FESTIVAL seni pertunjukan kontemporer Art Summit digelar untuk kelima kalinya. Suguhan pertama adalah Wayang Listrik, pedalang Made Sidia. Selain unik, Made Sidia mendalang kisah "putus cinta" Indonesia -Malaysia.
Dalang asal Bali, Made Sidia, tampil dalam pertunjukan Wayang Listrik yang mengangkat cerita "Perjalanan Tualen" pada Festival Seni Pertunjukan Kontemporer di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (1/11). (foto-foto:sp/ignatius liliek)
Ketidakharmonisan Indonesia dan Malaysia, khususnya di bidang kerja sama tenaga kerja, dan seni budaya memberi inspirasi pedalang Made Sidia untuk menuangkannya dalam lakon berjudul Perjalanan Tualen yang ditampilkan pada pembukaan acara Art Summit Indonesia ke-5 tahun 2007, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Kamis (1/11) malam.
Perjalanan seorang tualen (punakawan) dan seorang anaknya dimulai saat mereka berada di hutan. Di tengah perjalanan tanpa sengaja mereka bertemu dengan seekor macan. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mengusir macan agar tak memangsa mereka.
Dari mulai membujuk hingga merayunya, tapi sang macan tetap ganas dan berusaha menerkam mereka. Tualen pun tak hilang akal, dia berusaha menghibur macan dengan menyanyikan sebait syair lagu dalam bahasa Bali , tapi ternyata lagu itu tak mampu menjinakkan macan.
Kemudian potongan syair lagu Indonesia Raya pun didendangkannya, namun tetap saja lagu kebangsaan negara Indonesia itu tak mampu meredam nafsu macan untuk memangsa mereka.
"Oh, he doesn't like Indonesian song, maybe his a Malaysian tiger!," seru Tualen pada anaknya dalam logat bahasa Inggris yang kaku.
Penonton pun tertawa geli mendengarnya. Dialog antara Tualen dan anaknya yang diucapkan dalam bahasa Inggris kerap memberi hiburan tersendiri bagi para penonton yang berasal dari negara-negara peserta Art Summit Indonesia 2007, seperti Indonesia, Jerman, Spanyol, Singapura, Argentina, Mesir, India, New Zealand, Korea dan Belgia.
Pertunjukan wayang yang berdurasi sekitar satu jam pun terasa tak membosankan, dan mampu mengusir rasa kantuk yang mulai menyerang. Apalagi sebelumnya penonton sempat disuguhkan tontonan membosankan, saat panitia menayangkan cuplikan video dokumenter pertunjukan para peserta Art Summit Indonesia ke-1 dan 2.
Selain terlalu lama, karena memakan waktu hampir satu jam, kualitas gambar tayangan video itu pun sangat memprihatinkan untuk sebuah ajang internasional sekelas Art Summit. Gambarnya yang tak jernih, dengan sound system yang "naik-turun" membuat beberapa penonton memutuskan untuk meninggalkan tempat duduk mereka.
"Acaranya membosankan," kata seorang penonton kepada rekannya seraya berlalu dari tempat duduknya.
Untunglah, acara kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan wayang listrik yang digarap dengan menggunakan tiga layar dalam ukuran berbeda. Dalam mendalang, Made juga dibantu empat dalang lainnya dalam menggerakkan berbagai karakter yang ditampilkan.
Made juga menggunakan proyektor untuk menampilkan rekaman video dan gambar-gambar digital sebagai latar belakang di hampir sebagian besar adegan dalam pementasannya. Tampilannya makin memikat karena ada permainan cahaya dan instrumen musik modern, seperti dram dan gitar.
Dengan bantuan papan luncur (skateboard), setiap dalang dapat dengan mudah berganti-ganti posisi sesuai dengan peran yang tengah dimainkannya. Pemakaian papan luncur ini telah menjadikan mereka dijuluki Wayang Skateboard oleh komunitas asing di Bali.
Para petani bekerja di sawah.
Metode Kontemporer
Meski dibantu empat dalang, Wayang Sira, Ida Bagus Darma Witama Putra, Nyoman Sudarma, I Wayan Swarmadja, dan Ida Bagus Surya Merdika yang membantu mengoperasikan komputer, dalam keseluruhan pertunjukan, Made tetap menjadi narator di samping ikut memainkan wayang.
Made bukanlah nama baru dalam dunia pertunjukan wayang. Bahkan metodenya yang kontemporer telah membawa pertunjukan wayang di Bali memasuki era baru dan karyanya telah dipertunjukkan di berbagai pentas di dalam dan luar negeri.
Jika pertunjukan wayang tradisi memakai blencong (lampu minyak) yang dinyalakan dengan minyak kelapa untuk memproyeksikan wayang ke layar, maka pada karya kontemporer ini yang digunakan adalah proyektor yang dioperasikan oleh komputer.
Pemakaian komputer memberikan gambar dan visual effect yang lebih jelas sebagai latar dalam pertunjukan. Dan menampilkan gambar-gambar yang berbeda, dari hutan, gunung, candi, dan laut, baik berwarna maupun hitam putih. Cara ini membuat pertunjukan wayang kulit kontemporer lebih menyerupai pertunjukan film.
Selain isu mengenai ketakharmonisan Indonesia dan Malaysia, dalam kisah yang diangkat dari cerita epik Ramayana ini, Made juga mengangkat lima bahaya (panca baya-Red) yang mengancam kelangsungan hidup manusia.
Pertama, bahaya dari air, seperti tsunami, tanah longsor dan lain-lain, kedua geni baya atau bahaya dari api, seperti global warming, kebakaran hutan, dan lain-lain, ketiga duratmaka baya, seperti pencuri, pemerkosa, korupsi, dan lain-lain, keempat ripu baya yang berarti bahaya dari dalam diri kita (amarah) atau bahaya dari dalam dan luar negeri, dan kelima adalah jiwa baya yaitu bahaya akibat ketidakperdulian kita pada diri sendiri, seperti minum-minuman keras, obat-obatan terlarang, bunuh diri, dan lain-lain.
"Kelima bahaya itu yang kini mengancam kelangsungan hidup manusia. Kita seharusnya waspada terhadap ancaman ini," kata Made.
Pertunjukan Perjalanan Tualen mengekspresikan kegelisahan Made menghadapi situasi zaman yang melintas di depan matanya. Ia begitu masygul melihat betapa tabiat manusia di masa kini ternyata belum jauh beranjak dari primata.
Sebelum acara pembukaan dimulai para undangan yang hadir di hari pertama Art Summit 2007 ini disuguhi seni instalasi Le Buffet Flottant (hidangan yang mengapung-Red). Lebih dari 500 balon berwarna hijau yang diisi dengan helium ditata menggantung di sebuah ruang tempat perjamuan. Pada tiap balon digantung sebuah kotak berisi penganan kecil seperti kismis, coklat yang diimpor langsung dari Perancis.
Setiap tamu diperbolehkan mengambil kotak makanan yang tergantung di ujung tali balon-balon tersebut untuk mencicipi isi di dalamnya. Setelah kotak diambil, balon pun akan terbang dan secara perlahan karya dua seniman asal Perancis, Emmanuelle Becquemin (31) dan Stephanie Sagot (32) ini pun menghilang dan berubah tak beraturan.
Inti dari karya ini adalah melibatkan unsur konsumsi ke dalam proses kreasi karya. Karya yang dihasilkan merupakan pengalihan dari fungsi utama material yang digunakan, menciptakan dunia penuh kepekaan, puisi dan kesatuan yang saling berbagi rasa. [Y-6]
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 3 November 2007
No comments:
Post a Comment