 November 2007

No comments: