-- Indira Permanasari
Seorang gadis bernama Han sungguh bernasib malang. Sejak usia empat tahun dia dijual menjadi budak di rumah keluarga Wu. Han tumbuh besar di rumah tersebut sampai kemudian jatuh cinta kepada putra sang empunya rumah.
Perasaan yang sebetulnya wajar tersebut ketika terjadi pada Han justru menimbulkan rentetan permasalahan. Keadaan sosial tidak memungkinkan itu diwujudkan. Selebihnya, kisah berjudul The Bondmaid yang ditulis oleh Catherine Lim, penulis yang berdomisili di Singapura, itu berkisah tentang pergulatan Han, sebagai seorang perempuan berhadapan dengan tradisi dan persoalan strata sosial. Cerita itu berseting di Singapura tahun 1950. Kisahnya, juga diwarnai detail-detail kehidupan dan tradisi Tionghoa sehari-hari di era itu.
Si penulis turut hadir sebagai pembicara dalam perhelatan Ubud Writers and Readers Festival 2007 yang berlangsung di Ubud, Bali, akhir September lalu. Di ajang itu, sekitar 80 penulis dari belasan negara tampil sebagai pembicara.
Catherine merupakan salah satu penulis di Asia yang ikut meramaikan dunia kepenulisan dengan mengangkat tema tradisi. Penulis kelahiran Malaysia yang kini bermukim di Singapura tersebut menulis cerita pendek, novel dan nonfiksi.
"Tema tradisi lokal termasuk tema yang sangat saya sukai. Saya terutama ingin melihat betapa tradisi terkadang membuat kehidupan perempuan menjadi lebih berat dan kerap menguntungkan lelaki. Saya sendiri berprinsip jangan menulis yang tidak kita ketahui. Lebih baik menulis hal yang kita ketahui meskipun itu hanya hal-hal kecil sehingga bisa ikut mewarnai," ujar Catherine. Perempuan setengah baya tersebut pemegang gelar PhD di bidang linguistik dan telah 15 tahun menekuni profesi sebagai penulis penuh waktu.
Catherine menulis dengan warna kuat kultur lokal. Namun, tema yang diangkat pada dasarnya ialah pergulatan-pergulatan universal. "Perempuan di benua lain yang membaca cerita saya akan memahami pergulatan Han dan emosinya sebagai perempuan, walaupun barangkali mereka tidak memahami sepenuhnya detail kultur atau bahasa yang menjadi latar belakang," kata penggemar buku psikologi, seni, dan sastra itu.
Budaya lokal
Pilihan untuk menulis sesuatu yang dekat dengan budaya lokal itu pula yang kemudian dipilih penulis asal Bali, Cok Sawitri. Dengan penelitian selama sepuluh tahun terhadap naskah dan lontar-lontar tua lahirlah novel Janda dari Jirah. Novel yang konon mengingatkan orang pada kisah Calon Arang itu berdasarkan suatu peristiwa sejarah pada masa kejayaan Kerajaan Kadiri (Jawa Timur). Sejarah yang melibatkan Calon Arang dan perannya dalam pecahnya kerajaan tersebut.
Kisah berpusat pada seorang perempuan, Ibu Ratna Manggali atau Rangda ing Jirah (Janda dari Jirah), pemimpin kabikuan Jirah yang kekuasaannya dan penyebaran ajarannya meluas sehingga sangat berpengaruh.
"Penting untuk disadari bahwa yang mampu bertanding di tataran dunia itu justru inspirasi dengan karakter lokal kuat. Secara rasa bahasa, kalau orang Indonesia yang menuliskannya tentu lebih kena dan tidak bias dengan kepentingan orang luar. Ini kesempatan menciptakan wacana yang berimbang di tataran dunia, terutama bila berhadapan dengan tradisi sastra barat. Kalau berbicara tentang kehidupan urban, sepertinya sangat sulit bertanding dengan tradisi sastra di Barat yang sudah lebih dahulu mengalaminya," ujar Cok ketika ditemui dalam festival serupa.
Penulis yang bermukim di Lampung, Isbedy Stiawan, mempunyai pengalaman serupa. Kultur lokal Lampung menjadi sumber bagi kisah-kisah yang dituliskannya. Isbedy sebetulnya berdarah Bengkulu dan Cirebon. Namun, sejak kanak-kanak dia tinggal di Lampung hingga sekarang.
"Hubungan saya dengan sosial dan budaya Lampung sangat kental. Ketika putri pertama saya dinikahi lelaki bersuku asli Lampung dari pesisir, saya mencoba kembali mengakrabi suasana pedesaan beserta budaya dan adat istiadatnya. Beberapa karya yang dipengaruhi suasana pedesaan Krui itu antara lain cerita pendek berjudul Batu-Batu Itu Tak Terbang ke Langit," ujarnya.
Kaya cerita
Sebetulnya sudah ada segelintir penulis dari Asia bermunculan di panggung internasional. Untuk sekadar menyebut nama, ada penulis novel kontroversial The Satanic Verses, Salman Rusdhie; Arundhati Roy dengan karyanya, The God of Small Things; Rabindranath Tagore; dan Kenzaburo Oe dari Jepang yang memenangi Nobel Sastra tahun 1994. Di Indonesia, ada Ahmad Tohari yang karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk, telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan Pramoedya Ananta Toer dengan tetralogi Pulau Buru.
Akan tetapi, Catherine Lim berpandangan memang masih sedikit perhatian yang ditujukan pada dunia sastra di Asia. "Perekonomian dan politik di Asia yang justru sepertinya menjadi perhatian dunia," ujarnya.
Padahal, bangsa-bangsa di Benua Asia yang sebetulnya mempunyai sejarah panjang menyimpan banyak cerita. Persoalan kurangnya perhatian terhadap sastra di belahan Asia antara lain disebabkan oleh masih minimnya karya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa asing atau di luar bahasa penulisnya.
Di samping itu, dia berpandangan, dibutuhkan aktivitas pendukung untuk mengenalkan karya sastra. "Mengangkat karya sastra ke layar lebar juga dapat menjadi alternatif," katanya.
Penulis dari India yang mendapat penghargaan The Man of Booker Prize berkat karyanya The Inheritance of Loss, Kiran Desai, mengatakan, penulis di Asia masih membutuhkan banyak akses untuk dapat muncul di dalam percaturan sastra internasional.
"Agar dikenal di dunia internasional, tidak cukup hanya dengan memajang dan menjual buku di rak-rak toko buku di bandara. Saat ini dunia literasi masih dikuasai tradisi Barat. Persoalannya memang kesulitan akses dan salah satunya karena bahasa," ujar Kiran yang menempuh pendidikan di Amerika dan kini bermukim di sana.
Kiran lalu menceritakan, di India buku yang diterbitkan secara internasional ialah buku- buku dalam bahasa Inggris. Buku-buku itu kemudian mendapat ulasan oleh media-media yang biasanya juga media asing. "Penulis berbahasa Inggris itu terbiasa membaca buku berbahasa Inggris sehingga secara psikologi dan emosional strukturnya dipengaruhi oleh bacaan tersebut," katanya.
Akan tetapi, buku yang ditulis dalam bahasa India mempunyai permasalahan serupa. "Ini memang tidak adil," kata Kiran. Festival seperti Ubud Writers and Readers dapat mendorong para penulis untuk bertemu dan mendialogkan apa yang dapat dilakukan. Kiran berpendapat, karya sastra memang lebih baik ditulis dalam bahasa yang dikuasai penulis sehingga dapat menuliskan rasa dan emosi secara tepat. Kemudian, agar dikenal luas, karya tersebut diterjemahkan dengan baik ke bahasa lain walaupun tentu penerjemahan berisiko adanya bias dan sesuatu yang hilang. Namun, setidaknya idenya dapat tertangkap.
Cok Sawitri berpendapat senada. Dia sendiri berharap, kelak Ubud Writers and Readers Festival dapat menjembatani permasalahan akses para penulis di luar tradisi Barat, terutama penulis Indonesia, termasuk permasalahan manajemen penulis.
"Banyak penulis yang tidak sadar bahwa ketika berhadapan dengan globalisasi harus didukung dengan manajemen yang kuat. Dalam kesempatan seperti festival ini seharusnya para penerbit dalam negeri ikut menyokong para penulisnya. Sayangnya, belum demikian kenyataannya. Yang hadir malah penerbit dan agensi dari luar negeri," ujarnya.
Jadi, bagaimana dong nasib para penulis Indonesia?
Sumber: Kompas, Rabu, 7 November 2007
No comments:
Post a Comment