-- Amien Wangsitalaja*
POLEMIK tentang 'sastra kelamin' (dalam tanda kutip) sebetulnya sudah mengemuka pada awal era 2000-an. Namun, polemik tersebut sekarang mengemuka lagi. Polemik di media cetak setidaknya tersaji di dua media cetak nasional, Republika dan Jawa Pos. Rerata polemik mengaitkannya dengan persoalan moralitas versus kebebasan kreatif dan kemudian ada yang menggiringnya ke persoalan agama.
Mungkinkah ada sisi lain dari fenomena gelontoran karya-karya sastra yang mengusung wacana kebebasan dengan modus operandi berupa eksplorasi tema seks tersebut? Ataukah jangan-jangan yang terjadi sebetulnya bukanlah pertarungan segi moral (ideologi spiritual), tetapi pertarungan segi lain yang kental berkaitan dengan persoalan suprastruktural (ideologi material)?
Saya tiba-tiba teringat kepada sebuah acara jumpa pengarang dan diskusi buku Fira Basuki di kafe Soda Longue, Yogyakarta, awal 2004 lalu. Yang menarik adalah pernyataan Fira Basuki yang kira-kira berbunyi, "Orang boleh pilih pizza atau gado-gado. Saya menyajikan pizza, jika Anda tetap memilih gado-gado itu terserah."
Komentar itu mengandaikan adanya sebuah ideologi kelas atau politik identitas yang sedang diusung oleh Fira. Fira mengklaim bahwa ia adalah penyaji pizza sementara yang lain sematalah penyaji gado-gado, bahwa novel-novelnya (juga novel-novel lain sejenis) berkelas pizza sementara karya sastra lain berkelas gado-gado.
Jika diandaikan Fira dapat mewakili kalangan wanita penulis yang suka bereksperimen dengan 'kelamin' di dalam karyanya, maka kita tidak bisa menganggap fenomena sastra wanita yang mengekspose imaji seks sebagai sekadar sebuah fenomena di dalam keuniversalan sastra atau kebebasan berkarya. Kita harus mampu membaca fenomena sastra yang mengutak-atik 'kelamin' sebagai sebuah gerakan kelas dan politik identitas.
Identitas yang hendak diangkat oleh mereka adalah identitas kelas the have borjuasi kota dengan budaya materialisme seksualnya. Aroganisme kelas tertampakkan dari bahasa Fira yang menamakan sastranya sebagai 'pizza'. Politik identitas itu muncul dari implikasi pernyataan bahwa Fira tetap akan menyajikan 'pizza' meskipun Anda masih tergolong di dalam kelas penyuka 'gado-gado'.
Kehadiran 'sastra pizza' (sebutlah demikian untuk menyebut sastra para wanita kelas borjuasi ini) menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah kontestasi kuasa di dalam medan komunikasi sastra kita. Di dalam kontestasi ini, oleh dukungan kapitalisme media, kaum 'sastra pizza' yang mula-mula merumuskan dirinya sebagai the other, kemudian justru menjadi dominan. Dengan didukung kekuatan kapital yang besar dan simbiose mutualisme dengan industri media massa itu, 'sastra pizza' hendak menghegemonikan 'ideologi estetika kelas' mereka. Inilah politik identitas.
Karena itulah, saya menganggap wajar jika kemudian muncul beberapa pendapat yang mengusulkan untuk 'melawan' materialisme seksual dari 'sastra pizza' itu. Sebuah kewajaran bahkan mungkin keharusan jika kesadaran kelas dilawan dengan kesadaran kelas, politik identitas dihadapi dengan politik identitas. Jika kelas 'sastra pizza' telah melakukan gerakan missie demi menjadi hegemonik, kelas 'sastra gado-gado' terpancing untuk berkhotbah menyelamatkan intelektualitas bangsa dari gerogotan ide-ide materialisme seksual.
Saya termasuk yang tidak mudah percaya bahwa yang hendak diperjuangkan oleh 'sastra pizza' itu adalah semangat feminisme dalam arti penyelamatan harkat dan derajat perempuan di depan laki-laki. Saya lebih merasakan bahwa 'sastra pizza' sekadar berdagang feminisme dan kebebasan berekspresi, menggunakan isu-isu feminisme dan kebebasan berekspresi untuk capaian-capaian material.
Jadi, menurut saya politik identitas yang mereka usung bukanlah feminisme melainkan materialisme. Ide-ide yang hendak mereka usung adalah ide-ide kapitalisme-borjuasi dengan filsafat moral yang nihilistik.
Saya seperasaan dengan mereka yang berpendapat bahwa kesemarakan vulgarisme dalam 'sastra pizza' itu justru kian memosisikan kaum wanita sebagai komunitas (atau obyek) yang dilecehkan. Dalam 'sastra pizza' itu wanita 'ditelanjangi' untuk sekedar mendemonstrasikan betapa kaum (penulis) wanita berkuasa atas makna diskursif tubuhnya sendiri. Jangan-jangan nanti kaum laki-laki justru akan menganggap bahwa wanita hanya lihai mengeksplorasi ketubuhan semata. Jangan-jangan pula nanti penulis wanita hanya dianggap mampu mengeksplorasi tubuh teks tanpa pernah bisa menggali kedewasaan dan spiritualitas dari jiwa teks.
Tentu saja, jika kaum proletar 'sastra gado-gado' hendak melawan kaum borjuasi 'sastra pizza', mereka memerlukan kesabaran, ketabahan, dan kekerjakerasan karena 'sastra pizza' ini dimotori oleh kaum wanita dari kelas borjuasi dengan dukungan penuh dari kekuatan modal dan industri media. Selain itu, mereka telah menembak langsung ke jantung selera pasar karena ideologi mereka memang kapitalisme.
Sastra serius selalu saja gelagapan ketika harus terlibat di dalam pertarungan pasar. Namun, bukan berarti bahwa sastra serius sama sekali tidak bisa bertahan menghadapi gelontoran sastra pop-snob. Hal inilah yang memunculkan pemikiran bahwa semangat proletar kaum 'gado-gado' bisa selalu digelorakan untuk menghadapi penjajahan dan hegemoni wacana yang dilakukan oleh kelas borjuasi kaum 'pizza'.
Hanya saja, kritik saya pada mereka yang memerangi sastra snob tersebut adalah mereka terkadang berhenti hanya sebatas menghujat saja. Bagaimana pun, kaum borjuasi pengusung 'sastra pizza' tersebut patut diakui memiliki kelebihan dalam hal produktivitas berkarya. Mereka juga memiliki tingkat eksplorasi estetika yang menggemaskan. Dengan demikian, menandingi mereka adalah bukan dengan menghujatnya.
Perang wacana sudah tidak produktif lagi dilakukan. Berhentilah saling menghujat. Biarlah semua pihak bekerja dan bergerak. Lawan kerja dengan kerja, lawan gerakan dengan gerakan. Gelontorkan karya-karya yang sebisa mungkin lebih menggemaskan dan bermutu dibandingkan dengan karya-karya kelas borjuasi tersebut dan luaskan penyampaian karya-karya kaum proletar sampai ke desa-desa. Barangkali karya-karya penulis borjuasi itu sedang berjaya di kota-kota kita, tapi belum tentu ia sudah merambah ke desa-desa, karena itu desa-desa harus disupport dengan karya-karya nonpenulis borjuasi. Insyaallah, desa akan mengepung kota.
Model gerakan Forum Lingkar Pena (FLP) cukup pas. FLP bisa memiliki organ-organ yang menjangkau sampai ke desa-desa bahkan pedalaman. Hanya saja, diperlukan gerakan serupa dengan perangkat dan modus operandi yang berbeda, komunitas dengan semangat serupa tapi mengusung karya universal yang tidak hanya membidik segolongan spesifik pembaca dan tidak berparadigma hitam putih dalam mendedah persoalan. Hayo, siapa berani bekerja siapa berani bergerak? Siapa berani tak hanya saling menghujat sahaja? Berdoalah!n
* Amien Wangsitalaja, Penyair dan peneliti sastra
Sumber: Republika, Selasa, 18 November 2007
No comments:
Post a Comment