Saturday, November 03, 2007

Khazanah: Membaca Afrizal dan Tisna

-- Arip Senjaya*

PADA umumnya kita yang hidup hari ini mengalami dua proses pembentukan identitas yang sekurang-kurangnya disebabkan oleh dua masa peralihan yang dilaluinya: masa di perkampungan dan masa di perkotaan.

Hal ini tampak sekali dalam banyak puisi para penyair kita. Kota dapat dipersepsi oleh pengalaman kampung, dan kampung dapat dipersepsi oleh pengalaman kota. Begitu kota didirikan dan menyisir kampung-kampung, para penyair dari kampung pun menyambutnya dengan--pada umumnya, kalau tidak salah--dengan cara pandang yang menampakkan diri berasal dari kampung.

Kosakata dari wilayah mal dan kafe pun masuk ke dalam sajak-sajak, dan dapat berjarak bila disambut dengan perlakuan istimewa. Akan lain kiranya apabila kota dibicarakan oleh penyair yang memang sejak kecil terbiasa berada di wilayah kota, sangat mungkin kota adalah dirinya sendiri: mobil dan kereta adalah kakinya, polusi udara adalah napasnya, mal dan kafe adalah halaman bermainnya.

Afrizal Malna adalah salah seorang dari mereka yang sejak kecil terbiasa mengalami kota. Maka, tidak heran alam kebendaan kota-kota pun menjadi bagian yang amat dekat dengan dirinya, dan tidak istimewa. Afrizal menempatkan dirinya sejajar dengan sikat gigi, wastafel, toilet, bioskop, tangga yang berjalan, dan segala benda lainnya.

Jarak itu kemudian jadi terasa ada ketika Afrizal membicarakan kampung, dan baru tahu kampung dari kepingan-kepingan pengalaman yang agaknya masihlah singkat dialaminya.

Kini ia tinggal di Desa Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Dan, pada malam tanggal 25 September 2007, sebuah kelompok teater asal Banten mengundangnya untuk menonton dan memberi komentar atas pentas ”Bicaralah Tanah: Kisah Pemberontakan Petani Banten”. Ia pun bicara dengan terbata-bata seakan penyair kampung yang baru pertama kali main ke kota dan diminta bicara kota dari kearifan kota itu sendiri.

Namun Afrizal pintar, dia tidak mau membicarakan hal-hal yang tidak diketahui dirinya dengan baik sebaik ia mengetahui kota. Ia pun, sebagaimana dalam banyak pembicaraannya, kembali menyoal tubuh. Teater yang disutradarai Nandang Aradea itu, menurut Afrizal, adalah teater yang berada dalam ”realisme yang cacat”, karena tubuh yang dikembangkan di atas panggung adalah tubuh yang dibetot-betot identitas.

Sayangnya, identitas yang dimaksudkan Afrizal ternyata amat terbatas, yakni dalam batasan pengalamannya mengenal identitas petani di Tangerang dan di Nitiprayan. Di Banten, ia mengaku pernah melihat upacara masyarakat yang menganut Sunda Wiwitan yang puitis dan karena puitisnya itulah Afrizal menyayangkan Nandang yang menggarap "teater petani" dengan tubuh yang keras seperti sikapnya menyayangkan pemerintah yang tidak menganggap Sunda Wiwitan. Pengalamannya melihat petani yang puitis makin dikentalkan setelah ia tinggal di Nitiprayan. Ada petani yang pernah memberinya hadiah segenggam padi.

Pengalamannya bertemu petani di dua peristiwa puitik itulah yang membuatnya terbata-bata ketika melihat petani disajikan Teater Studio Indonesia dalam bentuk yang keras. Karena petani, bagi dia, "harus" seperti petani yang dijumpainya. Ia mengatakan garapan yang diproduseri Agus Faisal Karim dan Bagus Bageni itu amat steorotip.

Kegagapannya pun makin kentara. Pada satu sisi, Afrizal mengatakan petani itu (di Tangerang dan Nitiprayan) tidaklah garang, tetapi di sisi lain ia mengatakan cara hidup petani di panggung TSI itu steorotip. Istilah steorotip ini tidak jelas mengacu pada pengalamannya yang mana.

Tentu saja memersepsi petani tidak bisa dilakukan dengan sedikit pengalaman saja. Ia tidak mengatakan bahwa mungkin saja garapan sutradara yang pernah beberapa tahun tinggal di Rusia itu mengacu pada steorotip debus (seni tradisi Banten) yang selalu tampil mencekam dan keras. Maka, dalam pandangan saya, tidak hanya garapan Nandang yang dalam istilah Afrizal realisme-yang-cacat itu, tetapi juga Afrizal sendiri yang membiarkan dirinya terbetot-betot oleh pengalamannya bersama petani yang tanpa disadarinya pula membentuk identitas baru pada tubuhnya.

Pentas teater hasil kerja sama dengan HIVOS di lapangan sawah milik Rumah Sawah Pak Ong itu juga dikomentari oleh Tisna Sanjaya, Tony Broer, Pak Ong, dan beberapa perupa serta para pelaku teater yang di antaranya dari Teater Garasi.

Menurut saya, Tisna juga tidak siap menerima kenyataan panggung yang keras seperti yang Nandang tawarkan. "Saya membayangkan mereka (para aktor petani itu) tidak tergesa menjadi aktor," katanya. Cara Tisna mengeksekusi identitas itu kemudian terlihat pada ceritanya tentang pengalamannya sendiri di Cigondewah Bandung, dulu, sebelum arsitektur kota itu tergesa berdiri: Cigondewah adalah wilayah yang bening sungainya, bersih udaranya. Bila pagi datang, embun bisa membasahi kertas yang dibentangkan (mungkin kertas anak-anak sekolah ketika Tisna kecil). Atau, cara pandang itu dipengaruhi oleh karya-karya instalasinya yang biasanya menawarkan slogan "pohon tidak tumbuh tergesa".

Dengan kata lain, cara pandang Tisna terhadap Nandang hampir mirip dengan cara pandang Afrizal. Bedanya, Tisna bertemu alam petani di masa lalu, Afrizal bertemu alam petani itu di masa kini.

Tentang Mayerhold

Dalam selebaran yang dibagikan Nandang menerangkan bahwa pentasnya ini memakai pendekatan acting Mayerhold yang dikenal dengan istilah biomekanik. Salah satu alasannya memilih pendekatan tersebut, menurut Nandang, untuk membuat jarak dengan penonton. Hal ini mengingatkan saya pada apa yang diperjuangkan oleh Bertolt Brecht. Jadi, titik tekan Nandang bukan pada biomekanik sebenarnya, tetapi pada usaha mengasingkan (dalam istilah Brecht, verffremd?ng).

Dengan metode itu, saya dapat menebak bahwa Nandang tidak berhasrat untuk mengilusi penonton sebagaimana dalam pentas-pentas realisme Stanislavskian. Maka, pada dasarnya pentas ini telah berhasil mengasingkan penonton semacam Afrizal dan Tisna yang selama ini mengalami alam petani dalam suasana puitis, atau yang merindukan petani dalam realisme yang mengilusi.

Pentas yang dibantu oleh Kedai Kebun Forum ini memang menyisakan beberapa perbincangan tentang Mayerhold. Tampaknya ide-ide Mayerhold bisa menggoda beberapa kelompok teater lainnya, tidak hanya TSI, di zaman hiruk-pikuk modernisme-mekanis ini. Karena salah satu cita-cita Mayerhold dalam biomekanik adalah bagaimana mengembalikan tubuh manusia yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari gerak zaman mesin-modernisme-industri itu menjadi benda-benda mekanis yang hidup kembali. Dan, kalau itu intinya, biomekanik yang lahir dari zaman industri itu tidak hanya dapat berlaku untuk protes pada modernisme yang memekaniskan manusia, tetapi juga pada segala apa yang sempat memekanikkan manusia, termasuk petani dalam perspektif puitisme yang tetap dalam identitas baru Afrizal dan identitas lama Tisna.***

* Arip Senjaya, Dosen FKIP Untirta Banten

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 3 November 2007

No comments: