Sunday, November 18, 2007

Perlindungan Warisan Budaya: Harus Bagaimana?

-- Agus Sardjono*

AMERIKA Serikat dan Eropa Barat telah berhasil menebar mitos tentang Superman, Spiderman, Batman, Donald Duck, Mickey Mouse, dan Cinderella ke belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Makanan dan minuman cepat saji, seperti Kentucky, McDonald’s, Coca-Cola, dan Starbucks juga sudah menjadi bagian dari budaya pop Indonesia. Sementara warisan budaya Indonesia sendiri yang konon adiluhung semakin lama semakin pudar. Gending atau karawitan sudah lama ditinggalkan kebanyakan audience muda Indonesia. Cerita-cerita rakyat sudah diubah menjadi tontonan televisi yang menyedihkan karena dihilangkan bobot falsafinya menjadi sekadar bentuk lahiriah yang lucu dan kehilangan konteks. Ironisnya justru Barat semakin melirik warisan budaya Timur menjadi sumber ekonomi baru mereka. Sebut saja pentas I La Galigo yang diangkat oleh Robert Wilson telah berhasil memikat penonton dunia mulai dari Italia, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat. Kriya tradisional Indonesia juga sudah mulai diklaim sebagai produk mereka, seperti ukiran Jepara dan ukiran Bali. Bahkan, ramuan tradisional Indonesia ada yang sudah mendapatkan paten atas nama perusahaan kosmetik Jepang.

Tiba-tiba kita terperangah dan ribut bahwa warisan budaya kita telah dicuri oleh orang asing. Kok bisa?

Lantas orang mulai berpikir, bagaimana melindungi warisan budaya tradisional bangsa dari proses pengambilan oleh orang asing. Sayangnya upaya ke arah itu terkesan tergopoh-gopoh dan reaktif tanpa mengetahui persoalan yang sesungguhnya terjadi. Beberapa instansi pemerintah membentuk tim untuk mulai menyusun draf rancangan undang-undang, seperti RUU Perlindungan Sumber Daya Genetik, RUU Perlindungan Pengetahuan Tradisional, dan RUU Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional. Pembentukan tim tersebut tentu harus dihargai. Sayangnya, penyusunan rancangan tersebut kurang memerhatikan prinsip-prinsip dan metodologi penyusunan naskah rancangan undang-undang yang baik. Akibatnya, di beberapa bagian rancangan tersebut terkesan mengadopsi sistem perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) yang bersifat konvensional, seperti paten, merek, dan hak cipta.

Penggunaan sistem HKI sesungguhnya memiliki bahayanya sendiri ketika hendak diterapkan dalam melindungi pengetahuan tradisional dan folklor Indonesia. Sistem ini mengadopsi positive protection system, yang mengandalkan sistem registrasi dan pemberian hak oleh negara. Dalam sistem ini hak dan perlindungan oleh negara diberikan setelah dilakukan pendaftaran. Siapa yang melakukan pendaftaran, dialah yang dianggap sebagai pengemban haknya. Para pendaftar ini kemudian diberi hak eksklusif untuk menggunakan sendiri atau melarang pihak lain menggunakan teknologi atau desain yang bersangkutan. Tentu saja, hal ini akan melahirkan potensi-potensi konflik baru di antara pemegang hak pendaftaran.

Mengacu kepada Pasal 10 UU Hak Cipta, misalnya, pemerintah daerah dapat menjadi pengemban hak dari warisan budaya tradisional setempat. Contohnya adalah pendaftaran desain batik oleh Pemda Surakarta ke Kantor Hak Cipta. Jika pendaftaran dilakukan oleh pemerintah daerah, maka pemerintah daerah itulah yang akan menjadi pemegang hak. Ia kemudian mempunyai hak untuk melarang atau memberikan izin (lisensi) pihak lain menggunakan pengetahuan tradisional dan folklor yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat terjadi Pemerintah Daerah A melarang warga dari daerah B untuk menggunakan pengetahuan tradisional yang bersangkutan. Di sinilah potensi konflik itu kemudian akan berkembang. Pada gilirannya akan terjadi saling klaim antarpihak yang mengaku telah melakukan pendaftaran pengetahuan tradisional dan folklor yang bersangkutan. Atau sebaliknya, pemerintah daerah sebagai pemegang hak dengan kebijakannya sendiri memberikan lisensi kepada pihak asing. Jika masyarakatnya sendiri kurang berkenan, hal ini juga akan memunculkan potensi konflik yang lain antara pemda dan warganya. Walaupun analisis tersebut sifatnya sangat hipotetis, tetapi tidak mustahil hal itu akan terjadi. Pertanyaan kemudian, bagaimana mencegah dan menanggulanginya?

Di dalam Pembukaan UUD ’45 sudah ditegaskan tujuan pembentukan negara Indonesia, yaitu untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Mengacu pada tujuan negara tersebut, maka tugas negara adalah melindungi dan mengupayakan kesejahteraan umum, dan bukan memiliki atau menjadi pemegang hak. Jika negara memiliki atau menjadi pemegang hak, di dalamnya terkandung potensi konflik dengan warganya sendiri, sebagaimana tergambar dalam analisis hipotetik di atas. Selain itu, harus ditegaskan terlebih dahulu konsep perlindungan itu sendiri. Perlindungan dari apa? Perlindungan untuk siapa?

Dalam forum internasional, wacana yang muncul adalah terjadinya pemanfaatan secara melawan hak (misuse atau misappropriation) suatu pengetahuan tradisional dan sumber daya hayati oleh pihak asing tanpa adanya pembagian manfaat yang adil. Isu utamanya kemudian adalah bagaimana persoalan akses terhadap pengetahuan tradisional dan sumber daya hayati serta pembagian manfaat secara adil itu kemudian mendapatkan pengaturannya yang jelas. Bahkan, dalam Intergovernmental Committee dalam forum WIPO muncul gagasan untuk menciptakan legally binding instrument yang bersifat internasional.

Isu access and benefit equitable sharing itu sangat penting jika dijadikan wacana dalam diskursus hukum, khususnya tentang gagasan pengaturannya di Indonesia. Hal ini sesuai dengan watak masyarakat Indonesia yang terbuka dan menghormati kehidupan yang harmonis dalam kebersamaan dengan mengutamakan ethic of sharing di antara sesama warga masyarakat. Terhadap pemanfaatan pengetahuan tradisional dan folklor oleh pihak asing, sesungguhnya masyarakat bersifat terbuka dan tidak bersifat posesif. Oleh karena itu, sistem perlindungan yang tepat adalah sistem yang tidak bersifat posesif, namun juga mengutamakan sistem pembagian manfaat yang adil. Dengan demikian, hukum yang harus diciptakan adalah hukum yang memberikan fasilitas secara benar tentang bagaimana membuka akses pihak luar terhadap pengetahuan tradisional dan sumber daya hayati serta folklor di Indonesia, serta bagaimana membagi manfaat yang adil dengan masyarakat pengemban haknya ketika ada pihak luar yang berminat menggunakan pengetahuan tradisional dan sumber daya hayati Indonesia. Selain itu, juga harus dipersiapkan perangkat hukum yang akan memberikan fasilitas kepada pihak-pihak di Indonesia yang akan melakukan tuntutan ke luar negeri atas terjadinya penyalahgunaan (misuse) atau penggelapan (misappropriation) pengetahuan tradisional dan sumber daya hayati oleh pihak asing.

Salah satu perangkat hukum yang penting adalah basis data (database) yang akurat tentang pengetahuan tradisional, folklor, dan sumber daya hayati Indonesia, yang nantinya akan sangat diperlukan dalam rangka melakukan klaim terhadap pihak luar yang dianggap melanggar hak-hak masyarakat lokal di Indonesia. Tentu saja untuk menyusun basis data semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah dan murah. Oleh karena itu, perlu dipikirkan sistem pengembangan basis data yang relatif mudah dan murah. Untuk itu, harus dikembangkan dan diuji coba sistem yang bersifat partisipatif sebagaimana halnya dalam teknologi Wikipedia. Di sinilah peran para ahli teknologi informasi dapat dilibatkan. Untuk uploading data bisa dilakukan siapa saja, baik instansi pemerintah dari setiap sektor, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau warga masyarakat pada umumnya yang memiliki data atau informasi tentang pengetahuan tradisional, folklor, dan sumber daya hayati Indonesia.

Selain itu, perlu diciptakan pula pengaturan yang memberikan landasan hukum (legal standing) yang jelas bagi pihak-pihak yang akan melakukan tuntutan kepada pihak-pihak luar yang dianggap melakukan pengambilan secara melawan hak atas kekayaan warisan budaya tersebut.

Dalam konteks domestik (nasional), aturan hukum yang dibutuhkan adalah aturan yang dapat merangsang kreativitas warga masyarakat untuk mengembangkan dan melestarikan warisan budaya bangsa, yang bukan tidak mungkin akan menjadi sumber ekonomi baru menggantikan teknologi modern sebagai basisnya.

* Agus Sardjono, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sumber: Kompas, Minggu, 18 November 2007

No comments: