-- Zacky Khairul Umam*
SASTRAWAN Arab kontemporer, Adonis (Ali Ahmad Said Asbar, l. 1930), yang kerap disebut-sebut sebagai calon penerima Nobel, memukau dari segi gaya bahasa dan makna puitik. Ia simbol kemodernan syair Arab. Simbol yang dipuja sekaligus dikecam karena kerap tak lazim dan menimbulkan kerumitan luar biasa dalam berkarya, juga mendobrak kemapanan. Ia modern dalam arti menawarkan kebaruan dan menghadirkan semesta kemungkinan yang tanpa penyudahan. Selebihnya merupakan simbol perlawanan atas budaya Arab(-Islam) yang ia saksikan, rasakan, dan dialami sendiri: kemapanan pada tradisi masa lalu. Ia, misalkan, berdendang:
Kita mati jika tidak kita ciptakan Tuhan
Kita mati jika tidak kita bunuh Tuhan
O, kerajaan batu cadas yang kebingungan
("Aghâniy Mihyâr al-Dimasqiy",1961)
Adonis disebut Ali Harb, salah seorang cendekiawan Arab terkemuka, sebagai "nabi". Ia menghadirkan diri sebagai pencipta yang tak sedia menemui ajal kemapanan (touhgtful poet). Kesediaan tunduk pada kepatuhan yang mapan merupakan kemunafikan. Suara Adonis mengalirkan kejernihan dalam melihat teleologi, agar zaman tak lapuk oleh tekanan masa lalu yang serba-menentukan.
Dalam dirinya, Adonis gelisah tak karuan menelisik kebudayaan Arab-Islam yang senantiasa berirama dalam stanza statis. Bahwa masa lalu menjadi segala-galanya, kebudayaan Arab-Islam kini tak boleh bertanya, dalam nalar masa lalu ia berada. Kekinian tak bermakna kala masa lalu tidak dihadirkan. Tradisi dimanunggalkan dalam tafsir yang serba-meliputi. Awal mula kegelisahan itu bertolak dari penelusuran Adonis terhadap genealogi sastra Arab modern yang masih banyak mengagungkan spirit dan bentuk masa lalu, yang tak boleh diganggu gugat.
Simpulan Adonis, ternyata nalar Arab-Islam tak mampu berjejak pada kemajuan zaman karena ia tertarik jauh ke belakang sejarah. Glorifikasi dan romantisasi masa lalu yang gemilang selalu dipegang. Yang kini (al-hâdhir) dan yang mendatang (al-mustaqbal) bersifat linear mengikuti garis lurus tradisi masa lalu (al-turâts al-qadîm). Bagi kaum konservatif Arab, pandangan inilah yang mencibir Adonis sebagai "berhala kejahatan".
Dalam mahakaryanya, Al-Tsâbit wa al-Muta?awwil, Adonis membedah lebih mendalam tentang kecenderungan umum yang membikin bangsa Arab-Islam bersifat statis ketimbang dinamis. Ia melanglang buana untuk menekuni tendensi kecenderungan "yang mapan" atas "yang berubah" dalam aspek filsafat, teologi, fikih, sastra, ekonomi, sufisme, dan revolusi dalam peradaban Arab klasik yang amat berpengaruh pada nalar kebudayaan Arab-Islam kini.
Struktur tradisional pemikiran Arab telah terkonstruksi oleh sebuah "preteritisme" yang berkecenderungan mengagungkan masa lalu sebagai patokan utama. Masa lalu terkait dengan pendasaran prinsip-prinsip keagamaan yang amat statis. Nalar yang dihadirkan mesti diasosiasikan terhadap al-mâdhi (masa lalu) sehingga generasi berikutnya hanya mengambil al-ittibâ’ (imitasi), taqlîd (meniru), dan serba mengikuti struktur arketipe masa lalu. Pelbagai kecenderungan untuk dinamisasi kebudayaan yang muncul untuk keluar dari kerangkeng kejumudan dan konservativisme ditolak habis-habisan. Padahal, "yang dinamis" identik dengan spirit kemajuan, yang kemudian bersetubuh dengan teleologi al-hâdhir (kemendatangan), al-’aql (pemikiran), al-ibdâ’ (kreativitas), al-fard (individu), serta keniscayaan perubahan kebudayaan
Adonis mengatakan, selamanya orang Arab-Islam tidak akan pernah makmur dan menjadi "pencipta", kecuali jika struktur tradisional pemikiran Arab itu didekonstruksi sehingga terjadi perubahan dalam cara memandang dan memahami sesuatu. Yang mesti disadari betul bahwa dasar kebudayaan Arab ialah plural, tidak satu, dan ia tidak memiliki vitalitas untuk melampaui dirinya sendiri, kecuali dengan membuang struktur keagamaannya sehingga agama menjadi pengalaman yang murni bersifat personal, amat privat.
Untuk melampaui tradisi yang "membatu" itu, Adonis menekankan pentingnya menggunakan instrumen (tradisi) kebudayaan sendiri sebagai pengalaman untuk mengubah turâts Arab-Islam. Masa lalu tidak bernilai, selama ia tidak menjadi kekuatan untuk menjadi bagian masa depan kala ia dimanfaatkan secara inovatif. Dengan demikian, menurut Adonis, bangsa Arab mesti menggunakan potensi perubahan dalam tradisinya untuk melampaui masa lalunya secara kreatif, radikal, komprehensif, dan niscaya.
Proyek kritik kebudayaan Arab-Islam Adonis dalam Al- Tsâbit wa al-Mutahawwil ialah: "Keharusan membebaskan (kebudayaan) Arab dari setiap bentuk atavisme (salâfiyyah), keharusan desakralisasi yang dilabelkan pada masa lalu, dan menganggapnya sebagai bagian dari pengalaman atau pengetahuan yang tidak mengikat secara absolut. Konsekuensinya, manusia mesti dilihat sebagai orang, dan esensi kemanusiaan yang sesungguhnya adalah ketika ia menjadi kreator yang transformatif, daripada sekadar pewaris yang konformistis (baca: menegaskan)."
Gara-gara pandangan ini, Adonis kerap dituduh sebagai anti- Arab, mengikuti kemauan orientalis, kehilangan rasionalitas dan obyektivitas itu sendiri di tengah kematangan emosinya yang stabil.
Gagasan tentang modernitas, kata Adonis, bukan persoalan tentang suatu periode sejarah kontemporer yang saat ini kita nikmati. Modernitas (al-hadâtsah) lebih merupakan model pemikiran, weltanschauung, dan konsepsi tentang waktu dan filsafat manusia yang secara total berbeda dari kearifan tradisi yang telah diterima.
Menurut Adonis, modernitas sama dengan sekularisme dan rasionalisme absolut sebagai jalan tunggal menuju keadilan sosial, egalitarianisme, dan kemajuan. Manusia, bukan Tuhan, harus menjadi pusat dunia dengan dirinya sendiri, dan kebebasan atau kehendaknyalah yang mesti mengukir sejarah peradaban sesuai dengan fungsi akal. Hanya melalui pengalaman manusia dan efektivitasnya di dunia luar yang dapat membawa pada makrifat kebenaran, bukan spekulasi, kontemplasi, maupun praanggapan keagamaan yang apriori. Dalam Mihyar, syair Adonis: //Seorang Tuhan telah mati/Tuhan yang dulu turun dari sana/dari tengkorak langit.//Siapa tahu/dalam ketakutan dan kehancuran/dalam keputusasaan dan di tandus tanah padang pasir/dari kedalamanku muncul seorang Tuhan.
Proyek kritik kebudayaan Adonis ialah sebentuk dekonstruksi radikal pada struktur kebudayaan yang telah mendefinisikan dirinya sebagai "selesai" dan menjadi "diktator" paling baik untuk menilai kekinian, kebaruan, dan wilayah terra in cognita. Untuk membangkitkan spirit kemajuan, Adonis amat memercayai bahwa peran manusia-manusia kreatif yang mempunyai will to power dan memahami betul arti kebebasan dapat menjadi agen- agen perubahan yang utama. Karena itu, jika kebudayaan sebuah bangsa atau masyarakat hendak menemui tingkat progresivitas yang baik, secara kolektif kemanusiaan yang mempunyai "kuasa kreatif" itu mesti diberdayakan. Ini memang amat Nietzschean. Tepatnya, kreativitas memaknai kekinian dan upaya menumbuhkan teologi masa depan sebagai pijakan. Manusia tidak boleh terkungkung oleh nilai-nilai kebudayaan klasik yang terlalu menentukan, apalagi jika antropologi kemanusiaan terlalu ditentukan secara teosentris yang mengebiri sifat kebebasannya.
Akan tetapi, dalam pertarungan di panggung sejarah, kemenangan kerap berpihak pada pemegang imitasi dan mendukung kemapanan. Karena, dalam tradisi Arab-Islam yang disorot Adonis, cabang-cabang perkembangan peradaban, seperti sastra dan pemikiran, secara umum tunduk pada aturan agama yang menjadikan kebudayaan Arab menjadi hegemonik dan, karenanya, menjadi kebudayaan kekuasaan. Yakni, kebudayaan yang menjadi milik mazhab statis saja. Kebudayaan yang melakukan inkuisisi (mihnah) atas pluralitas pemahaman untuk ditempatkan pada struktur kemapanan. Otoritas kebenaran menjadi milik kaum penguasa. Agama ditempatkan sebagai kekuasaan politis yang memisahkan unsur budaya untuk kemudian memberikan standardisasi pada teks kebenaran, wahyu, dan bangunan keilahian. Jika ini yang semakin menentu, Adonis pun melihat keputusasaan dalam kemapanan: //Dalam tuhan baru apa/bangkit jasad kita/balok-balok besi impit gerak kita/algojo-algojo tiada henti siksa kita/atas nama puing-puing yang bahagia/kelahiran kita jerit putus asa.// Alamak!
* Zacky Khairul Umam, Program Studi Arab FIB UI, Depok
Sumber: Kompas, Minggu, 11 November 2007
No comments:
Post a Comment