-- Griven H Putera
KATA BJ Habibie, peradaban itu mencerminkan kualitas kehidupan manusia dalam masyarakat. Kualitasnya diukur dari ketentraman (human security), kedamainan (peacefull), keadilan (justice), kesejahteraan (welfare) dan merata (equity of distribution). [Firdaus Sam, 2009].
Di tengah geliat azam Pemerintah Kabupaten Pelalawan hendak membangun kampung Langgam menjadi Kota Teknopolitan (Langgam Technopolitan) dan Teluk Meranti menjadi Kota Wisata Bono yang mendunia (Aquarama Tourism), maka ada kampung-kampung lain yang juga mestinya jadi perhatian.
Karena kampung lain pun tidak kalah nilai "jualnya" dibandingkan dua kampung tersebut.
Benar, Kota Teknopolitan dan Kota Wisata Bono merupakan lambang kemajuan fisik sebuah peradaban yang dicita-citakan Pemda Pelalawan ke depan, namun di sisi lain, kemajuan spiritual masyarakat Kabupaten Pelalawan juga tidak kalah pentingnya untuk ditumbuh-bangunkan.
Karena syarat lengkapnya kemajuan itu adalah adanya keseimbangan antara kemajuan fisik dan kemajuan spiritual.
Tanpa adanya keseimbangan kemajuan fisik dan kemajuan spiritual, maka kebesaran bangsa, kemajuan negeri yang dicita-citakan hanya seperti membangun istana pasir di musim kemarau. Ia akan mudah runtuh. Kata William Butler Yeats, kota maju itu adalah di mana gedung megahnya tumbuh mencakar langit, namun di sisi lain, semarak pula dengan balada dan puisi.
Dan bila ditilik dari Peradaban Islam, maka bangunan utama yang didirikan Nabi Muhammad SAW. Bukan sisi bentuk fisik tapi spiritual. Mana bangunan fisik monumental yang dibangun nabi? Masjid Haram Madinah dan Makkkah dibangun megah pasca meninggalnya nabi.
Sesuatu yang agung yang ditinggalkan nabi hanya Alquran dan Al-sunnah. ��Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpedoman pada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya.�� [Al-hadits]. Bukankah Alquran dan As-sunnah itu intinya nilai spiritual?
Untuk itu ke depan, proyek besar pembangunan Pelalawan jangan hanya terfokus pada Langgam Teknopolitan dan Teluk Meranti saja tapi juga pada Kampung Betung sebagai Kota Budaya (Culture City) dan Melaka Kecil alias Rantaubaru sebagai Kota Sufi (Religion City).
Kota Sufi atau lebih umum disebut kota berbasis agama merupakan tonggak utama berdirinya peradaban bangsa yang beradab. Bangsa maju tanpa dibingkai agama dan seni akan runtuh seketika. Kata Prof. Mukti Ali, ��Dengan pengetahuan hidup jadi mudah, dengan seni kehidupan jadi halus, dengan agama kehidupan jadi terarah dan bermakna.��
Secara sederhana, membangun kota sufi itu dimulai dari kesadaran sejarah kampung itu, kemudian baru kesadaran masa depan masyarakat daerah itu secara umum. Selanjutnya ke baru membincangkan bagaimana cara membangun kota tersebut sehingga layak menjadi tujuan wisata religi (religion tourism).
Rantaubaru yang dulu pernah bernama Dusun Tua, kemudian berubah jadi Melaka Kecil. Kampung Melaka Kecil ini terletak di lokasi pekuburan umum masyarakat Rantaubaru sekarang. Kemudian kampung Melaka Kecil itupun berubah jadi Rantaubaru, dan letaknya hanyut sedikit ke hilir seberang.
Perpindahan penduduk ini terjadi konon karena adanya malapateka disebabkan munculnya wabah penyakit akibat timbulnya ��budak kecil bergombak emas�� setelah Tuk Uban menuba Batang Kampar. Istilah Kampar itu sebenarnya sungai yang berhulu dari Muara Sako hingga Kuala Kampar. Di Muara Sako, Batang Kampar ini bercabang dua.
Makanya sungai yang mengalir mulai dari Teluk Petai hingga Bangkinang dan sekitarnya disebut Kampar Kanan. Dan sungai yang mengalir di Lipat Kain sekitarnya disebut Kampar Kiri).
Oleh karena banyaknya penduduk meninggal dunia setelah melihat anak kecil berambut emas itu di Melaka Kecil itu, maka penduduk yang tersisa pun hijrah ke kampung Rantaubaru sekarang. Letak Rantaubaru ini sangat strategis, ia diapit dua anak sungai.
Di hulunya ada Sungai Boko-boko dan di hilirnya terdapat sungai (danau) Sepunjung. Hasil ikan dari kedua sungai ini merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat sini.
Rantaubaru memiliki keranggian budaya dan punya sejarah yang besar juga. Menurut satu riwayat, konon pada masa dahulunya dua kerajaan besar Melayu, yaitu orang Johor dan Minangkabau pernah duduk berunding di kampung ini untuk menetakkan tata-batas wilayah adat.
Utusan Raja Dinda dari Johor dan Bunda Kandung dari Minangkabau itu bermufakat di Danau Karang Mati, tak jauh di depan Pulau Senang, di Hilir Kampung Kuala Terusan sekarang. (Syahdan, pada masa ini Kampung Terusan belum ada. Kuala Terusan baru menjadi kampung setelah kedatangan orang-orang Siak ke sini.
Sehingga tidak heran kalau adat masyarakat Terusan menyerupai adat Siak atau adat Datuk Ketemenggungan). Danau tempat berunding itu disebut Karang Mati karena mereka yang berunding pun mengarang bunga dan mematikan (memotian) atau mengambil keputusan dan penetapan akhir perjanjian.
Isi perjanjian itu, konon semua masyarakat di sebelah hilir Danau Karang Mati itu masuk dalam wilayah adat-istiadat Johor (adat Datuk Ketemenggungan), sedangkan masyarakat di hulu danau tersebut memeluk adat Minangkabau (Adat Datuk Perpatih Nan Sebatang).
Menurut riwayat lain, tempat berunding itu di sigolang-golang hulu-sigolang-golang hilir, yaitu antara Teluk Danan Rantaubaru dengan Kuala Terusan. Menurut riwayat lain lagi di Danau Karang, yaitu sebuah sungai kecil antara Rantaubaru dengan Langgam.
Pada sekitar tahun 40-an awal, ulama sufi, Tuan Syekh Haji Jaafar dari Pulau Godang, XIII Koto Kampar yang asal muasal keturunannya dari Daik berdarah Arab datang mengajar ilmu tarekat di kampung ini. Ulama besar ini melahirkan murid-murid yang tidak sedikit.
Di kampung ini, sepeninggal beliau muncullah dua muridnya yang cemerlang, yaitu Syekh Haji Abdul Rahman Thohir yang berasal dari Pangkalan Kotobaru, Sumatera Barat dan Syekh Khalifah Mayung dari Dayun, Siak sebagai penerus beliau yang menebarkan ajaran tasawuf tidak hanya di kampung ini tapi di serata Riau dan kepulauan Riau.
Syekh Haji Abdul Rahman Thohir bermakam di Melaka Kecil yang saban tahun kuburnya diziarahi pada 3 Syawal oleh masyarakat Rantaubaru dan ribuan jamaah Tarekat Naqsyabandi. Sedangkan Syekh Haji Khalifah Mayung bermakam di Pangkalan Pisang, Buatan, Siak. Makamnya ini pun diziarahi ribuan jamaah dari berbagai negeri pada 4 Syawal setiap tahunnya.
Syekh Haji Jaafar menikah dengan perempuan kampung ini bernama Hamidah. Dari perkawinan tuan Syekh Haji Jaafar dan Hj Hamidah ini pun memperoleh seorang keturunan bernama Syekh Haji Abdul Shamad Jaafar yang kini memimpin suluk Tarekat Naqsyabandiah yang meliputi Kampar, Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu, Bengkalis (Sungai Tohor) sampai Batam, Kepulauan Riau.
Saban tahun, suluk di Rantaubaru atau Melaka Kecil ini dipadati jamaah yang berdatangan dari berbagai negeri di Riau dan Sumatera Barat.
Dan sekarang, kampung ini pun menjadi pusat Tarekat Naqsyabandiyah dari negeri-negeri di Riau dan Kepulauan Riau seperti yang tertera di atas.
Bila acara pembukaan dan penutupan suluk yang diadakan sekali setahun itu, ribuan masyarakat tumpah ruah di sini. Karena latar kebesaran sejarah budaya dan agama itulah, maka sangat tepat bila kampung Melaka Kecil ini disebut kampung sufi, dan dijadikan tujuan wisata rohani, karena di samping memiliki sejarah besar di bidang budaya dan tasawuf, kawasan ini pun mudah pula dijangkau dari Pangkalankerinci, ibukota Kabupaten Pelalawan, yaitu sekitar 17 kilometer saja.
Sebagai langkah awal, kalau tak ada aral, pada medio Oktober tahun ini, helat budaya bernuansa sufistik akan ditaja di sini oleh anak-anak Melayu Riau yang tercerahkan. Para seniman-budayawan yang karyanya bercorak sufi itu datang dari Johor dan Kelantan (Malaysia), Batam (Kepulauan Riau), dari Pekanbaru dan Pangkalankerinci (Riau).
Demi langsung dan meriahnya acara yang mendukung pembangunan Kabupaten Pelalawan ini, maka seluruh masyarakat Kabupaten Pelalawan sejatinya berpartisipasi, terutama Pemerintah Kabupaten Pelalawan.***
Griven H Putra, sastrawan Riau asal Kabupaten Pelalawan yang rajin menulis, baik esai, cerpen bahkan novel. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media massa lokal maupun nasional. Karyanya juga sudah dibukukan, baik kumpulan cerpen maupun novel
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 September 2012
KATA BJ Habibie, peradaban itu mencerminkan kualitas kehidupan manusia dalam masyarakat. Kualitasnya diukur dari ketentraman (human security), kedamainan (peacefull), keadilan (justice), kesejahteraan (welfare) dan merata (equity of distribution). [Firdaus Sam, 2009].
Di tengah geliat azam Pemerintah Kabupaten Pelalawan hendak membangun kampung Langgam menjadi Kota Teknopolitan (Langgam Technopolitan) dan Teluk Meranti menjadi Kota Wisata Bono yang mendunia (Aquarama Tourism), maka ada kampung-kampung lain yang juga mestinya jadi perhatian.
Karena kampung lain pun tidak kalah nilai "jualnya" dibandingkan dua kampung tersebut.
Benar, Kota Teknopolitan dan Kota Wisata Bono merupakan lambang kemajuan fisik sebuah peradaban yang dicita-citakan Pemda Pelalawan ke depan, namun di sisi lain, kemajuan spiritual masyarakat Kabupaten Pelalawan juga tidak kalah pentingnya untuk ditumbuh-bangunkan.
Karena syarat lengkapnya kemajuan itu adalah adanya keseimbangan antara kemajuan fisik dan kemajuan spiritual.
Tanpa adanya keseimbangan kemajuan fisik dan kemajuan spiritual, maka kebesaran bangsa, kemajuan negeri yang dicita-citakan hanya seperti membangun istana pasir di musim kemarau. Ia akan mudah runtuh. Kata William Butler Yeats, kota maju itu adalah di mana gedung megahnya tumbuh mencakar langit, namun di sisi lain, semarak pula dengan balada dan puisi.
Dan bila ditilik dari Peradaban Islam, maka bangunan utama yang didirikan Nabi Muhammad SAW. Bukan sisi bentuk fisik tapi spiritual. Mana bangunan fisik monumental yang dibangun nabi? Masjid Haram Madinah dan Makkkah dibangun megah pasca meninggalnya nabi.
Sesuatu yang agung yang ditinggalkan nabi hanya Alquran dan Al-sunnah. ��Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpedoman pada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya.�� [Al-hadits]. Bukankah Alquran dan As-sunnah itu intinya nilai spiritual?
Untuk itu ke depan, proyek besar pembangunan Pelalawan jangan hanya terfokus pada Langgam Teknopolitan dan Teluk Meranti saja tapi juga pada Kampung Betung sebagai Kota Budaya (Culture City) dan Melaka Kecil alias Rantaubaru sebagai Kota Sufi (Religion City).
Kota Sufi atau lebih umum disebut kota berbasis agama merupakan tonggak utama berdirinya peradaban bangsa yang beradab. Bangsa maju tanpa dibingkai agama dan seni akan runtuh seketika. Kata Prof. Mukti Ali, ��Dengan pengetahuan hidup jadi mudah, dengan seni kehidupan jadi halus, dengan agama kehidupan jadi terarah dan bermakna.��
Secara sederhana, membangun kota sufi itu dimulai dari kesadaran sejarah kampung itu, kemudian baru kesadaran masa depan masyarakat daerah itu secara umum. Selanjutnya ke baru membincangkan bagaimana cara membangun kota tersebut sehingga layak menjadi tujuan wisata religi (religion tourism).
Rantaubaru yang dulu pernah bernama Dusun Tua, kemudian berubah jadi Melaka Kecil. Kampung Melaka Kecil ini terletak di lokasi pekuburan umum masyarakat Rantaubaru sekarang. Kemudian kampung Melaka Kecil itupun berubah jadi Rantaubaru, dan letaknya hanyut sedikit ke hilir seberang.
Perpindahan penduduk ini terjadi konon karena adanya malapateka disebabkan munculnya wabah penyakit akibat timbulnya ��budak kecil bergombak emas�� setelah Tuk Uban menuba Batang Kampar. Istilah Kampar itu sebenarnya sungai yang berhulu dari Muara Sako hingga Kuala Kampar. Di Muara Sako, Batang Kampar ini bercabang dua.
Makanya sungai yang mengalir mulai dari Teluk Petai hingga Bangkinang dan sekitarnya disebut Kampar Kanan. Dan sungai yang mengalir di Lipat Kain sekitarnya disebut Kampar Kiri).
Oleh karena banyaknya penduduk meninggal dunia setelah melihat anak kecil berambut emas itu di Melaka Kecil itu, maka penduduk yang tersisa pun hijrah ke kampung Rantaubaru sekarang. Letak Rantaubaru ini sangat strategis, ia diapit dua anak sungai.
Di hulunya ada Sungai Boko-boko dan di hilirnya terdapat sungai (danau) Sepunjung. Hasil ikan dari kedua sungai ini merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat sini.
Rantaubaru memiliki keranggian budaya dan punya sejarah yang besar juga. Menurut satu riwayat, konon pada masa dahulunya dua kerajaan besar Melayu, yaitu orang Johor dan Minangkabau pernah duduk berunding di kampung ini untuk menetakkan tata-batas wilayah adat.
Utusan Raja Dinda dari Johor dan Bunda Kandung dari Minangkabau itu bermufakat di Danau Karang Mati, tak jauh di depan Pulau Senang, di Hilir Kampung Kuala Terusan sekarang. (Syahdan, pada masa ini Kampung Terusan belum ada. Kuala Terusan baru menjadi kampung setelah kedatangan orang-orang Siak ke sini.
Sehingga tidak heran kalau adat masyarakat Terusan menyerupai adat Siak atau adat Datuk Ketemenggungan). Danau tempat berunding itu disebut Karang Mati karena mereka yang berunding pun mengarang bunga dan mematikan (memotian) atau mengambil keputusan dan penetapan akhir perjanjian.
Isi perjanjian itu, konon semua masyarakat di sebelah hilir Danau Karang Mati itu masuk dalam wilayah adat-istiadat Johor (adat Datuk Ketemenggungan), sedangkan masyarakat di hulu danau tersebut memeluk adat Minangkabau (Adat Datuk Perpatih Nan Sebatang).
Menurut riwayat lain, tempat berunding itu di sigolang-golang hulu-sigolang-golang hilir, yaitu antara Teluk Danan Rantaubaru dengan Kuala Terusan. Menurut riwayat lain lagi di Danau Karang, yaitu sebuah sungai kecil antara Rantaubaru dengan Langgam.
Pada sekitar tahun 40-an awal, ulama sufi, Tuan Syekh Haji Jaafar dari Pulau Godang, XIII Koto Kampar yang asal muasal keturunannya dari Daik berdarah Arab datang mengajar ilmu tarekat di kampung ini. Ulama besar ini melahirkan murid-murid yang tidak sedikit.
Di kampung ini, sepeninggal beliau muncullah dua muridnya yang cemerlang, yaitu Syekh Haji Abdul Rahman Thohir yang berasal dari Pangkalan Kotobaru, Sumatera Barat dan Syekh Khalifah Mayung dari Dayun, Siak sebagai penerus beliau yang menebarkan ajaran tasawuf tidak hanya di kampung ini tapi di serata Riau dan kepulauan Riau.
Syekh Haji Abdul Rahman Thohir bermakam di Melaka Kecil yang saban tahun kuburnya diziarahi pada 3 Syawal oleh masyarakat Rantaubaru dan ribuan jamaah Tarekat Naqsyabandi. Sedangkan Syekh Haji Khalifah Mayung bermakam di Pangkalan Pisang, Buatan, Siak. Makamnya ini pun diziarahi ribuan jamaah dari berbagai negeri pada 4 Syawal setiap tahunnya.
Syekh Haji Jaafar menikah dengan perempuan kampung ini bernama Hamidah. Dari perkawinan tuan Syekh Haji Jaafar dan Hj Hamidah ini pun memperoleh seorang keturunan bernama Syekh Haji Abdul Shamad Jaafar yang kini memimpin suluk Tarekat Naqsyabandiah yang meliputi Kampar, Pelalawan, Siak, Indragiri Hulu, Bengkalis (Sungai Tohor) sampai Batam, Kepulauan Riau.
Saban tahun, suluk di Rantaubaru atau Melaka Kecil ini dipadati jamaah yang berdatangan dari berbagai negeri di Riau dan Sumatera Barat.
Dan sekarang, kampung ini pun menjadi pusat Tarekat Naqsyabandiyah dari negeri-negeri di Riau dan Kepulauan Riau seperti yang tertera di atas.
Bila acara pembukaan dan penutupan suluk yang diadakan sekali setahun itu, ribuan masyarakat tumpah ruah di sini. Karena latar kebesaran sejarah budaya dan agama itulah, maka sangat tepat bila kampung Melaka Kecil ini disebut kampung sufi, dan dijadikan tujuan wisata rohani, karena di samping memiliki sejarah besar di bidang budaya dan tasawuf, kawasan ini pun mudah pula dijangkau dari Pangkalankerinci, ibukota Kabupaten Pelalawan, yaitu sekitar 17 kilometer saja.
Sebagai langkah awal, kalau tak ada aral, pada medio Oktober tahun ini, helat budaya bernuansa sufistik akan ditaja di sini oleh anak-anak Melayu Riau yang tercerahkan. Para seniman-budayawan yang karyanya bercorak sufi itu datang dari Johor dan Kelantan (Malaysia), Batam (Kepulauan Riau), dari Pekanbaru dan Pangkalankerinci (Riau).
Demi langsung dan meriahnya acara yang mendukung pembangunan Kabupaten Pelalawan ini, maka seluruh masyarakat Kabupaten Pelalawan sejatinya berpartisipasi, terutama Pemerintah Kabupaten Pelalawan.***
Griven H Putra, sastrawan Riau asal Kabupaten Pelalawan yang rajin menulis, baik esai, cerpen bahkan novel. Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media massa lokal maupun nasional. Karyanya juga sudah dibukukan, baik kumpulan cerpen maupun novel
Sumber: Riau Pos, Minggu, 2 September 2012
No comments:
Post a Comment