-- Bayu Agustari Adha
UNSUR dalam sastra yang berperan penting adalah karakter. Dalam penyajian sebuah karya sastra khususnya fiksi, karakter tersaji dengan sudut pandang tertentu. Inilah yang nanti akan jadi narator sebuah fiksi. Ada beberapa sudut pandang yang disediakan dalam penyuguhan karya sastra. Di antaranya sudut pandang orang pertama, kedua dan ketiga. Sudut pandang orang pertama adalah si aku dan/atau kami dalam cerita. Si aku menceritakan segala hal menurut apa yang dipikirkan dan dialami si aku mengenai dirinya maupun karakter lainnya. Orang kedua adalah kamu dan kalian, sudut pandang ini jarang digunakan karena susah diterapkan. Sudut pandang ketiga adalah narator sebagai orang di luar cerita sehingga sering disebut menggunakan sudut pandang ketiga adalah yang tahu segala yang ada dalam cerita tanpa terlibat dalam alur cerita.
Karakter dalam sastra secara umum dipahami sebagai orang yang direpresentasikan dalam sebuah alur cerita. Tiap karakter memperlihatkan karakteristiknya melalui berbagai sudut pandang di atas. Umumnya secara konvensional karakter dalam cerita adalah manusia, namun seiring ekplorasi kegiatan sastra, karakter tak hanya manusia. Karakter bukan manusia ini mungkin diprasangkakan sebagai karakter makhluk hidup lainnya, seperti binatang atau makhluk gaib dan fantasi. Meski bukan manusia, mereka masih memiliki karakteristik manusia yang berpikir. Namun yang dimaksud di sini sebagai karakter bukan manusia adalah karakter yang merupakan benda mati dan mereka jadi karakter dalam cerita. Ini tentu jadi suatu hal yang terasa tak logis, tapi tentu penulis punya intensitas tersendiri di dalamnya baik itu estetika ataupun tataran nilai.
Fenomena gaya penulisan seperti ini dapat kita lihat pada cerpen Norman Erikson Pasaribu, ��Sepasang Sosok yang Menunggu�� di Kompas Ahad (9/9/2012). Dalam cerpen ini yang jadi karakter adalah sebuah boneka dan sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang pertama dimana cerita dikelola si boneka tersebut. Contoh lain adalah cerpen Ayu Maesa Djenar, ��Mandi Sabun Mandi��, salah satu dari kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Sebenarnya cerpen ini memakai sudut pandang ketiga dimana ada narator yang menjadi pemandu cerita. Tapi, para karakter benda mati yakni cermin dan meja diketahui karakternya melalui dialog-dialog yang diucapkannya bukan melalui pandangan narator sehingga secara tak langsung si karakter juga bertindak dengan sudut pandangnya.
Dalam cerpen Norman Erikson Pasaribu, sepasang boneka adalah karakter dalam bentuk benda mati. Salah satu boneka jadi narator untuk alur yang disuguhkan. Dengan demikian jelas sekali sudut pandang yang dihadirkan adalah melalui boneka ini. Dia (boneka) menceritakan dirinya dan apa yang dialaminya dalam kerangkanya berhubungan dengan Jack, si tokoh protagonis. Boneka bertindak layaknya manusia, dia mengutarakan perasaannya mengenai nasibnya dan pandangannya. Mulanya dia menceritakan keberadaannya di sebuah tempat lembab dan penuh asap di mana botol minuman berjejer pada lemari. Bersama boneka-boneka lain dia berada di tempat itu. Layaknya manusia punya juga satu boneka yang sentral dalam pikirannya. Dia pun berkelakar pada boneka lainnya ��Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua yang tersisa��. Bisa dipahami, boneka ini menyalurkan sudut pandangnya melalui nasib yang dialaminya dimana dia bersama boneka yang satu lagi merupakan sisa-sisa yang tak dilirik di antara boneka lainnya. Secara estetika itu sangat menggugah emosi dimana ini menghadirkan refleksi ke pembaca untuk juga memahami bahwa boneka pun punya rasa kesedihan.
Alur cerita mulai beranjak kala Jack membawa mereka ke rumahnya karena ingin menghadiahi anak perempuannya sepasang boneka saat ulang tahun. Tinggallah kedua boneka itu kembali bersama di tempat yang berbeda. Kehidupan baru pun dijalani sepasang boneka ini bersama Mary, anak Jack. Bersama-sama mereka melalui hari-hari yang unik dimana Mary memperlakukan mereka tanpa kata-kata. Seakan-akan ketiganya saling memahami tanpa perlu bahasa. Suatu waktu tibalah momen yang mengakhiri kebersamaan mereka bertiga. Dalam pandangan si boneka Mary dibawa terbang oleh sesosok berpakaian putih. Artinya Mary telah tak berada di dunia lagi. Itu terlihat dari pandangannya terhadap Jack yang terus menangis. Boneka berceloteh meneriaki Jack, ��Cari dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak hiraukan kita. Jack dan istrinya Jane hanya menangis, entah mengapa dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack? Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?��. Cara seperti ini tentu mengundang simpati. Kehidupan Jack pun kacau. Ia sering pulang malam dan mabuk-mabukan menurut pandangan boneka itu.
Tiba akhirnya Jack punya ide membuka toko boneka. Kehidupan yang lebih baik kembali datang dimana Jack sudah mulai bergairah. Mereka bersanding dengan boneka-boneka lain dan berharap tak ada yang membawa mereka karena sudah nyaman bersama Jack. Suatu saat pernah seorang gadis ingin membeli salah satu boneka yang adalah boneka perempuan bersepatu. Dengan polosnya boneka satu lagi berharap boneka itu tak dibawa karena tak ingin berpisah dan begitu pula perasaan boneka satunya lagi. Untungnya Jack tak menjualnya karena ia berkata bahwa itu boneka anaknya. Tiap hari mereka menikmati hidup bersama Jack dan Jane. Boneka yang narator berada tepat di depan cermin dan boneka perempuan dalam lemari kaca. Kadang-kadang mereka di bawa makan bersama oleh Jack dan Jane dan juga bercanda tawa serta sering mengucapkan kalimat ��aku mencintaimu�� dimana dalam pandangan boneka narator dia juga jadi sering ingin mengucapkan itu ke boneka perempuan. Seiring waktu, Jane juga telah meninggalkan mereka dan tak beberapa lama kemudian Jack juga. Sebelum pergi akhirnya Jack bicara ke boneka untuk pamit pergi menyusul Mary dan Jane.
Kepolosan boneka inilah yang membuat cerita jadi sangat hidup. Di dalamnya ada kejujuran dan sikap yang dilandasi tanpa niat jahat sekecil apapun. Salah satu yang membuat cerpen ini menarik memang dalam segi estetika dan daya imajinasi pengarang yang pandai merekayasa cerita melalui karakter boneka menjadi sangat menyentuh. Bisa juga dilihat di sini bahwa adanya pergeseran nilai pandangan terhadap manusia. Karena cerita ini secara implisit bisa diinterpretasikan sebagai contoh komparasi antara manusia yang berakal dan benda mati yang tidak. Itu terjadi pada sudut pandang manusia yang cenderung tak dipercayai lagi karena selalu berpandangan dalam kerangka subjektif. Beda dengan benda mati yang berpandangan polos. Dalam kata lain, pemilihan benda mati sebagi karakter adalah implikasi dari ketidakpercayaan lagi terhadap manusia.
Pada cerpen lainnya karya Ayu Maesa Djenar, ��Mandi Sabun Mandi��, karakternya adalah meja dan cermin. Karakter-karekter ini adalah properti dalam suatu kamar motel. Cerpen ini menceritakan adegan hubungan intim yang disaksikan cermin dan meja dan meja dan mereka melakukan dialog di sini. Dialog itu merupakan pembicaraan mereka tentang pasangan yang berhubungan dan sesekali mereka juga taruhan mengenai proses hubungan intim sendiri, ejakulasi dalam atau luar. Meja dan cermin hadir tak berkomunikasi dengan karakter pasangan yang berhubungan. Mereka ternyata bukan pasangan resmi, satu lelaki setengah baya dan satu lagi perempuan Indo muda.
Pemunculan karakter cermin dan meja di sini adalah suatu satir pada kehidupan modern ala urban di kota besar. Ini menggambarkan pola hidup kebohongan dengan direpresetasikan selingkuh. Satire atau sindiran yang ingin dialamatkan adalah untuk mengejek manusia yang merasa mereka bisa bersembunyi dan tampil palsu dalam realitanya. Kecongkakan ini terbantahkan bahwa sebenarnya sepandai apapun kita bersembunyi pasti ada yang melihat kita, dalam cerpen ini direpresentasikan oleh cermin dan meja. Adanya karakter ini juga ingin memperlihatkan bahwa ulah manusia yang telah melampaui batas dalam bermain dengan kesenangan dunia. Ini diperlihatkan di mana meja dan cermin pun juga menggeleng dengan perilaku manusia seakan-akan makhluk yang dikaruniai akal, tapi berlaku seperti binatang yang mementingkan nafsu seperti terlihat dari dialog di bawah ini,
"Cermin bukankah itu perempuan yang datang kemarin?"
"Ya. Meja."
"Tapi ia tak bersama laki-laki yang kemarin."
"Meja... meja... begitu saja kok heran. Lelaki itu juga sering gonta-ganti pasangan kemari."
"Wah...wah... jaman modern sekarang ini tak ada yang luar biasa lagi ya cermin. Semuanya menjadi super biasa."
Bayu Agustari Adha, Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 September 2012
UNSUR dalam sastra yang berperan penting adalah karakter. Dalam penyajian sebuah karya sastra khususnya fiksi, karakter tersaji dengan sudut pandang tertentu. Inilah yang nanti akan jadi narator sebuah fiksi. Ada beberapa sudut pandang yang disediakan dalam penyuguhan karya sastra. Di antaranya sudut pandang orang pertama, kedua dan ketiga. Sudut pandang orang pertama adalah si aku dan/atau kami dalam cerita. Si aku menceritakan segala hal menurut apa yang dipikirkan dan dialami si aku mengenai dirinya maupun karakter lainnya. Orang kedua adalah kamu dan kalian, sudut pandang ini jarang digunakan karena susah diterapkan. Sudut pandang ketiga adalah narator sebagai orang di luar cerita sehingga sering disebut menggunakan sudut pandang ketiga adalah yang tahu segala yang ada dalam cerita tanpa terlibat dalam alur cerita.
Karakter dalam sastra secara umum dipahami sebagai orang yang direpresentasikan dalam sebuah alur cerita. Tiap karakter memperlihatkan karakteristiknya melalui berbagai sudut pandang di atas. Umumnya secara konvensional karakter dalam cerita adalah manusia, namun seiring ekplorasi kegiatan sastra, karakter tak hanya manusia. Karakter bukan manusia ini mungkin diprasangkakan sebagai karakter makhluk hidup lainnya, seperti binatang atau makhluk gaib dan fantasi. Meski bukan manusia, mereka masih memiliki karakteristik manusia yang berpikir. Namun yang dimaksud di sini sebagai karakter bukan manusia adalah karakter yang merupakan benda mati dan mereka jadi karakter dalam cerita. Ini tentu jadi suatu hal yang terasa tak logis, tapi tentu penulis punya intensitas tersendiri di dalamnya baik itu estetika ataupun tataran nilai.
Fenomena gaya penulisan seperti ini dapat kita lihat pada cerpen Norman Erikson Pasaribu, ��Sepasang Sosok yang Menunggu�� di Kompas Ahad (9/9/2012). Dalam cerpen ini yang jadi karakter adalah sebuah boneka dan sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang pertama dimana cerita dikelola si boneka tersebut. Contoh lain adalah cerpen Ayu Maesa Djenar, ��Mandi Sabun Mandi��, salah satu dari kumpulan cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Sebenarnya cerpen ini memakai sudut pandang ketiga dimana ada narator yang menjadi pemandu cerita. Tapi, para karakter benda mati yakni cermin dan meja diketahui karakternya melalui dialog-dialog yang diucapkannya bukan melalui pandangan narator sehingga secara tak langsung si karakter juga bertindak dengan sudut pandangnya.
Dalam cerpen Norman Erikson Pasaribu, sepasang boneka adalah karakter dalam bentuk benda mati. Salah satu boneka jadi narator untuk alur yang disuguhkan. Dengan demikian jelas sekali sudut pandang yang dihadirkan adalah melalui boneka ini. Dia (boneka) menceritakan dirinya dan apa yang dialaminya dalam kerangkanya berhubungan dengan Jack, si tokoh protagonis. Boneka bertindak layaknya manusia, dia mengutarakan perasaannya mengenai nasibnya dan pandangannya. Mulanya dia menceritakan keberadaannya di sebuah tempat lembab dan penuh asap di mana botol minuman berjejer pada lemari. Bersama boneka-boneka lain dia berada di tempat itu. Layaknya manusia punya juga satu boneka yang sentral dalam pikirannya. Dia pun berkelakar pada boneka lainnya ��Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua yang tersisa��. Bisa dipahami, boneka ini menyalurkan sudut pandangnya melalui nasib yang dialaminya dimana dia bersama boneka yang satu lagi merupakan sisa-sisa yang tak dilirik di antara boneka lainnya. Secara estetika itu sangat menggugah emosi dimana ini menghadirkan refleksi ke pembaca untuk juga memahami bahwa boneka pun punya rasa kesedihan.
Alur cerita mulai beranjak kala Jack membawa mereka ke rumahnya karena ingin menghadiahi anak perempuannya sepasang boneka saat ulang tahun. Tinggallah kedua boneka itu kembali bersama di tempat yang berbeda. Kehidupan baru pun dijalani sepasang boneka ini bersama Mary, anak Jack. Bersama-sama mereka melalui hari-hari yang unik dimana Mary memperlakukan mereka tanpa kata-kata. Seakan-akan ketiganya saling memahami tanpa perlu bahasa. Suatu waktu tibalah momen yang mengakhiri kebersamaan mereka bertiga. Dalam pandangan si boneka Mary dibawa terbang oleh sesosok berpakaian putih. Artinya Mary telah tak berada di dunia lagi. Itu terlihat dari pandangannya terhadap Jack yang terus menangis. Boneka berceloteh meneriaki Jack, ��Cari dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak hiraukan kita. Jack dan istrinya Jane hanya menangis, entah mengapa dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack? Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?��. Cara seperti ini tentu mengundang simpati. Kehidupan Jack pun kacau. Ia sering pulang malam dan mabuk-mabukan menurut pandangan boneka itu.
Tiba akhirnya Jack punya ide membuka toko boneka. Kehidupan yang lebih baik kembali datang dimana Jack sudah mulai bergairah. Mereka bersanding dengan boneka-boneka lain dan berharap tak ada yang membawa mereka karena sudah nyaman bersama Jack. Suatu saat pernah seorang gadis ingin membeli salah satu boneka yang adalah boneka perempuan bersepatu. Dengan polosnya boneka satu lagi berharap boneka itu tak dibawa karena tak ingin berpisah dan begitu pula perasaan boneka satunya lagi. Untungnya Jack tak menjualnya karena ia berkata bahwa itu boneka anaknya. Tiap hari mereka menikmati hidup bersama Jack dan Jane. Boneka yang narator berada tepat di depan cermin dan boneka perempuan dalam lemari kaca. Kadang-kadang mereka di bawa makan bersama oleh Jack dan Jane dan juga bercanda tawa serta sering mengucapkan kalimat ��aku mencintaimu�� dimana dalam pandangan boneka narator dia juga jadi sering ingin mengucapkan itu ke boneka perempuan. Seiring waktu, Jane juga telah meninggalkan mereka dan tak beberapa lama kemudian Jack juga. Sebelum pergi akhirnya Jack bicara ke boneka untuk pamit pergi menyusul Mary dan Jane.
Kepolosan boneka inilah yang membuat cerita jadi sangat hidup. Di dalamnya ada kejujuran dan sikap yang dilandasi tanpa niat jahat sekecil apapun. Salah satu yang membuat cerpen ini menarik memang dalam segi estetika dan daya imajinasi pengarang yang pandai merekayasa cerita melalui karakter boneka menjadi sangat menyentuh. Bisa juga dilihat di sini bahwa adanya pergeseran nilai pandangan terhadap manusia. Karena cerita ini secara implisit bisa diinterpretasikan sebagai contoh komparasi antara manusia yang berakal dan benda mati yang tidak. Itu terjadi pada sudut pandang manusia yang cenderung tak dipercayai lagi karena selalu berpandangan dalam kerangka subjektif. Beda dengan benda mati yang berpandangan polos. Dalam kata lain, pemilihan benda mati sebagi karakter adalah implikasi dari ketidakpercayaan lagi terhadap manusia.
Pada cerpen lainnya karya Ayu Maesa Djenar, ��Mandi Sabun Mandi��, karakternya adalah meja dan cermin. Karakter-karekter ini adalah properti dalam suatu kamar motel. Cerpen ini menceritakan adegan hubungan intim yang disaksikan cermin dan meja dan meja dan mereka melakukan dialog di sini. Dialog itu merupakan pembicaraan mereka tentang pasangan yang berhubungan dan sesekali mereka juga taruhan mengenai proses hubungan intim sendiri, ejakulasi dalam atau luar. Meja dan cermin hadir tak berkomunikasi dengan karakter pasangan yang berhubungan. Mereka ternyata bukan pasangan resmi, satu lelaki setengah baya dan satu lagi perempuan Indo muda.
Pemunculan karakter cermin dan meja di sini adalah suatu satir pada kehidupan modern ala urban di kota besar. Ini menggambarkan pola hidup kebohongan dengan direpresetasikan selingkuh. Satire atau sindiran yang ingin dialamatkan adalah untuk mengejek manusia yang merasa mereka bisa bersembunyi dan tampil palsu dalam realitanya. Kecongkakan ini terbantahkan bahwa sebenarnya sepandai apapun kita bersembunyi pasti ada yang melihat kita, dalam cerpen ini direpresentasikan oleh cermin dan meja. Adanya karakter ini juga ingin memperlihatkan bahwa ulah manusia yang telah melampaui batas dalam bermain dengan kesenangan dunia. Ini diperlihatkan di mana meja dan cermin pun juga menggeleng dengan perilaku manusia seakan-akan makhluk yang dikaruniai akal, tapi berlaku seperti binatang yang mementingkan nafsu seperti terlihat dari dialog di bawah ini,
"Cermin bukankah itu perempuan yang datang kemarin?"
"Ya. Meja."
"Tapi ia tak bersama laki-laki yang kemarin."
"Meja... meja... begitu saja kok heran. Lelaki itu juga sering gonta-ganti pasangan kemari."
"Wah...wah... jaman modern sekarang ini tak ada yang luar biasa lagi ya cermin. Semuanya menjadi super biasa."
Bayu Agustari Adha, Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 September 2012
No comments:
Post a Comment