Data buku:
Rekonstruksi Pendidikan
Muchlas Samani, dkk.
Unesa University Press, 2012
298 hlm.
PARA dosen berdialektika, di antaranya Muchlas Samani, Budi Darma, dkk. sesama dari Universitas Negeri Surabaya. Menggelisahkan sekaligus memanoramakan sebuah pendidikan dengan kajian persuasif dan reflektif cukup sarat ide-ide segar. Ide tertuju bagi lapisan strata pendidik terhadap mental ruang kependidikan negeri ini.
Bak hendak berteriak usai membaca buku ini: mari bersama merekonstruksi pendidikan di negeri ini.
Buku ini menghimpun 21 tulisan dalam lima maktub: pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan, hakikat pendidikan, kebijakan di bidang pendidikan, kondisi pendidikan dan pembelajaran di Indonesia saat ini, dan pendidikan masa depan. Kesemuanya menghimpun sarat pemikiran. Pemikiran ihwal bagi resolusi para pendidik.
Atas ihwal tersebut, seperti perenungan kembali terhadap arah pendidikan ini yang digagas Muchlas Samani; bahwa di tengah perkembangan percepatan teknologi yang semakin merasuk dalam keseharian kehidupan, arah pendidikan negeri ini semakin dipertanyakan (hlm. 4).
Selain itu, dalam Budi Darma, tatkala menggagas pendidikan pada tulisannya, mengajak kita merenungkan kembali (mendulang ingatan) pada dunia pendidikan pada 1950-an; bahwa semua perbuatan dan usaha dari sebuah generasi untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya.
Untuk Indonesia, kekosongan semangat kesejarahan atau historicity dan sejarah atau history agaknya telah memicu para pemikir pendidikan, antara lain Mochtar Buchori, untuk menengok kembali kesilaman pendidikan kita (hlm. 27).
Pendidikan kita ini juga dirasa sangat perlu terhadap penajaman ilmu sosial. Sebuah ilmu yang akhir-akhir ini jauh dikucilkan ketimbang pengetahuan alam dan eksakta sebagaimana disanggah Warsono yang mengatakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial membawa implikasi; manusia tak dapat hidup sendiri, tetapi harus hidup bersama dalam kelompok masyarakat: menjadi semacam pendidikan yang memanusiakan manusia.
Lalu, Lies Amin Lestari membicarakan pendidikan interaksional pembelajaran menulis dan kontribusinya pada pendidikan karakter; tentang pentingnya potret pembelajaran menulis di sekolah.
Guru Pemicu Keberhasilan
Syahdan, "guru merdeka" mendekati siswanya dengan arah yang mendidik dengan sentuhan asasi kemanusiaan. Namun, saat ini kemerdekaan guru telah luntur dengan banyaknya pesanan dan peraturan pembelajaran yang susah dicerna dan diterapkan di lapangan.
Guru jadi merasa terikat dengan aturan pembelajaran yang mengharuskan mereka menggunakan metode pembelajaran tertentu, kata Suyatno, Dosen dan ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa.
Satu hal lagi, selain kiat dari para pemikir pendidikan, buku ini sangat perlu dibaca dan diketahui para calon serta pemerhati pendidik negeri ini, tak terkecuali khususnya para guru maupun dosen.
Lantaran catatan-catatan para dosen yang cukup memadukan nilai-nilai akademis dengan humanistik lumayan terpacu di dalamnya. Keberbagian pengalaman, instruksi, dan saran tak hanya disajikan dengan tegas, jelas, dan kritis. Tapi juga indah.
Hanya saja, saking banyaknya acuan pustaka dari para penulis membuat penyampaian terasa rumit. Meskipun tetap saja begitu menggebu, menggairahkan, tapi juga jelas mendidik; sarat dominasi pemikiran atas rekonstruksi pendidikan seperti sarat tuaian resolusi yang mesti diresapi bagi seluruh pembaca semua kalangan.
Setidaknya, buku ini telah menjadi sejarah pemikiran para dosen yang cukup layak untuk menginspirasi para dosen lain dari tiap universitas—khususnya tak hanya mereka, tetapi juga tenaga pendidik umumnya, baik sebagai sumbangsih pemikiran terhadap masa depan pendidikan di negeri ini maupun kajian refleksi.
Refleksi untuk selalu berpikir, bergerak, dan menindaklanjuti menuju pendidikan di Indonesia menjadi semakin baik dan berkelanjutan.
F. Moses, pemerhati pendidikan, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 September 2012
Rekonstruksi Pendidikan
Muchlas Samani, dkk.
Unesa University Press, 2012
298 hlm.
PARA dosen berdialektika, di antaranya Muchlas Samani, Budi Darma, dkk. sesama dari Universitas Negeri Surabaya. Menggelisahkan sekaligus memanoramakan sebuah pendidikan dengan kajian persuasif dan reflektif cukup sarat ide-ide segar. Ide tertuju bagi lapisan strata pendidik terhadap mental ruang kependidikan negeri ini.
Bak hendak berteriak usai membaca buku ini: mari bersama merekonstruksi pendidikan di negeri ini.
Buku ini menghimpun 21 tulisan dalam lima maktub: pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan, hakikat pendidikan, kebijakan di bidang pendidikan, kondisi pendidikan dan pembelajaran di Indonesia saat ini, dan pendidikan masa depan. Kesemuanya menghimpun sarat pemikiran. Pemikiran ihwal bagi resolusi para pendidik.
Atas ihwal tersebut, seperti perenungan kembali terhadap arah pendidikan ini yang digagas Muchlas Samani; bahwa di tengah perkembangan percepatan teknologi yang semakin merasuk dalam keseharian kehidupan, arah pendidikan negeri ini semakin dipertanyakan (hlm. 4).
Selain itu, dalam Budi Darma, tatkala menggagas pendidikan pada tulisannya, mengajak kita merenungkan kembali (mendulang ingatan) pada dunia pendidikan pada 1950-an; bahwa semua perbuatan dan usaha dari sebuah generasi untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya.
Untuk Indonesia, kekosongan semangat kesejarahan atau historicity dan sejarah atau history agaknya telah memicu para pemikir pendidikan, antara lain Mochtar Buchori, untuk menengok kembali kesilaman pendidikan kita (hlm. 27).
Pendidikan kita ini juga dirasa sangat perlu terhadap penajaman ilmu sosial. Sebuah ilmu yang akhir-akhir ini jauh dikucilkan ketimbang pengetahuan alam dan eksakta sebagaimana disanggah Warsono yang mengatakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial membawa implikasi; manusia tak dapat hidup sendiri, tetapi harus hidup bersama dalam kelompok masyarakat: menjadi semacam pendidikan yang memanusiakan manusia.
Lalu, Lies Amin Lestari membicarakan pendidikan interaksional pembelajaran menulis dan kontribusinya pada pendidikan karakter; tentang pentingnya potret pembelajaran menulis di sekolah.
Guru Pemicu Keberhasilan
Syahdan, "guru merdeka" mendekati siswanya dengan arah yang mendidik dengan sentuhan asasi kemanusiaan. Namun, saat ini kemerdekaan guru telah luntur dengan banyaknya pesanan dan peraturan pembelajaran yang susah dicerna dan diterapkan di lapangan.
Guru jadi merasa terikat dengan aturan pembelajaran yang mengharuskan mereka menggunakan metode pembelajaran tertentu, kata Suyatno, Dosen dan ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa.
Satu hal lagi, selain kiat dari para pemikir pendidikan, buku ini sangat perlu dibaca dan diketahui para calon serta pemerhati pendidik negeri ini, tak terkecuali khususnya para guru maupun dosen.
Lantaran catatan-catatan para dosen yang cukup memadukan nilai-nilai akademis dengan humanistik lumayan terpacu di dalamnya. Keberbagian pengalaman, instruksi, dan saran tak hanya disajikan dengan tegas, jelas, dan kritis. Tapi juga indah.
Hanya saja, saking banyaknya acuan pustaka dari para penulis membuat penyampaian terasa rumit. Meskipun tetap saja begitu menggebu, menggairahkan, tapi juga jelas mendidik; sarat dominasi pemikiran atas rekonstruksi pendidikan seperti sarat tuaian resolusi yang mesti diresapi bagi seluruh pembaca semua kalangan.
Setidaknya, buku ini telah menjadi sejarah pemikiran para dosen yang cukup layak untuk menginspirasi para dosen lain dari tiap universitas—khususnya tak hanya mereka, tetapi juga tenaga pendidik umumnya, baik sebagai sumbangsih pemikiran terhadap masa depan pendidikan di negeri ini maupun kajian refleksi.
Refleksi untuk selalu berpikir, bergerak, dan menindaklanjuti menuju pendidikan di Indonesia menjadi semakin baik dan berkelanjutan.
F. Moses, pemerhati pendidikan, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 September 2012
No comments:
Post a Comment