Saturday, November 03, 2007

Sastra: Pengarang dan Keberbagaian

-- Gus Tf Sakai*

Dalam sebuah puisi panjang berisi kekaguman akan Alexander Agung, penyair Horace (65 SM) menulis satu bagian khusus berisi kekaguman Alexander Agung akan Diogenes, seorang filsuf sezaman yang hidup sangat sederhana. Begitu sederhananya, sang filsuf tinggal dalam sebuah tong dan tak punya apa pun selain sepotong mantel, tongkat, dan kantong roti.

Melalui Alexander sebagai aku-lirik, bait terakhir bagian itu menggambarkan kematian Diogenes yang indah (sejenak kita ragu: Alexander mati muda, tidakkah Diogenes meninggal lebih kemudian dari Alexander?) sekaligus menyingkap sebuah rahasia: selain mantel, tongkat, dan kantong roti, di dalam saku di balik mantel itu ada sebuah kitab/larik-larik puisi.

Puisi kekaguman (Alexander) di atas kekaguman (Horace) itu tak menginformasikan banyak fakta (dan memang, puisi tak perlu berurusan dengan informasi dan fakta).

Akan tetapi, dari banyak literatur kita tahu, Diogenes adalah filsuf paling terkenal di kalangan Kaum Sinis. Ia adalah murid Antisthenes (400 SM) yang pernah menjadi murid Socrates karena sangat tertarik pada kesederhanaan filsuf besar itu.

Diceritakan, suatu hari Socrates berdiri termangu di depan sebuah toko yang menjual bermacam barang. Saat seseorang bertanya kenapa ia termangu, filsuf yang tak pernah menulis satu kalimat pun itu berkata, "Betapa banyak benda yang tak kuperlukan." Konon, peristiwa inilah yang kemudian mendasari pemikiran aliran filsafat Kaum Sinis.

Apa yang menarik di sini, bukanlah pentingnya puisi, melainkan kenyataan bahwa puisi—bagi Diogenes—kiranya mampu menampung "hal-hal di luar" mantel, tongkat, dan kantong roti. Dan apa sesungguhnya "hal-hal di luar" itu tentu saja adalah dunia dengan keberbagaian. Pertanyaan melenceng yang tiba-tiba nongol: mampukah puisi menampung keberbagaian jika ia ditulis dalam ketentuan, pola baku, yang seragam?

Pertanyaan tolol

Pertanyaan melenceng di atas, boleh dikatakan, adalah pertanyaan tolol. Bukan hanya karena puisi (apa pun karya seni) merupakan dunia kreasi yang meniscayakan kebedaan, tetapi terutama karena pertanyaan itu sebenarnya adalah wacana teks lain yang berkenaan dengan etnis, kultur, agama, ideologi, dan lain-lain teks yang berkecenderungan untuk mengeras pada dirinya. Atau, apakah kita memang ingin mereduksi teks puisi (karya seni) sedemikian rupa, lalu menggunakan atau mengalihkannya pada teks yang di masa Orde Baru kita kenal sebagai SARA?

Tentu ini dugaan buruk dan mudah-mudahan keliru. Semoga asumsi ini timbul hanya karena keberbagaian itu hari-hari ini menunjukkan wajah yang hegemonik, sarat kecurigaan, prasangka, bahkan kebencian, sehingga tak hanya jadi urusan (perhatian dan keprihatinan) kaum pluralis. Begitu pula segala hujatan, pernyataan (deklarasi, memo, atau apa pun namanya), tentulah tak berkaitan dengan keyakinan akan adanya semacam kebenaran; karena urusan puisi (karya seni) memang bukan merumuskan kebenaran.

Kembali, saya ingin mengatakan apa yang dalam ruangan ini ("Humaniora-Teroka" Kompas, 9 Desember 2006) pernah saya utarakan: teks sastra sangat berbeda dari teks lain. Bila segenap perangkat pada teks lain bekerja dalam kerangka acuan menjadi ada, segenap perangkat pada teks sastra justru bekerja dalam kerangka acuan "menjadi tak ada". Bila teks lain ujung- ujungnya selalu merumuskan kebenaran, sebaliknya teks sastra ujung-ujungnya selalu menghancurkan kebenaran.

Sungguh, bagi seorang pengarang, tak ada pertanyaan paling relevan kecuali: masih perlukah dirinya mencipta bila semua telah ada dan kebenaran sudah dirumuskan?

Kelenyapanlah yang membuat puisi bisa bertahan karena hanya dengan lenyap ia jadi tak temporal; lahir dan lahir terus dalam diri pembaca. Satu-satunya keunikan teks sastra memang adalah makna yang bukan ditentukan oleh dirinya, melainkan oleh pembaca, yang pada ruang-waktu tertentu berhadapan dengannya.

Dengan cara inilah teks sastra menemukan kesejatian; untuk tak menyebut keabadian. Dalam teks sastra, jika sesuatu menjadi ada, jika semacam kebenaran mulai menjelma, maka saat itu pula ia harus hancur-hilang bila tak ingin "membunuh" pembacanya. Pembaca yang terbunuh tentu saja adalah kesia-siaan bagi sastra. Karena kematian pembaca pada gilirannya tentu pula adalah kematian bagi teks sastra.

Segera tampak betapa pentingnya pembaca; dan sebab itu berposisi sebagai subyek. Dan nyata pula, pendapat Agus S Malma ("Bukan Pembaca, Tekslah yang Penting", Kompas, 6 Januari 2007) yang menanggapi tulisan saya. Dan si subyek, sang pembaca ini, adalah manusia dengan keberlainan. Sifat personal yang selama ini kita kenakan pada karya seni, kiranya, tak terutama berkaitan dengan teks seni ataupun sang pencipta karya seni, melainkan pada kenyataan si pembaca atau si penikmat yang tak hanya berlainan dan beragam, tetapi juga hidup pada ruang (tempat, kultur) dan waktu (masa, zaman) berbeda.

Kembali ke "hal-hal di luar" mantel, tongkat, dan kantong rotinya Diogenes, menjadi tampak pula "kesederhanaan" hidup filsuf Kaum Sinis tak tepat dikatakan sederhana. Mungkin mereka memang sinis akan keinginan (nafsu) berlebihan manusia pada benda-benda, tetapi kesadaran akan adanya keberbagaian (yang ditampung puisi) tidakkah menunjukkan bahwa Diogenes sebenarnya seorang yang kaya?

Depersonalisasi

Bila sifat personal teks sastra ternyata berkenaan dengan pembaca atau penikmat teks sastra, lalu, sifat bagaimanakah sesungguhnya yang berkenaan dengan si pengarang atau pencipta teks sastra? Jawabannya tak lain tak bukan: depersonal.

Setiap kali pencipta teks sastra berada dalam proses mencipta, sang pencipta hadir hanya buat menulis, sementara yang muncul adalah tokoh-tokoh (karakter) dengan kosmologinya masing-masing. Tak heran, tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam proses mengarang, Foucoult menyebut "adalah persoalan menciptakan ruang untuk tempat subyek, di mana subyek yang mengarang terus-menerus melenyapkan diri." Subyek yang disebut Foucoult tentu saja cuma kata ganti; bukan subyek seperti yang tengah kita perbincangkan.

Dengan demikian, seorang pengarang atau pencipta teks sastra selalu mengalami depersonalisasi. Setiap kali selalu lenyap, lenyap, dan lenyap, menjelma jadi yang lain. Maka, sungguh ganjil (baiklah, kita perlembut kata tolol) bila para pengarang ini ikut-ikut bertanya atau bersoal tentang keberbagaian.

Maka, ketika suatu kali seorang pluralis dengan mata berbinar—bahagia—kagum bercerita kepada saya tentang Keseme Ole Parsapaet, saya hanya tersenyum. Keseme adalah gembala ternak Kenya dari suku Maasai yang terpilih sebagai model untuk kampanye perang terhadap AIDS dan tampil bareng dengan supermodel Brasil, Gisele Bundchen (yang pendapatannya mencapai 17 juta dollar AS setahun), lalu tampil pula untuk sampul majalah model ternama, Vogue. Akan tetapi, Keseme kemudian berkata bahwa memiliki kambing dan lembu lebih penting daripada menjadi model. Mendengar kekaguman sang pluralis tadi, sekali lagi, saya hanya tersenyum dan bilang, "Tetapi, saya pengarang."

Ya, ketika kaum pluralis dengan jengkel dan kesal berkata bahwa damai sejak entah kapan ada dalam keberbagaian dalam wujud kata shanti, sadhu, sancai, shalom, shlama ataupun salam, saya hanya bilang, "Tapi saya seniman."

* Gus Tf Sakai, Kolektor dan Pekerja Prosa, Tinggal di Payakumbuh, Sumatera Barat

Sumber: Kompas, Sabtu, 3 November 2007

No comments: