Sunday, September 02, 2012

[Buku] Tantangan Jadi Menteri Pascaganti Hati

Data buku

Ganti Hati: Tantangan Jadi Menteri

Dahlan Iskan

PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2012

343 hlm.

SIAPA sangka Dahlan Iskan (yang sekarang menjabat sebagai menteri BUMN) ternyata pernah ganti hati? Tak salah, jika kondisi itu membuat dia harus mengaku jujur; merasa "sakit".

Tepat bulan Oktober 2011, saat presiden SBY menunjuknya menjadi (calon) menteri BUMN–menggantikan Mustafa Abubakar-ia pun tak menunjukkan ekspresi gembira. Padahal beberapa (calon) menteri lain yang ditunjuk presiden waktu itu tampak girang. Tapi dia malah menangis.

Itu tidak lain karena ia (merasa) sakit. Tak berlebihan, jika penunjukan dirinya sebagai menteri itu merupakan tantangan. Sebab lima tahun yang lalu, Dahlan (lahir di Magetan, Jawa Timur, 17 Agustus 1951) pernah menjalani transplantasi hati (liver).

Bagaimana dia menjalani transplantasi hati dan kenapa bisa sampai ganti hati? Itulah yang kemudian dikisahkan dalam buku Ganti Hati Tantangan Jadi Menteri ini.

Lima tahun lalu, tepat 6 Agustus 2007, Dahlan terpaksa harus menjalani operasi transplantasi liver di RS Di Yi Zhong Xin Yi Yuan (First Centre Hospital di Tianjin, Tiongkok). Liver Dahlan Iskan diganti dengan liver baru milik seorang pemuda Tiongkok (yang berumur 21 tahun dan kebetulan meninggal mendadak).

Saat itu, usia Dahlan Iskan 55 tahun, tapi ia harus "turun mesin" lantaran organ-organ di tubuhnya sudah rusak parah. Dahlan seperti tak punya pilihan lain, meskipun ia sudah menambal saluran pencernaannya di Singapura, memotong 1/3 limpanya di Tianjin, dia harus menjalani operasi berat jika ingin masih hidup.

Karena itu, ia pun memutuskan mengatasi akar dari segala penyakitnya—dengan mengikuti jejak Nurcholish Madjid—menjalani transplantasi liver; membuang liver lama, lalu mengganti dengan liver baru.

Jika diruntut ke belakang, mengapa dia sampai terkena kanker? Karena ia terkena sirosis. Mengapa sirosis? Karena terkena virus hepatitis B. Mengapa terkena virus hepatitis B? Karena waktu bayi tak diimunisasi hepatitis B. Karena itu, setelah pulang dari Tiongkok, ia pun bersaing dengan cucunya untuk imunisasi hepatitis B.

Sebenarnya, sejak 15 tahun sebelumnya, ia sudah tahu jika livernya terkena sirosis. Tapi karena sibuk kerja membuat ia abai. Kini, setelah menjalani transplantasi liver (hati), dia seperti diingatkan untuk menjaga kesehatan.

Meskipun pascaoperasi ia harus menjalani ritual minum obat tacrolimus 2 kali setiap hari. Padahal 2 jam sebelumnya dan 1 jam sesudahnya, ia tak diizinkan makan/minum apa pun.

Syarat lain harus tepat waktu karena untuk menurunkan kekebalan tubuhnya agar hati (baru) milik orang lain tak ditolak sistem tubuhnya. Tentu, hal itu membuat Dahlan Iskan rawan terserang penyakit. Padahal ia tak boleh flu, terlalu capek dan lelah. Sebab jika kondisi itu bisa terjadi, ia bisa ambruk.

Setelah bertahun-tahun menjalani ritual minum obat, hal itu dirasa terlalu berat. Karena itu, dia ingin menjalani terapi stemcell di Swiss agar tidak perlu minum obat lagi.

Tapi, ketika ia bersiap masuk pesawat, tiba-tiba ia mendapat telepon-dari Menko perekonomian Hatta Rajasa atas nama Presiden SBY-yang melarangnya pergi ke Eropa karena akan diangkat jadi menteri.

Dia pun pulang karena mendapat amanah, padahal tugas jadi menteri itu tidak ringan, terlebih mengingat ia pernah ganti hati, tapi dia menganggap itu sebagai tantangan.

Tak salah jika buku ini diberi judul Ganti Hati: Tantangan Jadi Menteri. Lewat buku ini, dia yang pernah menjabat Dirut PLN itu mengisahkan pengalamannya menjalani transplantasi hati. Meskipun hati Dahlan sudah diganti hati (baru), buku ini terasa ditulis dari “hati”.

Apalagi, ia menulis buku ini di hari ke-20 pascamenjalani ganti hati (26 Agustus 2007) saat masih dirawat di rumah sakit. Wajar, ada nuansa kepedihan, bahkan kepasrahan akan hidup yang dituangkan Dahlan.

Walaupun begitu, buku ini tak mengumbar air mata. Dahlan menunjukkan sikap sebagai orang yang tegar meskipun hampir mati. Uniknya, ia bisa mengisahkan semua itu dengan mengalir. Dia seakan tak memiliki beban menuturkan pengalaman yang baru dialami itu.

Ia deskrepsikan dengan detail karena ia memang berlatar belakang wartawan. Dia juga mengulas tentang sirosis yang mengakibatkan beragam perubahan pada tubuh, termasuk wajah yang menghitam—seperti yang dialami Cak Nur di akhir hayatnya.

Dengan membaca buku ini, pembaca tidak saja bisa melongok kehidupan Dahlan Iskan di masa lalu, tapi juga memetik hikmah tentang semangat hidup Dahlan. Juga, pelajaran tentang mahalnya kesehatan. Semua itu dikisahkan dengan santai dan diselipi humor yang membuat buku ini enak dan renyah dibaca.

Fitria Zulfa, alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 September 2012
 

No comments: