Tuesday, November 06, 2007

Ubud Writers and Readers Festival (1): "Obat" bagi Ubud

-- Indira Permatasari

Sudah 20 tahun Janet De Neefe tinggal di Kawasan Ubud, Bali. Perempuan asal Australia tersebut memutuskan tinggal di daerah yang terkenal dengan keindahan alamnya itu setelah menikah dengan pria asal Bali, I Ketut Suardana. Janet bertemu dengan suaminya saat berlibur ke Ubud. Kini, mereka dikaruniai empat anak.

Kehidupannya yang tenteram dan sesejuk udara Ubud terganggu saat terjadi ledakan bom di Kuta tahun 2002, yang memutus nyawa ratusan turis dan menghancurkan pariwisata Bali. Ubud, tempat Janet bermukim, ikut terguncang.

"Kami ingin Ubud membaik dan tentu harus berbuat sesuatu. Setelah bom di Kuta pernah diselenggarakan Peace Festival. Saya terpikir untuk membawa orang-orang kembali ke Ubud dengan fokus penyembuhan dan understanding. Dengan datangnya kembali orang-orang ke Ubud tentu roda perekonomian dari kegiatan wisata juga ikut bergulir. Jadi, ada banyak manfaat yang dipetik," ujar penggagas dan Direktur Ubud Writers and Readers Festival ini.

Janet yang baru menerbitkan sebuah buku dan mulai sering menghadiri festival para penulis itu lalu terpikir membuat festival penulis dan pembaca. "Saya mempunyai sejumlah teman-teman penulis di Australia. Dengan bantuan sukarelawan dari Bali dan Australia, akhirnya terlaksana Ubud Writers and Readers Festival yang berlangsung pertama kali tahun 2004," ujar Janet, yang dalam pembukaan festival itu tampil cantik berdandan ala perempuan Bali. Kulitnya yang putih berbalut kebaya berbahan brokat. Rambutnya yang pirang dikonde dan bersuntingkan bunga kemboja.

Dalam bahasa Bali, kata obat disebut juga ubad. Konon, dari kata itu kemudian berkembang menjadi Ubud. Kalaulah Ubud Writers and Readers Festival diselenggarakan di desa yang permai dengan hamparan sawah hijaunya itu, tentulah Janet berharap sastra atau dunia penulisan dapat ikut mengobati trauma akibat ledakan bom.

Kini, festival yang telah empat kali berturut-turut dilaksanakan itu juga menjelma menjadi sebuah ruang dialog antarbudaya dengan kepenulisan dan sastra sebagai adonan pengikatnya. "Kami ingin orang menyadari bahwa festival ini terbuka bagi semua orang. Ini festival yang mengakomodasi semua genre penulisan, pembaca, dan pemangku kepentingan di dunia tulis-menulis. Pintu terbuka untuk siapa saja," kata Janet. Dia sendiri telah menulis memoar tentang kehidupannya yang dipadu dengan resep-resep masakan Bali.

Karya tulisan dengan beragam bentuknya menjadi jendela untuk melihat kehidupan yang berbeda peradaban, budaya, kebiasaan, dan kultur. Selama satu pekan penulis dan pembaca dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang dan sejarahnya berbeda bertemu untuk berdialog di Ubud.

Puluhan penulis dari berbagai belahan dunia, seperti pemenang Man Booker Prize tahun 2006, Kiran Desai; pengarang India terkenal, Shashi Tharoor; pengarang Australia yang banyak mendapatkan penghargaan, Richard Flanagan; dan penulis cerita kriminal best-seller, Kathy Reichs, hadir dalam ajang itu. Ada pula pengarang sekaligus jurnalis asal China, Xinran, dan Rana Dasgupta yang dikenal sebagai pembawa cerita dari India. Dari Indonesia akan hadir di antaranya Ahmad Tohari, Anand Krishna, Cok Sawitri, Dorothea Rosa Herliany, Debra Yatim, dan Hamid Basyaib.

Mereka mengisi puluhan sesi diskusi yang tahun ini diikat benang tema Sengkala dan Niskala atau The Seen and The Unseen. "Sekala Niskala" merupakan dua dimensi saling bertalian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia.

Beragam topik


Berbagai topik diskusi disajikan, mulai dari isu seputar dunia sastra, kekerasan, hingga pembicaraan tentang persentuhan antarbudaya. Sastrawan Indonesia, Ahmad Tohari, satu meja dengan penulis asal Amerika, Giannina Braschi, dan Manuka Wijengsinghe dari Sri Lanka berbicara tentang kekerasan. Lain sesi hadir penulis-penulis perempuan dari Asia berbicara tentang karya mereka yang dilatarbelakangi budaya masing-masing bangsa.

Di malam hari, masing-masing peserta didaulat membawakan karya-karyanya, baik penggalan drama maupun puisi untuk dibacakan atau dikemas menjadi pertunjukan yang tersebar di venue-venue berupa kafe dan restoran. Acara pertunjukan berlangsung di tengah berbagai penganan kecil, mulai dari makanan tradisional, pastry ala Barat, sampai dengan gelas-gelas berisi anggur.

Ubud Writers and Readers Festival kemudian menjadi satu tempat pertemuan banyak orang dan ide, sekaligus mengingatkan bahwa mencari kemurnian merupakan sebuah pekerjaan tak pernah usai dan berujung kesia-siaan. Apalagi di tengah globalisasi, saat orang, barang, ide, dan pemikiran bermigrasi sedemikian cepatnya.

Betapa seseorang dapat mempunyai beberapa identitas sekaligus. Penulis yang menjadi bintang tamu, yakni Kiran Desai, misalnya, merupakan seorang penulis yang lahir dan mempunyai masa kanak-kanak di India. Pada usia 14 tahun, Kiran mengikuti ibunya pindah ke Amerika dan menempuh pendidikan di sana.

Akan tetapi, Kiran sampai sekarang tak pernah melepaskan paspor India-nya. "Saya berpikir seperti seorang Amerika karena dibesarkan dan menempuh pendidikan di sana. Namun, jiwa saya tetap seorang India," ujar Kiran yang juga putri penulis Anita Desai.

Kiran sendiri berpendapat, Asia merupakan dunia antara yang berada di antara tradisi lokal dan globalisasi sehingga menjadi sumber cerita yang luar biasa. Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, sesungguhnya merupakan gudang kisah. Banyak hal yang belum diketahui oleh masyarakat di luar Asia. Negara-negara di Asia yang sebagian besar merupakan negara berkembang berubah sangat cepat. Di tengah perubahan tersebut, orang Asia mengalami modernisasi dengan cara berbeda, terutama lantaran pengaruh bangsa Barat dengan peradabannya yang berbeda.

Di antara peradaban, budaya, dan identitas antarbangsa tersebut, sastra dapat menjadi jembatan. Sashi Tharor, penulis India, dalam festival itu sempat berkoar-koar betapa sastra berperan dalam menciptakan pemahaman dan perdamaian.

"Sastra membantu manusia saling mengerti. Konflik kerap muncul dari kesalahpahaman atau ketidakmengertian. Dalam ketidakmengertian itu kadang terdapat situasi di mana orang dari budaya atau peradaban tertentu merasa orang lain sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan dengan mereka," ujar Sashi yang sempat menjadi calon dari India untuk posisi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2006.

Sastra dengan berbagai cara kreatif mampu mendeskripsikan kehidupan dan jiwa manusia dari budaya, negara, atau peradaban lain. Sastra juga bisa menunjukkan, dalam diri manusia pada dasarnya terdapat persamaan sifat kemanusiaan yang fundamental.

Sebetulnya, dalam kesempatan ini pula, para penggemar sastra Indonesia dan dunia dapat ikut melongok ke jendela peradaban dunia, baik lewat karya maupun berdialog dengan para penulisnya langsung.

Sayangnya, tidak tampak hadir banyak penulis atau penggemar sastra dari Indonesia di luar para pembicara yang memang sengaja diundang. Sebagian merupakan peserta asing dengan berbagai latar belakang, seperti guru, murid, pengusaha, bahkan turis yang sedang berada di Bali.

Tentu saja Janet berharap ruang yang digagasnya tersebut kelak semakin ramai dihadiri para penulis lokal untuk ikut berdialog sehingga festival itu tidak menjadi sekadar agenda wisata atau ruang hampa....

Sumber: Kompas, Selasa, 06 November 2007

No comments: