Monday, November 05, 2007

Rapuhnya Modal Intelektual Kita

-- Paul L Tobing*

BANGSA Indonesia sudah lama hidup dalam kondisi yang paradoks, hidup miskin di bumi yang kaya raya.

Mengapa bangsa ini tidak mampu mengolah kekayaan manusia, budaya, dan alam yang berlimpah menjadi sumber kemakmuran? Jawabannya dapat ditelusuri dengan memotret kondisi modal intelektual negara ini.

Modal intelektual merupakan modal intangible, yang tidak dapat diraba, seperti gedung atau pabrik, tetapi "hidup" dalam manusia, struktur, proses, budaya, atau stakeholder organisasi.

Modal sosial terdiri atas manusia, struktural, dan pelanggan. Modal manusia terkait dengan kompetensi, integritas, kepemimpinan, kewirausahaan, dan pengetahuan personel organisasi. Modal struktural merupakan kemampuan organisasi dalam merespons aneka masalah melalui teknologi, metodologi, pengetahuan eksplisit, dan proses yang dimiliki. Modal pelanggan berupa relasi, umpan balik, dan pengetahuan pelanggan.

Dalam konteks negara, modal manusia menyangkut tingkat pendidikan, etos, integritas, kewirausahaan, dan pengetahuan masyarakat suatu negara. Sedangkan modal struktural menyangkut ideologi, budaya, dan sistem yang dijalankan masyarakat dan pemerintah, yang memampukan menjawab aneka tantangan dan perubahan. Terakhir, modal pelanggan mencakup kemampuan negara dalam melayani warga, dan keterbukaan negara dalam memproses umpan balik dari rakyat atau pihak lain.

Pendidikan

Menyorot kondisi Indonesia melalui modal intelektual, terlihat pemandangan menyedihkan. Dari laporan Human Development Index (UNDP, 2006), posisi Indonesia masih di bawah Filipina, Malaysia, dan Thailand. Rendahnya mutu modal manusia Indonesia terutama disebabkan sistem pendidikan Indonesia yang miskin visi dan lemah konsep. Selama puluhan tahun, para penentu kebijakan pendidikan negeri ini masih mencari arah dan visi pendidikan.

Modal struktural


Sebagai salah satu modal struktural, sistem birokrasi gagal direformasi, bahkan menjadi penghambat utama reformasi bidang lain. Birokrasi masih lebih terasa sebagai beban bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Birokrasi masih diduduki pejabat penguasa, bukan pelayan masyarakat. Kultur birokrasi demikian adalah lahan subur tumbuhnya korupsi.

Modal struktural lainnya—sistem politik—juga gagal berfungsi sebagai leader machine. Hingga kini, pemimpin yang ditawarkan berbagai partai politik masih berupa daur ulang tokoh lama.

Indonesia yang bertengger dalam jajaran pembajak terbesar di dunia menunjukkan perlindungan atas modal intelektual yang belum serius. Akibatnya, negeri ini bukan tempat yang ramah bagi lahir dan berkembangnya orang kreatif dan penemu. Lebih menyedihkan lagi, kekayaan tradisional kita juga luput dari perlindungan hukum.

Modal struktural lain yang sudah luntur adalah sistem nilai. Para pemimpin tidak merevitalisasi nilai-nilai warisan founding fathers. Nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan kejuangan hanya disinggung. Mereka kurang percaya diri membicarakan, mungkin karena sudah gagal menjadi model dalam penerapan.

Bagaimana dengan modal pelanggan negara? Birokrasi adalah alat utama negara dalam melayani masyarakat sebagai pelanggan. Masalahnya, terminologi pelanggan dan pelayanan belum dikenal dalam sistem birokrasi Indonesia. Posisi rakyat dalam sistem birokrasi kita adalah pemohon, bukan pihak yang berhak mendapat pelayanan terbaik. Ini mengakibatkan kualitas layan publik mengecewakan.

Kondisi modal intelektual yang begitu memprihatinkan membuat bangsa ini kehilangan efektivitas dalam mengelola berbagai kekayaan. Karena yang dapat mengonversi aneka kekayaan menjadi kemakmuran adalah modal intelektual. Semakin rendah modal intelektual, semakin rendah kemampuan suatu bangsa mengelola kekayaannya. Akibatnya, kian kecil pula nilai tambah yang diperoleh. Bahkan pengelolaan berbagai kekayaan dengan semangat eksploitatif yang miskin modal intelektual sering menimbulkan bencana.

Komponen modal intelektual mana yang lebih dulu dibenahi? Modal manusia mungkin merupakan jawaban yang kita sepakati sebagai titik awal untuk membenahi benang kusut ini. Karena komponen inilah yang paling efektif memperbaiki jenis modal intelektual lainnya. Untuk itu, pembenahan sistem pendidikan tidak perlu diwacanakan lagi.

* Paul L Tobing, Anggota Pendiri Knowledge Management Society Indonesia

Sumber: Kompas, Senin, 05 November 2007

No comments: