JAKARTA (Media): Rancangan Undang-Undang Bahasa dan Kebahasaan membunuh kreativitas dan inovasi masyarakat dalam bahasa dan berbahasa. Bahasa dan berbahasa adalah fenomena alam. Oleh karena itu, tidak ada seorang manusia pun yang berhak mengatur bahasa dan orang berbahasa.
"Jadi, jangan mengganggu masyarakat dengan undang-undang yang merisaukan," ujar mantan dosen IKIP Jakarta Jos Daniel Parera dalam acara diskusi bahasa di Jakarta Timur, Rabu (31/10).
Ia tidak setuju dengan gagasan membuat Undang-Undang Kebahasaan di Indonesia. "Tidak ada yang berhak mengatur bahasa, apalagi dalam undang-undang," ujarnya.
Menurut Parera, bahasa dan berbahasa merupakan suatu butir hak asasi manusia. Karena, bahasa dan kemampuan berbahasa adalah sesuatu yang terwaris dan merupakan aset yang diperoleh secara turun-temurun. Masyarakat Indonesia telah menerima bahasa Indonesia secara sukarela dan tanpa paksaan. Ia membacakan makalahnya, "Mengapa kesukarelaan ini harus diusik dengan RUU bahasa dan kebahasaan?"
Parera juga mengatakan, Pusat Bahasa sebagai lembaga yang memelopori RUU Bahasa atau kebahasaan harus diperjelas fungsinya. "Masyarakat perlu dapat kejelasan tentang fungsi dan tugas pusat bahasa," lanjutnya.
Parera juga menyorot Pusat Bahasa sebagai institusi. Ia berpendapat, jika Pusat Bahasa masih tetap dipertahankan, tugas-tugasnya harus disusun dan ditegakkan kembali sebagai suatu tugas pemerintah yang mendokumentasi dan meneliti bahasa dan berbahasa yang hidup di Indonesia.
"Hal yang paling luar biasa adalah jika Pusat Bahasa dibubarkan dan dibentuk satu lembaga bahasa yang bersifat independen. Misalnya, Lembaga Bahasa Independen seperti lembaga-lembaga masyarakat lain di masa reformasi ini yang mengurusi kepentingan publik, khususnya aspek bahasa dan keberbahasaan," imbuhnya. (*/H-1)
Sumber: Media Indonesia, Jumat, 2 November 2007
No comments:
Post a Comment