SPANDUK bertuliskan "Duka Nestapa Sastra Pustaka" terpasang begitu saja di salah satu sisi pagar Museum Radya Pustaka Solo yang saat ini tertutup untuk umum dan dikelilingi "police line" berwarna kuning. Polisi yang berjaga pun tidak tahu siapa yang memasangnya, yang jelas spanduk itu sudah ada sejak Sabtu (24/11).
Pemasangnya barangkali geram, sekaligus sedih akan hilangnya lima arca yakni arca Agastya (Siwa Maha Guru), Siwa Mahadewa, Mahakala dan dua arca Durga Mahesasuramardhini peninggalan sekitar abad IV-X masehi. Sedangkan, arca Dhyani Budha, arca Sarasvati, dan arca Bodhisatva Avalokitesvara sudah hilang di tahun 2000. Selain arca, museum itu juga kehilangan nampan besar dari keramik, genta atau lampu gantung dari perunggu, dan tatakan buah terbuat dari kristal hadiah Napoleon Bonaparte untuk Paku Buwono IV.
Museum Radya Pustaka didirikan Patih Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada tanggal 28 Oktober 1890, semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakoe Boewono IX. Museum ini banyak menyimpan riwayat RTH Djojohadiningrat II. Isi museum adalah barang-barang dari Keraton Kasunanan Surakarta. Kini, museum hanya menyimpan koleksi yang sudah tidak asli lagi. Maka, pantaslah ketika misteri ini tersibak medio November lalu, fokus perhatian seluruh masyarakat tertuju pada museum yang terletak di Jalan Slamet Riyadi Solo itu.
Museum tertua di Indonesia itu memiliki koleksi sekitar 10.000, mulai dari naskah kuno hingga patung dan keramik serta benda-benda lain. Wajar saja jika warga yang merasa turut memiliki benda-benda itu turut "menjerit". Para pakar museum dan ahli purbakala pun terbelalak. Kalangan pers menjadikan berita kehilangan itu sebagai berita utama.
Kondisi Museum Radya Pustaka memang memprihatinkan. Museum tersebut sebenarnya sudah tidak kuat menampung semua koleksi, sehingga puluhan arca ditempatkan di luar gedung. Ribuan naskah Nusantara yang disimpan di dalam lemari kaca ditempatkan di ruangan tanpa AC. Petugas hanya mengandalkan silica gel sebagai pencegah kelembaban udara. Menyedihkan ! Naskah-naskah itu sekarang tidak pernah lagi dirawat karena keterbatasan dana.
Koleksi
Salah satu sisi pagar Museum Radya Pustaka Solo yang saat ini tertutup untuk umum dan dikelilingi "police line" berwarna kuning. (foto-foto: sp/fuska sani evani)
Koleksi museum yang banyak diminati pengunjung adalah koleksi bahan pustaka. Setiap bulan, rata-rata 500 pelajar, mahasiswa, dan peneliti dari dalam negeri dan asing memanfaatkan naskah kuno itu untuk berbagai kepentingan riset. Manuskrip koleksi museum hampir seluruhnya bertuliskan Jawa carik.
Namun sebagian berbahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Naskah-naskah itu umumnya berisi ungkapan falsafah, tuntunan hidup, kisah raja, sejarah, dan karya sastra. Sekitar 750 eksemplar naskah ditulis dengan huruf Jawa tulisan tangan, 1.750 eksemplar naskah berhuruf Jawa cetak (Jawa cap), dan sisanya buku-buku berbahasa asing dan berbahasa Indonesia.
Di antara naskah kuno itu, tersimpan asli tulisan tangan karya pujangga RM Ngabehi Ronggowarsito, termasuk Serat Kalatida. Serat Bauwarno karangan pujangga Padmosusastro, murid Ronggowarsito. terbitan tahun 1828 yang merupakan ensiklopedi Jawa yang memuat nama-nama raja di Jawa sejak pemerintahan Majapahit hingga Paku Buwono X. Naskah tersebut juga memuat cerita berbagai kebudayaan Jawa di masanya, seperti kisah adu kerbau dengan harimau pada masa raja-raja yang hidup di tahun 1800.
Sesuai dengan umurnya yang lebih dari 113 tahun, dinding dan atap museum mulai menjadi sarang laba-laba, berdebu dan lembab. Kepala Museum Radya Pustaka KRH Darmodipura yang kini meringkuk di tahanan Poltabes Solo pernah menjelaskan, sebagian naskah koleksi museum yang didirikan KRA Sosrodiningrat IV pada 28 Oktober 1890 itu telah didokumentasikan dalam bentuk film mikro, namun benda itu kini juga terancam rusak. Koleksi wayang kulit, topeng, gamelan, serta koleksi lainnya kini terancam akibat terbatasnya biaya perawatan benda-benda tersebut.
Kepala Museum
Selain itu, jumlah pegawai Radya Pustaka yang hanya tujuh orang tidak mampu merawat sekian banyak naskah sastra Nusantara, puluhan arca, serta berbagai benda peninggalan bersejarah lainnya. Kini, museum yang penuh dengan peta sejarah bangsa Indonesia itu ternoda oleh ulah pengelolanya sendiri. KRH Darmodipura yang dikenal dengan Mbah Hadi, harus menghadapi proses pengadilan. Pencurian dan pemalsuan benda-benda bernilai sejarah di tempat itu diduga telah mendapat restunya.
Bahkan tiga tahun lalu, Mbah Hadi sengaja memecat Andrea Amborowatiningsih (24) pegawai honorer di museum itu, yang saat ini masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Setelah keluar dari pekerjaannya, Ambar lantas menyatakan kecurigaannya itu pada Dr Djoko Dwiyanto, dosennya di UGM. Ambar menceritakan, suatu ketika dia mendapati piring keramik Tiongkok berwarna putih kembang biru tua yang seharusnya digantung di tembok museum, tetapi hilang pada tanggal 16 Agustus 2005. Ambar sempat mempertanyakan hal itu pada Mbah Hadi.
Menurut Mbah Hadi, piring itu tidak hilang, dan benar besoknya piring itu sudah ada di tembok. Namun, Ambar tidak bisa dibohongi. Piring itu berbeda dengan piring aslinya. Karena penasaran, dia lantas mencari tahu keaslian benda-benda lainnya. Akhirnya Ambar memastikan bahwa beberapa benda koleksi museum yang hilang diganti dengan benda serupa alias dipalsukan. Keingintahuan itu membuat Ambar dipecat pada akhir Mei 2006. Tetapi, melalui Djoko Dwiyanto, informasi kejadian di museum itu diteruskan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah. Akhirnya kasus itu dilaporkan ke polisi.
KRH Darmodipuro beberapa kali sempat menyangkal pemalsuan tersebut. Namun dari tersangka lain, Heru Suryanto, Mbah Hadi akhirnya dijerat juga. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Poltabes Solo Ajun Komisaris Syarif Rahman menjelaskan tersangka itu dijerat dengan Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya jo Pasal 363 KUHP soal pencurian dengan pemberatan. [SP/Fuska Sani Evani]
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 29 November 2007
No comments:
Post a Comment