[JAKARTA] Pertumbuhan karya sastra Indonesia yang menggairahkan belakangan ini, tidak bisa mengandalkan Penerbit Balai Pustaka. Padahal lembaga ini seharusnya melestarikan karya sastra Indonesia dan menerbitkan karya-karya yang konstruktif. Balai Pustaka justru banting stir menerbitkan buku komersial.
Hal ini diungkapkan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Ibnu Wahyudi dalam Seminar Internasional Kesusastraan Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa di Hotel Acacia Jakarta, Senin (19/11). Menurut Ibnu, kehidupan sastra Indonesia yang menggeliat di hampir satu dekade belakangan ini tidak didukung oleh lembaga terkait.
Penerbitan sastra, dikatakan Ibnu, dewasa ini tidak lagi mampu mengandalkan Balai Pustaka. Nafas penerbitan tertua dari zaman kolonial Belanda tersebut semakin lemah. Persoalan demi persoalan terus bergulir, dan pendistribusian menjadi masalah akut Balai Pustaka sekarang ini. Tidak mudah memperoleh buku-buku terbitan Balai Pustaka baik di toko buku kecil maupun besar. Kalau pun ada, toko buku Balai Pustaka di Jalan Gunung Sahari misalnya. Toko yang memang khusus menjual buku-buku terbitan Balai Pustaka.
Selain itu, cara mengemas buku-buku Balai Pustaka tidak lagi mengikuti konsep kekinian. Menurut Ibnu, kemasan sampul buku-buku terbitan Balai Pustaka dibuat seadanya, tanpa cita rasa seni. Persoalan lain yakni, Balai Pustaka tidak mampu bersaing memperoleh naskah-naskah yang populasinya banyak dengan penggarapan modern. Balai Pustaka lebih puas "menunggu bola," dan tidak bergerak "menjemput bola" untuk memperoleh naskah berkualitas yang berpotensi laris di pasaran.
Menengok visi, misi, tujuan, dan strategi profil bisnis Balai Pustaka di tahun 2006 ini, tidak lagi menyinggung soal peran lembaga yang menjadi pengayom kehidupan sastra Indonesia. Berbeda dengan sosok intelektual yang pernah mengelola Balai Pustaka antara lain, GAJ Hazeu dan DA Rinkes.
Menurut Ibnu, dua tokoh tersebut mempunyai perha-tian, komitmen, dan keterlibatan dengan sastra yang cukup intensif. Mereka telah berperan sebagai pengayom, penyedia fasilitas, dan membuka ranah baru dalam dunia sastra.
Upaya dan langkah seperti itu, lanjut Ibnu, yang semestinya disandang oleh Balai Pustaka. Baik sebagai penerbit, pencetak, maupun pengelola toko buku. Dengan demikian, Ibnu mengatakan Balai Pustaka perlu melakukan revitalisasi dan menganalisis ulang potensi, kelemahan, kesempatan, dan ancaman yang dimilikinya.
Balai Pustaka, dikatakan Ibnu, sejak berdirinya selalu diidentikkan dengan awal perkembangan sastra Indonesia. Tugas utamanya yakni memberikan pertimbangan dalam menyeleksi atau menentukan bacaan-bacaan yang tepat baik di sekolah maupun untuk rakyat umum.
Selain itu, seiring dengan perkembangannya, Balai Pustaka mampu menjadi badan penerbitan dan percetakan di tahun 1921. Dalam perjalanannya, tahun demi tahun, Balai Pustaka mengalami pasang-surut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1963, lembaga ini berubah status menjadi Perusahaan Negara (PN). Kemudian menjadi Perusahaan Umum (Perum) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 48 tahun 1985.
Ketika berstatus PN, Balai Pustaka mengemban dua misi utama yakni, misi ekonomi dan sosial. Misi itu kemudian bertambah dengan misi kultural ketika berstatus Perum. Kini, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 66 tahun 1966 status Balai Pustaka berubah lagi menjadi Perusahaan Perseorangan (Persero).
Bukannya lebih leluasa, posisi Balai Pustaka justru gamang. Seperti dikutip Ibnu, Zaim Uchrowi yang belum lama menjabat sebagai Direktur Utama PT Balai Pustaka ini mengatakan, posisi Balai Pustaka serba tanggung karena terikat dengan ketentuan BUMN.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (UI), Sapardi Djoko Damono, mengatakan penerbit Balai Pustaka tidak banyak berperan lagi dalam penerbitan karya-karya sastra Indonesia. Peran dan fungsinya lebih banyak dilakukan oleh para penerbit swasta dan penerbit independen. [CNV/U-5]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 20 November 2007
No comments:
Post a Comment