Sunday, November 04, 2007

Esai: Sastra dan Perubahan

-- Edy Firmansyah*


PRAMOEDYA Ananta Toer adalah salah satu sastrawan yang selalu berseru agar masyarakat mencintai sastra. ”Suatu masyarakat paling primitif pun,misalnya di jantung Afrika sana, yang tak pernah duduk di bangku sekolah,tak pernah melihat kitab dalam hidupnya,dan tak kenal baca tulis,masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan (Bumi Manusia, hlm 233). Mengapa?

Karena sastra adalah anak tangga menuju peradaban tinggi.Masyarakat yang antisastra adalah masyarakat bebal. Mereka bergerak bukan untuk kemajuan, melainkan melangkah menuju kehancuran. Tapi apa lacur? Sastra relatif tidak tercantum dalam daftar prioritas kebutuhan masyarakat Indonesia.Sampo, lipstik, kondom, t-shirt, obat jerawat, conditioner, obat nyamuk, jelas lebih dianggap penting dibandingkan dengan karya sastra.

Artinya sastra dikategorikan sebagai sesuatu yang boleh tidak ada, sementara celana jins atau jam tangan tergolong harus ada. Pandangan masyarakat tentang sastra suka atau tidak suka tampaknya berpengaruh terhadap kualitas karya pada sastrawan. Puisi, misalnya.Di tangan penyair mutakhir, puisi hanyalah deretan huruf, barisan kata-kata dan tumpukan baris-baris kalimat yang disusun sedemikian rupa.Ia hanya omong besar. Ia hanya bunga plastik.

Sebagaimana bunga plastik, ia hanya semu belaka: kata-kata indah yang menipu, kata-kata besar yang tak punya roh. Akibatnya, puisi-puisi penyair mutakhir hadir sekadar mengadopsi puisi-puisi yang ditulis penyair terdahulu. Baik bentuk maupun tema atau isi. Seakan-akan mereka telah menyerah pada bentuk dan gaya tradisi penulisan puisi yang dirintis oleh para pendahulu mereka sehingga timbul kesan penyair Indonesia mutakhir adalah generasi sisa yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Tidak ada upaya dan keberanian penyair mutakhir untuk melakukan terobosan dalam kerja kreatif mereka. Cukuplah bagi penyair puisinya mampu menembus koran nasional.Tak peduli isi dan makna puisinya tak mampu dicerna masyarakat awam. Yang paling pokok kritikus sastra dan penyair papan atas mengakui kualitas karyanya.

”Toh, tanpa puisi,Indonesia tetap berlangsung hidup dan tetap bergerak tanpa berubah keadaannya,” begitu komentar mereka sebagai penegas sikap eksklusif mereka. Padahal, karya sastra yang ”baik” bukan karya yang lahir dari adopsi karya lain. Karya yang baik bermula dari inspirasi dan mampu dicerna, bahkan oleh pembantu rumah tangga sekalipun.

Kemudian, karya tersebut mampu menyodokkan inspirasi pada pembacanya dan hikmah bagi banyak orang. Bahkan, bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat dan bangsa.Karya sastra semacam itulah yang sebenarnya mampu menggerakkan masyarakat untuk mencintai sastra,menjadikan sastra bagian dari kehidupan.

Pertanyaannya sekarang, adakah karya sastra anak negeri dengan kriteria yang ”baik”itu? Yang mampu menggerakkan sebuah bangsa dan mampu menjadi hikmah bagi masyarakat? Jawabnya: ada! Ia memang tidak pernah dimasukkan dalam perbincangan sastra (baca: puisi) yang pernah ada selama ini.

Karena selama ini ia tidak pernah dipandang sebagai puisi.Tetapi sebagai karya sastra ia abadi.Yang dimaksud ialah teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 itu. Jika mau mencermati lebih dalam, ia bisa memenuhi kriteria teks puisi masa kini. Bahkan teks sumpah pemuda tidak jauh beda dengan sajak ciptaan Hamid Jabbar yang hanya ”mengopi”teks Proklamasi Kemerdekaan dan sekedar melakukan sedikit perubahan.

Nyatanya,tak ada seorang pun di kalangan penyair dan pengamat puisi yang membantah ciptaan Hamid Jabbar itu bukan sebuah teks puisi.(Sutardji Calzoum Bachri,2002). Nah, seperti halnya puisi, dunia yang dibangun dalam rangkaian larik-larik Sumpah Pemuda ialah dunia imajinasi. Bahasa sederhana dan sengaja disusun— meminjam istilah Benedict Anderson— sebagai sebuah visi politik, yakni menciptakan sebuah ”imagined community”.

Meski awalnya sebuah imajinasi, tetapi sumpah pemuda dibuat berdasarkan realitas yang sehari-hari jadi pembicaraan di kalangan masyarakat umum.Hanya saja, pada masa itu—akibat represi penjajah— belum mampu diungkapkan secara kolektif. Nah, berkat para pencipta syair, Sumpah Pemuda itulah kemudian, keinginan berbangsa satu,bertanah air satu, berbahasa satu, Indonesia mampu dikumandangkan secara massif di seluruh Nusantara.

Daya pukau teks Sumpah Pemuda itulah yang kemudian menggerakkan para pemuda dan pemimpin bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir,Tan Malaka, dan lain-lain bersedia berkorban dan berjuang untuk merebut kemerdekaan dan membangun sebuah bangsa yang utuh dengan semangat sumpah pemuda. Sebenarnya, karya sastra semacam itu yang diharapkan lahir kembali untuk di negeri ini.

Di tengah krisis multidimensi yang nyaris mencengkeram di semua lini kehidupan, diperlukan puisi yang lahir dari imajinasi, tetapi mampu menggerakkan pembacanya melakukan perubahan. Bukan karya sastra yang ”melangit” yang hanya bicara tentang keindahan,cinta,dan selangkangan. Sebenarnya ada beberapa karya puisi yang mulai ”menyentuh tanah”, menyulut semangat perjuangan, dan pernah turut larut dalam semangat masyarakat menciptakan perubahan.

Namun, itu masih bisa dihitung dengan jari. Sebutlah puisi-puisi Widji Thukul yang terangkum dalam Aku Ingin Jadi Peluru atau puisi Taufiq Ismail dalam Malu Aku jadi Orang Indonesia.Puisi-puisi itu hadir dan menjadi jejak gerakan ’98 dalam upaya merobohkan rezim Orde Baru. Karena itu,mengasah imajinasi untuk menciptakan karya sastra yang mampu menggerakkan masyarakat dan mencipta perubahan bukanlah sebuah pelanggaran.

Karena sejatinya karya sastra adalah milik manusia. Dari sastralah manusia menggali inspirasi untuk melakukan perubahan. Mencipta karya sastra yang melangit dan eksklusif secara tak langsung berarti memaksa masyarakat alpa terhadap perubahan.(*)

* Edy Firmansyah, Esais,Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Jakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 4 November 2007

No comments: